Selasa, 29 Juli 2008

Untung Sragen Punya 'Untung'

Sekali lagi, mindset melayani adalah yang paling dibutuhkan Bangsa ini. Beragam iklan 'capres' di media elektronika tidak ada gunanya, karena massa sudah tidak bisa diperdaya...

'kebetulan' mindset melayani ini datangnya kok ya dari sosok yang latar belakangnya pengusaha....

----------------

Untung Sarono Wiyono Sukarno (lahir 16 Oktober 1950) adalah seorang politikus Indonesia. Ia adalah Bupati Sragen sejak tahun 2001. Sebagai bupati ia selalu menekankan bahwa "Sragen yang mempunyai sumber daya alam yang terbatas harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi".

Untung Wiyono mengawali karir sebagai pengusaha dari bawah. Dengan latar belakang pendidikan terakhir Sarjana Hukum, selama 12 tahun, dia menjadi profesional di bidang minyak dan gas pada perusahaan asing. Setelah malang melintang sebagai profesional, dia akhirnya memutuskan menjadi wirausahawan dan mendirikan perusahaan sendiri mulai dari nol.

Kegemarannya dalam seni mendalang membuat Wiyono menjadikan mendalang sebagai sarana pembinaan dan penyerapan aspirasi masyarakat (wikipedia).

Berikut adalah tulisan di Kompas, 21 Februari 2008:

Beruntung Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, punya bupati seperti Untung Wiyono. Sosoknya unik. Selama 13 tahun ia bekerja di perusahaan asing, sebelum memutuskan terjun ke dunia politik. Ijazah sarjananya sempat dipersoalkan, tetapi berbagai usaha, Untung membuat Sragen menjadi sorotan nasional.

Dari 21 kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen, delapan di antaranya diadopsi Pemerintah Pusat. Kedelapan kebijakan itu adalah: pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil dengan sistem kompetensi, budidaya pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat, dan pembiayaan mikro.

Program lain yang unik adalah denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara bagi orang yang menangkap ikan dengan racun, denda Rp 50 juta atau 5 tahun penjara bagi penembak burung. Ada lagi kebijakan Sragen bebas pengemis atau peminta-minta, bahkan juga kebijakan pohon bebas paku.

Setelah mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden pada tahun 2004, Sragen lalu meraih 34 penghargaan lain dari berbagai kalangan. Terakhir penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia dalam Peringatan Hari Pers Nasional 2008 di Semarang untuk program pelayanan publik.

Saat memaparkan program dalam Konvensi Nasional Media Massa, 8 Februari lalu, Untung tampak bersemangat. Ia pekikkan pula kata “merdeka!!”. Maklum, dia juga Pelaksana Harian Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sragen. Saat ditemui pekan lalu, gaya bicaranya tetap berapi-api. Tak ada kesan mengantuk meskipun ia mengaku Cuma tidur sekitar satu jam, sebab menunggui langsung seleksi penerimaan calon PNS Sragen dan paginya mengikuti kegiatan olah raga di kantornya.

Pengalaman bekerja di perusahaan asing membuat ia terbiasa berdisiplin, kerja keras dan efisiensi. “Jadi pemimpin itu harus mengatur uang dulu,” katanya. Bila dana tak dikelola dengan sistem yang baik, akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Efisiensi adalah kata kunci yang dia bawa saat menjadi Bupati Sragen.

Hari Pertama setelah dilantik menjadi bupati pada mei 2007, ia mengumpulkan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Sekretaris Daerah, Asisten Bupati, Kepala Bappeda dan Wakil Bupati. Mereka membahas anggaran rutin sebesar Rp 34 miliar. “Saya hitung-hitung masih bisa memasukkan ke kas daerah Rp 12,2 miliar atau sekitar 30 persen. Ini dari anggaran tim yang dobel dan bantuan yang tidak perlu,” ujarnya.

Selain itu, PNS pun tak terbiasa membuat rencana strategis, rencana bisnis dan proposal, APBD berupa perimbangan karena anggaran harus habis juga perlu direformasi. Untung percaya, kalau pemimpin ingin rakyat bekerja keras, pemerintahnya harus membangun sistem yang melayani mereka. Dengan demikian, rakyat percaya kepada pemimpinnya. “Kepercayaan itu timbul dari pelayanan Pemerintah, seperti mengurus KTP cukup dua menit, atau mengurus izin hanya sehari,” ucapnya.

Rezeki Kota

Efisinesi itu membuahkan hasil. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen, yang pada Mei 2001 sebesar Rp 7 miliar, naik menjadi Rp 14 miliar pada akhir 2001. Sekarang PAD Sragen pada APBD 2007 menjadi Rp 54 miliar. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen. “Kampung tempatku, tetapi rezekiku kota,” ucapnya.

Salah satu yang mendukung pertumbuhan ekonomi itu adalah Pabrik Gula Mojo yang tahun 2001 hendak ditutup, namun justru dia beri pinjaman Rp 5,5 miliar. “Kalau pabrik ditutup, mesinnya Cuma jadi besi tua, padahal saya tahu mesinnya masih bagus,” ujarnya. Hasilnya? Pinjaman itu bisa kembali dalam waktu setahun.

Anggaran pembangunan satu jembatan Bengawan Solo di Gawan yang semula Rp 9,6 miliar bisa dia turunkan menjadi Rp 4,3 miliar dengan mengefisiensikan biaya pengadaan tanah.

Teknologi Informasi

Untung percaya Teknologi Informasi akan meningkatkan efisiensi. Karena itu, sejak 2003 ia menerapkan pemerintahan elektronik. Lebih dari 500 komputer on-line di seluruh kantor satuan kerja, 20 kecamatan dan 208 desa. Tahun ini Pemkab sragen merakit komputer dengan nama Sratek (dari Sragen Teknologi).

Pemikiran perlunya teknologi informasi itu muncul dari pengalamannya bekerja di perusahaan asing, terutama instrumentasi dan teknologi minyak bumi. “Dengan teknologi semuanya bisa efisien. Teknologi Informasi juga bisa digunakan untuk kontrol.”

Pada awal dia menjadi bupati, di Pemkab Sragen Cuma ada tiga komputer. Untung lalu menyiapkan dulu sumber daya manusianya. Awalnya memang perlu dana relatif besar, namun hasilnya sepadan. PNS di Sragen kini piawai menggunakan komputer dan mahir berbahasa Inggris. Tuntutan kemahiran itu sampai pada PNS tingkat desa, bahkan kepala desa pun harus belajar komputer.

Untung memberi perhatian lebih pada desa. Sebab, ia lahir di Kampung Dayu, Desa Jurangjero, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dulu, desanya tandus, tetapi kini kawasan itu telah hijau. Kali kecil yang pada musim kemarau kering, kini menjadi bendungan yang mengairi sawah dan hutan jati di sekitarnya.

Ia bercerita, sebagai wiraswasta dia bisa hidup cukup. Namun, dorongan teman-teman membuat Untung memutuskan masuk dunia politik. “Tiga bulan menjelang pemilihan kepala daerah, saya berubah pikiran setelah berkeliling melihat potensi Sragen.”

“Alhamdulillah saya diberi banyak pengalaman, mulai dari menjadi pengusaha kaki lima, soto dan bakso di Surabaya, sampai kerja profesional. Saya tidak minder, tetapi juga tak main-main kalau bekerja,” ujar Untung.

Perjalanan Untung sebagai bupati tak selalu mulus. Pada periode pertama (2001-2006) dia dilaporkan ke polisi karena dugaan ijazah palsu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jakarta. Sorotan atas ijazah palsu itu berlanjut saat dia mencalonkan diri kembali untuk periode 2006-2011. Namun itu bisa dilaluinya. Berpasangan dengan Agus Fatchur Rahman, ia memenangi pilkada langsung pada 25 Maret 2006, dengan perolehan suara 87,35 persen.

“Sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang inkracht (tetap), ijazah saya tak bermasalah,” Ucapnya.

Selasa, 22 Juli 2008

Gaya Jokowi

Apakah latar belakang seseorang sangat mempengaruhi gayanya ketika dia diberi amanah menjadi pemimpin?

Tulisan ini saya ambil dari Asro Kamal Rokan, seorang kolumnis kondang.

Namanya Joko Widodo, namun masyarakat Surakarta biasa memanggilnya Jokowi. Wali Kota ini populer di kalangan pedagang kaki lima (PKL) di Solo, bukan karena kekuasaannya melainkan karena pendekatannya yang simpatik dan unik.

Putra tukang kayu ini mengimpikan Solo yang bersih dan tata ruang kota yang harmonis. Tapi, itu tidak mudah. PKL menjamur. Jumlahnya mencapai 5.817 yang tersebar di ruang-ruang publik dan fasilitas umum. Monumen Perjuangan 45 Banjarsari hanya terlihat puncaknya saja. Monumen bersejarah itu tertutup kios-kios pedagang yang tak beraturan dan kumuh. Jalan juga menyempit.

Stadion olahraga Manahan Solo, sama saja. Jumlah pedagang tidak terkendali. Kios-kios bertebaran menutupi kemegahan stadion tersebut. Jalan juga menjadi sempit dan tak beraturan. Pasar-pasar tradisional juga mengalami nasib sama. Tidak tertata dengan baik.

Eksportir mebel ini ingin mengubah itu. Ia bertekad mengembalikan kemegahan masa lalu Solo, sebagai kota indah dan tertata. Tapi, bagaimana caranya. Menggusur pedagang yang telah bertahun-tahun mencari nafkah di tempat-tempat itu, jelas tidak mudah. Mereka pasti marah.

Jokowi bisa saja menggunakan alat kekuasaannya sebagai wali kota --seperti diperlihatkan banyak kepala daerah lain, bahkan dengan kekerasan-- menggusur pedagang yang berjualan di tanah bukan haknya. Apa susahnya. Buat peraturan daerah dan alat-alat kekuasaan melaksanakannya. Tutup mata dan telinga. Selesai.

Tapi tidak. Mereka juga manusia yang berhak untuk hidup. Jokowi mengundang mereka makan di kantornya. Ia mendengar semua keluhan, terus mendengar sebelum menyampaikan rencananya. Berkali-kali seperti itu, makan malam, ngobrol, dan pulang.

Setelah terus mendengar, pada pertemuan ke-57, baru Jokowi menyampaikan rencananya memindahkan pedagang ke tempat yang disediakan di Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi. Rencana itu disertai pemberian kios secara gratis --meski sesungguhnya pedagang tetap bayar retribusi Rp 2.500 setiap hari selama 10 tahun-- disepakati pedagang.

Jokowi memimpin sendiri pemindahan pedagang. Ia menjadikan pemindahan itu sebagai peristiwa budaya dan sejarah. Sebanyak 989 pedagang diarak bersama seribu tumpeng dari Monumen Banjarsari menuju Pasar Klithikan Notoharjo. Peristiwa Juli 2006 itu kemudian dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI). Kini, Monumen Banjarsari bersih dan tertata rapih.

Pendekatan manusiawi itu juga dilakukan ketika memindahkan pedagang di Manahan. Stadion olahraga itu kini asri dengan pepohonan hijau. Berbagai pasar tradisional --di antaranya Pasar Kembang dan Pasar Nusukan-- yang sebelumnya kumuh, ditata menjadi menarik dan sehat. Bahkan, setiap pedagang diberi celemek gratis.

Tak banyak kepala daerah seperti Jokowi. Wali Kota berusia 46 tahun ini setidaknya memperlihatkan bahwa kekuasaan jauh lebih berarti dengan wajah ramah, tidak harus garang dan menghardik. Ia juga memperlihatkan kepedulian seorang pemimpin, di saat banyak pemimpin lupa atas kepentingan apa sesungguhnya mereka mengejar kekuasaan itu.

