Selasa, 03 Juli 2007

Blitz (Serangan Kilat)


"Suami saya nggak apa-apa kan pak?" kata Bu Ema (sebut saja begitu) berkali-kali sambil menatap tajam teman kantor suaminya yang tiba-tiba mengunjungi rumahnya.

"Benar kan pak suami saya nggak apa-apa?" tanya ibu tiga anak yang rumahnya dekat dengan rumah saya itu kembali mengulang pertanyaan kecemasannya.

Sambil menarik nafas panjang sang tamu dengan terpaksa menyampaikan berita duka. Berita duka yang sangat tiba-tiba. "Suami ibu meninggal hari Jumat kemarin. Dugaan kami karena serangan jantung."

Berita itu diterima hari Minggu. Jadi sudah dua hari dari tanggal kejadian. Dan sampai sekarang jenazahnya sedang dalam proses dipulangkan ke Indonesia. Ya, suami bu Ema memang sedang melakukan tugas belajar ke Jepang. Dia dikirim dari kantornya untuk memperdalam product knowledge sebuah produk yang baru saja diluncurkan ke pasar.

Berita ini sontak membuat bu Ema lemas. Matanya tiba-tiba kosong. Dan... bruk! beliau harus dipapah supaya tidak jatuh. Terbayang dalam pikiran bu Ema bagaimana dia harus hidup dengan tiga anak yang masih kecil-kecil. Bagaimana mereka harus melanjutkan hidup. Selama ini memang hanya dari sang suami income keluarga ini. Dan sekarang tiba-tiba sumber tersebut dicabut dengan tiba-tiba, tanpa ancang-ancang sama sekali.

Kejadian ini bisa menimpa siapa saja, tak ada kecuali. Bedanya hanya pada prosesnya. Ada yang pelan-pelan. Namun tidak jarang datang secepat Blitzkrieg, serangan kilat.

Pada banyak perusahaan memang ada penghargaan untuk meringankan kejadian tersebut. Juga banyak asuransi yang menawarkan kompensasi untuk keadaan tak terduga seperti itu. Namun persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Persoalan yang paling mendasar adalah, kalau tunjangan tersebut sudah diterima kemudian buat apa?

Jalan paling aman memang ditabung atau deposito. Tapi dengan tingkat suku bunga seperti sekarang ini bunga deposito jelas tidak cukup untuk menunjang hidup. Bagaimana kalau untuk bisnis? Bagus, tapi bisnis juga mengandung resiko besar kalau seseorang sama sekali belum pernah mencoba bisnis. Investasi properti? Sama saja kalau sama sekali belum pernah mencoba main properti.

Kebimbangan seperti di atas adalah realita yang juga dirasakan oleh istri sahabat saya kira-kira dua tahun lalu. Sang suami tercinta, karyawan perusahaan minyak asing, tiba-tiba meninggal karena kecelakaan. Sang istri mendapat tunjangan cukup besar tapi bingung buat apa dana sebanyak itu? Kalau tidak diputar jelas akan habis. Sementara untuk bisnis dia tidak berani...

Yang menyedihkan adalah kalau sang penyangga hidup tiba-tiba "dipanggil" Yang Kuasa, sedangkan keluarga yang ditinggal tidak mendapat tunjangan yang layak....

Bagaimana mengantisipasinya?

Jalan yang paling rasional, mungkin, salah satu (sukur berdua) sudah harus memulai bisnis dari sekarang, mumpung masih diberi waktu olah Sang Khalik. Karena bisnis memerlukan biaya belajar, baik dana maupun waktu. Dan bisnis yang dikelola ini juga diketahui oleh masing-masing suami-istri. Secara garis besar suami dan istri mengetahui settingan usahanya, bagaimana cara mengelola, hitung-hitungannya, suppliernya, dll.

Nah kalau tiba-tiba terjadi Blitzkrieg yang tidak dikehendaki, yang ditinggalkan masih bisa "melanjutkan" hidup tanpa harus meraba-raba apa yang harus dilakukan. Dan kalau ada tunjangan yg cukup signifikan, tentu saja bisa dipakai buat akselerasi usaha.

Saya menakut-nakuti? Saya sendiri juga takut. Kita semua pada dasarnya kan sedang "antri". Kita duluan atau pasangan kita yang duluan. Tapi saya persilahkan kalau Anda mau "duluan"...:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar