'kebetulan' mindset melayani ini datangnya kok ya dari sosok yang latar belakangnya pengusaha....
----------------
Untung Sarono Wiyono Sukarno (lahir 16 Oktober 1950) adalah seorang politikus Indonesia. Ia adalah Bupati Sragen sejak tahun 2001. Sebagai bupati ia selalu menekankan bahwa "Sragen yang mempunyai sumber daya alam yang terbatas harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi".
Untung Wiyono mengawali karir sebagai pengusaha dari bawah. Dengan latar belakang pendidikan terakhir Sarjana Hukum, selama 12 tahun, dia menjadi profesional di bidang minyak dan gas pada perusahaan asing. Setelah malang melintang sebagai profesional, dia akhirnya memutuskan menjadi wirausahawan dan mendirikan perusahaan sendiri mulai dari nol.
Kegemarannya dalam seni mendalang membuat Wiyono menjadikan mendalang sebagai sarana pembinaan dan penyerapan aspirasi masyarakat (wikipedia).
Berikut adalah tulisan di Kompas, 21 Februari 2008:
Dari 21 kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen, delapan di antaranya diadopsi Pemerintah Pusat. Kedelapan kebijakan itu adalah: pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil dengan sistem kompetensi, budidaya pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat, dan pembiayaan mikro.
Program lain yang unik adalah denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara bagi orang yang menangkap ikan dengan racun, denda Rp 50 juta atau 5 tahun penjara bagi penembak burung. Ada lagi kebijakan Sragen bebas pengemis atau peminta-minta, bahkan juga kebijakan pohon bebas paku.
Setelah mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden pada tahun 2004, Sragen lalu meraih 34 penghargaan lain dari berbagai kalangan. Terakhir penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia dalam Peringatan Hari Pers Nasional 2008 di Semarang untuk program pelayanan publik.
Saat memaparkan program dalam Konvensi Nasional Media Massa, 8 Februari lalu, Untung tampak bersemangat. Ia pekikkan pula kata “merdeka!!”. Maklum, dia juga Pelaksana Harian Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sragen. Saat ditemui pekan lalu, gaya bicaranya tetap berapi-api. Tak ada kesan mengantuk meskipun ia mengaku Cuma tidur sekitar satu jam, sebab menunggui langsung seleksi penerimaan calon PNS Sragen dan paginya mengikuti kegiatan olah raga di kantornya.
Pengalaman bekerja di perusahaan asing membuat ia terbiasa berdisiplin, kerja keras dan efisiensi. “Jadi pemimpin itu harus mengatur uang dulu,” katanya. Bila dana tak dikelola dengan sistem yang baik, akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Efisiensi adalah kata kunci yang dia bawa saat menjadi Bupati Sragen.
Hari Pertama setelah dilantik menjadi bupati pada mei 2007, ia mengumpulkan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Sekretaris Daerah, Asisten Bupati, Kepala Bappeda dan Wakil Bupati. Mereka membahas anggaran rutin sebesar Rp 34 miliar. “Saya hitung-hitung masih bisa memasukkan ke kas daerah Rp 12,2 miliar atau sekitar 30 persen. Ini dari anggaran tim yang dobel dan bantuan yang tidak perlu,” ujarnya.
Selain itu, PNS pun tak terbiasa membuat rencana strategis, rencana bisnis dan proposal, APBD berupa perimbangan karena anggaran harus habis juga perlu direformasi. Untung percaya, kalau pemimpin ingin rakyat bekerja keras, pemerintahnya harus membangun sistem yang melayani mereka. Dengan demikian, rakyat percaya kepada pemimpinnya. “Kepercayaan itu timbul dari pelayanan Pemerintah, seperti mengurus KTP cukup dua menit, atau mengurus izin hanya sehari,” ucapnya.
Rezeki Kota
Efisinesi itu membuahkan hasil. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen, yang pada Mei 2001 sebesar Rp 7 miliar, naik menjadi Rp 14 miliar pada akhir 2001. Sekarang PAD Sragen pada APBD 2007 menjadi Rp 54 miliar. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen. “Kampung tempatku, tetapi rezekiku kota,” ucapnya.
Salah satu yang mendukung pertumbuhan ekonomi itu adalah Pabrik Gula Mojo yang tahun 2001 hendak ditutup, namun justru dia beri pinjaman Rp 5,5 miliar. “Kalau pabrik ditutup, mesinnya Cuma jadi besi tua, padahal saya tahu mesinnya masih bagus,” ujarnya. Hasilnya? Pinjaman itu bisa kembali dalam waktu setahun.
Anggaran pembangunan satu jembatan Bengawan Solo di Gawan yang semula Rp 9,6 miliar bisa dia turunkan menjadi Rp 4,3 miliar dengan mengefisiensikan biaya pengadaan tanah.
Teknologi Informasi
Untung percaya Teknologi Informasi akan meningkatkan efisiensi. Karena itu, sejak 2003 ia menerapkan pemerintahan elektronik. Lebih dari 500 komputer on-line di seluruh kantor satuan kerja, 20 kecamatan dan 208 desa. Tahun ini Pemkab sragen merakit komputer dengan nama Sratek (dari Sragen Teknologi).
Pemikiran perlunya teknologi informasi itu muncul dari pengalamannya bekerja di perusahaan asing, terutama instrumentasi dan teknologi minyak bumi. “Dengan teknologi semuanya bisa efisien. Teknologi Informasi juga bisa digunakan untuk kontrol.”
Pada awal dia menjadi bupati, di Pemkab Sragen Cuma ada tiga komputer. Untung lalu menyiapkan dulu sumber daya manusianya. Awalnya memang perlu dana relatif besar, namun hasilnya sepadan. PNS di Sragen kini piawai menggunakan komputer dan mahir berbahasa Inggris. Tuntutan kemahiran itu sampai pada PNS tingkat desa, bahkan kepala desa pun harus belajar komputer.
Untung memberi perhatian lebih pada desa. Sebab, ia lahir di Kampung Dayu, Desa Jurangjero, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dulu, desanya tandus, tetapi kini kawasan itu telah hijau. Kali kecil yang pada musim kemarau kering, kini menjadi bendungan yang mengairi sawah dan hutan jati di sekitarnya.
Ia bercerita, sebagai wiraswasta dia bisa hidup cukup. Namun, dorongan teman-teman membuat Untung memutuskan masuk dunia politik. “Tiga bulan menjelang pemilihan kepala daerah, saya berubah pikiran setelah berkeliling melihat potensi Sragen.”
“Alhamdulillah saya diberi banyak pengalaman, mulai dari menjadi pengusaha kaki lima, soto dan bakso di Surabaya, sampai kerja profesional. Saya tidak minder, tetapi juga tak main-main kalau bekerja,” ujar Untung.
Perjalanan Untung sebagai bupati tak selalu mulus. Pada periode pertama (2001-2006) dia dilaporkan ke polisi karena dugaan ijazah palsu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jakarta. Sorotan atas ijazah palsu itu berlanjut saat dia mencalonkan diri kembali untuk periode 2006-2011. Namun itu bisa dilaluinya. Berpasangan dengan Agus Fatchur Rahman, ia memenangi pilkada langsung pada 25 Maret 2006, dengan perolehan suara 87,35 persen.
“Sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang inkracht (tetap), ijazah saya tak bermasalah,” Ucapnya.