Bangsa ini letih dan sedang tergeletak dalam carut-marut perlombaan merebut kekuasaan. Dari satu pilkada ke pilkada lain, ratusan miliar rupiah uang tidak produktif bertebaran. Setelah berkuasa, mereka mengambil kembali uang itu dari rakyat, tak peduli rakyat meraung kesakitan dan lapar. Jokowi mungkin tak berharap pujian --meski ia layak menerima itu-- karena perbaikan dan pembenahan adalah kewajiban, adalah ibadah. Kewajiban dan ibadah tidak memerlukan pujian.

Kamis, 17 Juli 2008

Fokus, Lah!


"Saya ingin cerita pak. Dulu saya kepingin buka usaha. Ada beberapa alternatif yang bisa saya ambil, yaitu jualan telur, jualan oli, jualan memori komputer, atau jualan bahan bangunan," demikian seorang pendengar SmartFM bertanya kepada Andrie Wongso pada Senin pagi yang lalu.

"Andaikan saya jualan telur, setelah dihitung-hitung dengan cermat, perhari saya bisa dapat laba Rp 100-an ribu. Kalau jual oli, setelah dihitung-hitung, perhari profit saya bisa mencapai lebih Rp 200 ribu. Kalau saya main di memori, setelah dihitung-hitung, perhari paling banter saya bisa bawa pulang Rp 150 ribu. Tapi kalau saya main di bahan bangunan profitnya bisa lebih besar lagi."

Sebelum Andrie Wongso memberi tanggapan, pria ini melanjutkan ceritanya.

"Ternyata setelah saya action hasilnya sangat di luar perhitungan. Pertama saya coba jual telur. Ketika saya ke pasar induk mendatangi para pedagang telur, hampir semua pedagang menjawab kalau mereka sudah punya langganan. Tidak ada pedagang yang belum punya supplier. Gagal, grounded.

Saya mencoba plan B, yaitu jualan oli. Hampir semua bengkel saya masuki. Jawabnya ternyata idem dito dengan pedagang telur. Semua bengkel sudah mempunyai langganan. Mereka semua sudah punya supplier. Gigit jari, balik kanan, pulang kalah.

Akhirnya saya coba main di memori. Ternyata sangat sedikit orang biasa yang membeli memori. Hanya pedagang atau service komputer yang biasa membeli memori. Dan mereka membeli memori ke toko yang sudah mereka kenal dengan baik. Artinya mereka semua sudah punya langganan. Sama saja, gagal maning gagal maning.

Tinggal bahan bangunan nih yang belum saya coba. Tapi saya sepertinya sudah hilang semangat. Apalagi ketika saya mengadakan survey kecil-kecilan tingkat persaingan toko bahan bangunan sudah sedemikian sengit...."

Itulah curhat seseorang kepada motivator nomor satu pada Senin pagi. Motivasi orang ini sebenarnya sangat tinggi. Dia sebenarnya punya sikap pantang menyerah. Gagal satu coba yang lain. 'Kalah' bertarung coba lagi dengan membuka 'medan' baru di area yang baru. Tapi ketika kegagalan terus menyertainya membuat mental sang pejuang ini menjadi kendor, nglokro, anjlok.

Saya setuju dengan jawaban yang diberikan nara sumber. Bahwa bisnis itu tidak hanya berani mencoba saja. Bisnis itu yang terpenting adalah menjaga sikap mental kita. Sikap mental untuk terus belajar dan berani fokus.

Apa yang dilakukan penanya sebenarnya sudah benar. Dia sudah berani action. Dia juga berani menanggung resiko ketika yang direncanakan tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Tapi ada satu kekurangan yang dia miliki, yaitu bahwa action selalu menghasilkan pelajaran-pelajaran baru yang sama sekali di luar perkiraan. Hitung-hitungan di atas kertasnya sangat ideal tapi kenyataan di lapangan ternyata sangat berbeda.

