Selasa, 02 Desember 2008

Modar (MOdal DAsaR)

Ini cerita istri saya:

Minggu lalu dua orang penjual (sales) mampir di outlet kami. Mereka membawa panci-panci yang harganya di atas rata-rata harga panci di pasaran. Sekilas panci yang mereka bawa memang mempunyai kualitas lebih baik dibanding dengan panci yang biasa ada di pasar.

Dua orang ini sebenarnya tidak menawarkan dagangannya kepada kami. Mereka menawarkan kepada seorang ibu yang kebetulan sedang mampir di outlet kami. Karena settingan tempat kami adalah semacam "ruang tunggu", maka dua pemasar ini kami persilahkan masuk.

Dari dua orang ini kelihatan sekali bahwa salah satu dari mereka nilai penjualannya pasti lebih tinggi dibanding temannya. Dia pinter sekali mengajak calon pembelinya ngobrol sehingga diantara penjual dan (calon) pembeli ada semacam keterikatan. Dan karena sudah terjalin "keterikatan", maka sang konsumen jadi merasa tidak enak dan kikuk kalau tidak membeli barang dagangan mereka. Dan meski sang konsumen akhirnya berhasil lolos dari "jebakan" harus beli, lolosnya tidak mudah.

Istri saya yang memperhatikan bagaimana penjual ini mempengaruhi konsumennya akhirnya tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Singkatnya, sang sales akhirnya bercerita bahwa saat ini dia "memegang" empat produk dari empat perusahaan yang berbeda. Sebuah prestasi yang tidak kecil. Biasanya seorang sales hanya bisa menjajakan produk dari satu perusahaan. Biasanya setiap pagi dan/atau sore ada semacam apel yang ditujukan bagi para penjual untuk mengevaluasi kinerja mereka pada hari tersebut. Tapi, bagi sales yang mampir di tempat kami, dia jarang mengikuti apel itu.

"Saya tidak pernah ikut apel bu. Biasanya sih dipecat tapi ternyata nama saya tetap tercantum sebagai tenaga pemasar di sana. Mungkin karena saya selalu bisa memenuhi target, jadi tetap saja tercantum," katanya.

Yang dikatakan sangat mungkin benar. Bagi perusahaan, mungkin, yang penting adalah seorang penjual bisa menjual, terserah dia masuk kantor atau tidak.

"Mbak, kalau sampeyan punya kemampuan menjual bagini bagus, mengapa tidak bisnis saja sendiri, tidak bergantung pada perusahaan?" tanya istri saya.

"Abis bagaimana ya bu, saya kan belum punya modal," jawabnya.

Sebuah jawaban yang aneh. Sebagai seorang pemasar yang andal ternyata pola pikirnya masih "kaca mata kuda". Pola pikirnya masih modal identik dengan duit.

"Mbak, modal anda sudah besar. Kemampuan menjual itulah modal yang sangat besar," bantah istri saya. Tapi, anehnya, tetap saja sang panjual ini belum mengerti.

Mindset bahwa yang namanya modal adalah identik dengan uang ternyata memang sudah masuk ke alam bawah sadar mayoritas orang. Jarang sekali yang melihat bahwa potensi yang dimiliki seseorang adalah modal yang sebenarnya sangat besar. Maka menjadi mudah menjelaskan fenomena mengapa seseorang yang ingin jadi pengusaha tidak kunjung action karena pola pikirnya belum berubah. Pola pikir modal identik dengan duit.

Menunggu Godot

Hari minggu kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat. Dia punya bisnis souvenir atau cinderamata. Sebenarnya perusahaan itu bukan dia yang merintis tapi 'warisan' ayahnya. Sahabat saya ini punya tempat yang sangat strategis. Dia juga punya banyak pelanggan potensial. Pelanggan yang jarang menawar harga yang dia sodorkan. Sebuah bisnis ideal, pikir saya.

"Mas, sekarang ini pasar saya lesu. Modal kami banyak tersedot ke tempat lain. Seandainya ada tambahan modal pasti saya bisa menambah varian produk. Pengalaman saya kalau variannya banyak omsetnya pasti bagus. Sayang sekali dana yang saya harapkan tak kunjung ada," keluhnya. "Wah, menunggu godot," pikir saya.

"Sampeyan kan punya tempat bagus?" tanya saya.

"Betul tapi modal yang nggak ada," jawabnya.

Jawabannya membuat saya sangat heran. "Siapa bilang sampeyan nggak punya modal. Lokasi strategis itu kan modal yang sangat besar. Dan modal ini bertambah besar lagi karena anda punya pelanggan potensial yang tidak sensitif harga," sergah saya.

"Maksudnya?" sahabat saya ternyata masih bingung dengan pernyataan saya.

"Coba sampeyan datang ke pembuat atau pemilik produk. Nego dengan mereka. Ceritakan kondisi anda (lokasi, pelanggan potensial, dan sebagainya). Ceritakan semuanya. Bilang pada mereka kalau anda ingin menjualkan barang mereka. Sampeyan bilang saja ingin pinjam barang sekitar tiga hari. Kalau tidak laku barang dikembalikan."

"Bagaimana kalau mereka tidak percaya saya. Kan mereka tidak kenal saya."

"Ajak mereka ke tempat anda. Kalau perlu suruh dia nongkrong beberapa jam supaya bisa melihat profil pelanggan anda."

Sahabat saya terdiam. "Boleh juga dicoba," katanya.

"Dengan cara ini semuanya untung. Anda nggak perlu keluar uang sedangkan pemilik barang juga senang karena barangnya mendapat pasar yang bagus. Mereka pasti mau kalau sudah melihat konsumen anda," kata saya.

Sebenarnya tiap orang sudah mempunyai modar (MOdal DasAR) nya sendiri-sendiri. Tapi jarang yang melihat kelebihan modar masing-masing. Maka yang terjadi adalah ya... modar beneran. :)

ctt:
modar (bhs jawa)= KO, mati, dsb.

1 komentar:

  1. Betul mas, saya kadang juga terjebak dalam situasi seperti itu. Berpikir bahwa saya tidak punya modal. Thanks buat sharingnya :)

    BalasHapus