"Untuk mencapai sukses pasti banyak halangan yang menghadang. Tidak ada kesuksesan tanpa halangan, rintangan, hambatan, gangguan. Anda harus punya sikap mental bahwa masalah apapun harus bisa diatasi. Halangan sebesar apapun mesti bisa dilewati. Dan ini hanya bisa dilakukan kalau anda fokus dengan pilihan anda," kata Andrie Wongso

"Pilihlah bidang yang disukai lalu cobalah untuk fokus di sana. Jangan mudah pindah haluan kalau ada masalah yang menghadang anda. Kalau anda gampang pindah haluan, percayalah, di sana juga banyak masalah. Kalau anda fokus maka pasti anda bisa menguasai masalah itu," tambah AW.

Semua merek terkenal di dunia tidak muncul dengan sendirinya. Produk bermerek itu dibangun dengan fokus yang luar biasa oleh para founder-nya. Memelihara fokus pun juga perlu waktu dan ujian yang berat. Pasti sangat banyak godaan yang dialami supaya keluar dari fokus. Tapi merek-merek yang mendunia itu sudah membuktikan bahwa tetap fokus adalah yang terbaik.

Jadi kalau sudah pilih batik, ya tetaplah di batik, meski harus kolaps 5 bulan karena kebanjiran.... Loh, kok malah curhat sendiri... :)

Jumat, 11 Juli 2008

'Mudah' Kok Mengatasi Krisis Byar-Pet


"Harusnya perusahaan-perusahaan itu tahu dong kalau listrik di Indonesia tidak stabil, suka byar pet. Harusnya mereka siap dengan gen set...."

"Kalau masalah infra struktur, itu tugas Pemerintah. Di negara mana pun di dunia ini, infra struktur adalah investasi dari Pemerintah. Tidak mungkin soal infra struktur diserahkan kepada pengusaha..."

Demikian cuplikan polemik sahabat saya di sebuah milis alumni. Dialog di atas tidak persis seperti itu tapi substansi polemiknya seperti itu.

Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat yang kedua, bahwa infra struktur adalah tugas Pemerintah. Tidak mungkin pengusaha dibebani dengan pembangunan infra struktur (jalan, listrik, jaringan telepon, dll), emang berapa profit pengusaha. Hanya perusahaan-perusahaan pertambangan raksasa yang bisa membangun infra struktur sendiri karena skala dan profitnya yang memang sangat besar.

Minggu-minggu ini terus terang kami merasa 'terteror' dengan pengumuman Pemerintah bahwa kita harus siap-siap dengan pemadaman bergilir. Pagi-pagi sekali kami harus membereskan semuanya. Air harus di-stok lebih banyak dari biasanya. Dan ketika jarum jam mulai merangkak ke angka delapan, kami semua deg-degan: mati-nggak-mati-nggak, byar-pet byar-pet.

Dan ketika listrik tetap menyala, semua lega. Kami melanjutkan pekerjaan masing-masing. Tapi ketika listrik mati, maka karyawan yang kerjanya bergantung pada listrik terpaksa balik kanan, pulang ke rumah.

"Pernah nggak sih Pemerintah mikir berapa kerugian yang dialami pengusaha, bagaimana pengusaha menghadapi komplain pelanggan, dan bagaimana upah pegawai yang terpaksa pulang lagi karena tidak ada pekerjaan. Pernah nggak sih Pemerintah mikir kompensasi yang harus diberikan kepada ribuan pengusaha-pengusaha jujur yang tidak pernah korupsi?"

"Kamu jangan hanya protes gitu, dong. Pemerintah juga pusing dengan krisis listrik ini."

"Tapi yang sangat nggak masuk akal adalah anjuran kepada sektor produktif (industri) untuk mengurangi jam kerja. Logika ini aneh. Harusnya pas krisis gini sektor produktif kan harus digenjot abis supaya ekonomi cepat pulih. Yang pemakaiannya harus dikurangi seharusnya sektor konsumtif."

"Kongkritnya gimana? Punya solusi nggak untuk mengurangi sektor konsumtif? Kalau nggak punya solusi lebih baik kamu diam saja, jangan bisanya cuma marah-marah."

"Sederhana sekali. Undang semua pers, baik cetak maupun televisi untuk datang ke Istana. Tunjukkan pada dunia bahwa mulai sekarang AC di Istana diset 30-an derajat celcius. Memang udara jadi lebih panas tapi nggak apa-apa, kan kelembaban udaranya tetap terjaga. Jadi tetap tidak akan berkeringat.

Dan karena suhu lebih panas dari biasanya maka pakaian resmi berupa jas-jasan kurang pas dipakai. Jas itu sebenarnya kan lebih cocok buat negara yang punya 4 musim. Untuk Indonesia yang tropis, kelembaban udaranya tinggi, yang pas untuk pakaian resmi ya... BATIK, hehe...

Instruksikan kepada semua gedung-gedung milik Pemerintah untuk men-set ulang suhu AC, matikan lampu-lampu gedung-gedung milik Pemerintah pada siang hari. Pokoknya apa pun yang dibiayai dengan rakyat harus dikurangi.

Kalau action ini dilihat rakyat Indonesia, maka menjadi mudah meminta masyarakat menghemat listrik, karena pemimpin yang memulai. Jadi jangan berharap sektor konsumsif mau melakukan penghematan kalau pemimpinnya 'enak-enak' saja, tidak mau mengurangi fasilitasnya...

Salam Batik... :)

Senin, 07 Juli 2008

Power of Pasrah

"Aku sekarang pokoknya pasrah banget. Aku merasakan betapa Gusti Allah itu mencintai saya. Kalau aku lagi mentok, nggak tahu harus ngapain, aku pasrah banget. E... biasanya kok pasti ada jalan dari Gusti Allah," cerita tetangga saya, Ny D, single parent, kepada istri saya pada suatu siang.

"Kayak kemarin itu pas aku mau nutup kiosku. Ada panitia pembangunan masjid datang, padahal daganganku lagi sepi, anakku sakit dan harus kubawa ke bidan. Akhirnya kupaksain ngisi kencleng. Aku yakin aja nggak mungkin Gusti Allah nggak bantu aku.

Eh, ketika di bidan bukannya aku harus mbayar tapi malah aku dikasih uang sama bidannya. Pas pulang ketemu kenalan. Nggak tahu kenapa kok dia ngasih anakku duit. Kalo dijumlah ternyata jumlahnya 10x lipat dari yang saya berikan ke kencleng," Ny D meneruskan ceritanya.

Siang itu lebih 30 menit dia cerita kepada istri saya. Padahal niat awal dia datang ke tempat saya sebenarnya cuma numpang lewat saja. Istri saya sendiri tidak tahu persis mengapa ibu ini kok cerita begitu banyak.

Kisah Ny D di atas hanyalah sekelumit kecil dari kisah-kisah dia yang sebenarnya cukup banyak. Dan hampir semua yang dialaminya banyak mengandung kejutan-kejutan (lebih tepatnya 'keajaiban') yang cukup susah dinalar dengan logika biasa.

Di kompleks perumahan saya mempunyai dua tetangga yang kisahnya mirip tapi outputnya sangat berbeda.

Ny D menjadi single parent karena sang suami sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Anak mereka masih kecil-kecil. 'Kepergian' sang ayah cukup mendadak. Sore hari sang suami mengeluh tidak enak badan, dan Maghrib dia dipanggil menghadap-Nya.

Tulang punggung keluarga pun runtuh. Selama ini keluarga ini mendapatkan nafkah dari pekerjaan sang suami yang jadi karyawan teknis sebuah kontraktor. Tidak ada lagi gaji bulanan yang bisa dinikmati. Pesangon yang ada pun tidak mampu menopang kehidupan keluarga ini karena kantor tempat sang suami bekerja hanyalah kontraktor 'gurem'.

Guncangan 'gempa' kehidupan yang melanda Ny D dengan tiba-tiba memang membuatnya terjerembab. Masih beruntung karena Ny D langsung 'berdiri' lagi. 'Masih' beruntung lagi karena Ny D sejak dulu selalu menabur kebaikan di mana-mana. Tenaganya selalu ada kalau ada orang yang minta tolong. Dia cukup ringan langkah kalau diminta membantu orang lain. Tidak pernah terucap 'tidak' kalau pengurus RT/RW memintanya membuat konsumsi untuk kegiatan sosial.

Dan ketika roda kehidupan kembali berputar normal, Ny D sadar bahwa kini dia sendirian harus melanjutkan perjuangan demi sang anak yang kini 'dititipkan' Sang Pencipta kepadanya. Ketrampilan yang dimilikinya adalah membuat makanan. Beberapa orang menganjurkan dia membuka warung.

"Percaya nggak, saya disuruh membeli display second cuma Rp 50 ribu. Padahal barangnya masih bagus banget, kalau dijual 300 ribu pasti banyak yang mau," ceritanya kepada istri saya. Tidak sampai di situ saja, beberapa barang modal pun datang kepada Ny D seperti dikomando. Dan dalam waktu tidak begitu lama Ny D bisa melanjutkan hidupnya dengan wajar...

Kisah Ny I, tetangga saya juga, mirip dengan Ny D. Ny I menjadi orang tua tunggal setelah sang suami dipanggil Yang Kuasa secara mendadak. Kisah Ny I ini pernah saya tulis di sini dengan judul Blitz.

Bedanya, Ny I sangat sulit untuk bangkit. Diberi motivasi seperti apa pun tidak mempan. Bahkan ketika diberi modal untuk buka usaha, yang ada cuma takut rugi.

"Katanya anak yatim itu harus disantuni, tapi kok orang-orang kurang peduli ya," gerutunya merenungi nasibnya...

Rabu, 02 Juli 2008

Sadar Leadership

Kemarin pagi SmartFM menyajikan sebuah ulasan yang sangat menarik. Nanang Qosim Yusuf, yang dijuluki sang penutur, membagi kepemimpinan menjadi 5 jenis:

1. Pemimpin Culas.
Pemimpin jenis ini akan selalu senang jika melihat orang lain susah dan susah jika melihat orang lain senang. Kalau ada orang lain berprestasi dia akan memberi komentar, "Seharusnya saya yang mendapat penghargaan itu. Saya lebih pandai dari dia."

Pemimpin jenis ini tidak akan memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk maju.

2. Pemimpin Cerdik.
Mirip dongeng 'Kancil Nyolong Timun'. Dongeng yang biasa kita dengar ketika kecil dulu.

Orang seperti ini sangat lihai melakukan penipuan, membohongi relasi bisnis, membuat laporan palsu. Dan selalu melakukan pembenaran terhadap perbuatan salah yang dilakukannya.

3. Pemimpin Pintar.
Dia mempunyai IQ yang tinggi. Tapi kepintaran yang dia punya hanya dipergunakan untuk menguasai orang lain.

4. Pemimpin Cerdas.
Tipe ini adalah gabungan antara pintar dan pengendalian diri. Dia sudah cukup mempunyai jam terbang tinggi menjadi pemimpin pintar sehingga langkah-langkahnya cukup terkendali. Untuk zaman ini contoh yang pas adalah para koruptor kawakan. Mereka mencuri uang rakyat dengan 'kepala dingin', tidak menyolok, tidak 'serakah'. Sehingga tidak bisa diendus KPK.

5. Pemimpin Sadar.
Inilah tingkatan tertinggi, paripurna. Pemimpin tipe ini mampu melakukan perbuatan yang benar, yang bersih, meski tidak ada yang melihat.

Kita masing-masing bisa menilai diri sendiri, masuk tipe yang mana. Saya sendiri pernah cukup lama bergaul dengan teman yang ber-tipe 2. Mudah-mudahan saat ini dia sudah naik tingkatan. :)

Tapi gol kita harus jelas. Harus menjadi pemimpin sadar.