"Pak, besuk ada acara di rumah Pak Rosihan. Bisa datang kan, pak?" Demikian kira-kira ucapan Pak Eko June, lurah TDA dan tuan anjangsana, ketika menelepon saya pada Senin siang.
Tentu saja saya senang mendapat undangan tersebut. Terbayang di benak saya akan terjadi ajang sharing dan tukar pikiran di antara kita. Apa yang terjadi dengan bisnis kita selama Ramadhan dan Lebaran, kendala apa yang dihadapi, apakah omset sesuai yang diharapkan, masalah apa saja yang muncul, apa yang harus diperbaiki untuk menyambut Lebaran tahun depan, dan sebagainya.
Tapi antusiasme saya langsung berhadapan dengan bayangan Jakarta yang makin hari makin tidak nyaman. Kemacetan makin parah di mana-mana, banjir yang mulai mengancam seiring datangnya musim hujan. Kondisi ini otomatis menambah parahnya kemacetan jalanan di Jakarta. Ah, saya jadi pusing dengan bayangan sendiri.
Setelah menjadi TDA waktu saya jauh lebih banyak di Bekasi dan sekitarnya. Saya sendiri memang mengkondisikan untuk menghindari Jakarta pada hari-hari kerja. Jadi kalau ada acara di Jakarta ya diusahakan waktunya Sabtu atau Minggu. Sejak full TDA saya tidak lagi menjadi 'aktivis' kemacetan Jakarta.
Makin parahnya kemacetan di Jakarta adalah sebuah keniscayaan. Suatu hal yang pasti terjadi. Hitung-hitungannya jelas.
Menurut Pusat Data & Analisa Tempo jumlah kendaraan di Jakarta pada 2003 mencapai 6.506.244 unit. Tentu saja sekarang jauh lebih banyak lagi. Dari jumlah itu 98% adalah kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum. Dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan tiap hari kendaraan pribadi hanya mengangkut 49,7% orang. Sedangkan kendaraan umum yang hanya 2% mengangkut 50,3% orang. Dahsyat benar perbandingannya. Fantastik nian njomplangnya.
Kerugian sosial yang diderita masyarakat lebih dari 17,2 triliun per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan (terutama BBM). Belum lagi emisi gas buang diperkirakan sekitar 25.000 ton per tahun. Dampak pada tahap selanjutnya adalah menurunnya produktivitas ekonomi dan merosotnya kualitas hidup warga kota. Ingat, data ini adalah data pada 2003. Jadi bayangkan betapa parahnya kondisi pada 2007.
Tapi ketika mendapat undangan dari pak Rosihan, sang jawara ritel, dan bu Doris 'wonder women' Nasution, semua bayangan itu tiba-tiba hilang :)
Rabu, 31 Oktober 2007
Senin, 29 Oktober 2007
Cara Gila Menjual
Minggu lalu saya ditelepon oleh seorang staf salah satu bank penerbit kartu kredit. Setelah berbasa basi sebentar dia langsung pada pokok persoalan.
"Pak Abduh baru saja menutup kartu Visa mini, betul pak?
"Iya betul karena saya tidak pernah pakai kartu itu," jawab saya.
"Khusus untuk bapak kami beri penawaran khusus. Kalau Visa mini nya diaktifkan lagi, bapak kami beri free iuran tahunan selama 2 tahun. Setuju, pak?
"Maaf mbak. Nggak usah lah. Saya kan masih punya yang MasterCard."
Jawaban saya ternyata tidak menyurutkan niat sang karyawan untuk terus membujuk saya. Kami terlibat pembicaraan cukup lama. Dia terus membujuk, pokoknya saya hanya bilang 'oke' maka semua beres. "Kalau bapak nggak ingin pakai ya simpan saja Visa nya. Yang penting bapak aktifkan lagi," dia masih terus membujuk.
Saya masih terus bertahan kalau saya memang tidak ingin mengaktifkan lagi kartu itu. Saya merasa satu kartu sudah cukup.
"Jadi bapak benar-benar tidak ingin mengaktifkan lagi Visa nya?"
"Betul saya sudah mantap ditutup saja."
Rupanya pembicaraan belum berhenti di sini. Dia masih punya penawaran lagi. "Bapak dulu pernah punya kartu tambahan buat istri ya pak?"
"Betul mbak tapi sudah lama saya tutup. Alasannya sama, kartunya nggak pernah saya pakai," jawab saya.
"Bagaimana kalau kartu tambahan buat istri diaktifkan lagi, kami bebaskan iuran tahunan untuk kartu tambahan seumur hidup?"
Menurut saya penawaran ini sebenarnya sulit untuk ditolak tapi bagi saya tidak ada bedanya. Saya tetap tidak mau mengaktifkan lagi.
Ternyata dia masih punya satu penawaran 'gila' yang tidak mungkin ditolak.
"Bagaimana kalau kartu utama dan kartu tambahan bapak kami bebaskan iuran tahunan seumur hidup. Syaratnya kartu tambahannya diaktifkam lagi?"
Di sini lah saya merasa 'gila' kalau menolak tawaran ini... :)
"Pak Abduh baru saja menutup kartu Visa mini, betul pak?
"Iya betul karena saya tidak pernah pakai kartu itu," jawab saya.
"Khusus untuk bapak kami beri penawaran khusus. Kalau Visa mini nya diaktifkan lagi, bapak kami beri free iuran tahunan selama 2 tahun. Setuju, pak?
"Maaf mbak. Nggak usah lah. Saya kan masih punya yang MasterCard."
Jawaban saya ternyata tidak menyurutkan niat sang karyawan untuk terus membujuk saya. Kami terlibat pembicaraan cukup lama. Dia terus membujuk, pokoknya saya hanya bilang 'oke' maka semua beres. "Kalau bapak nggak ingin pakai ya simpan saja Visa nya. Yang penting bapak aktifkan lagi," dia masih terus membujuk.
Saya masih terus bertahan kalau saya memang tidak ingin mengaktifkan lagi kartu itu. Saya merasa satu kartu sudah cukup.
"Jadi bapak benar-benar tidak ingin mengaktifkan lagi Visa nya?"
"Betul saya sudah mantap ditutup saja."
Rupanya pembicaraan belum berhenti di sini. Dia masih punya penawaran lagi. "Bapak dulu pernah punya kartu tambahan buat istri ya pak?"
"Betul mbak tapi sudah lama saya tutup. Alasannya sama, kartunya nggak pernah saya pakai," jawab saya.
"Bagaimana kalau kartu tambahan buat istri diaktifkan lagi, kami bebaskan iuran tahunan untuk kartu tambahan seumur hidup?"
Menurut saya penawaran ini sebenarnya sulit untuk ditolak tapi bagi saya tidak ada bedanya. Saya tetap tidak mau mengaktifkan lagi.
Ternyata dia masih punya satu penawaran 'gila' yang tidak mungkin ditolak.
"Bagaimana kalau kartu utama dan kartu tambahan bapak kami bebaskan iuran tahunan seumur hidup. Syaratnya kartu tambahannya diaktifkam lagi?"
Di sini lah saya merasa 'gila' kalau menolak tawaran ini... :)
Selasa, 23 Oktober 2007
Lebaran Bebas
Liburan Lebaran baru saja usai. Jakarta kembali kepada keadaan normal, macet dan polutif. Libur Lebaran kali ini mungkin bisa masuk buku rekor sebagai liburan terpanjang di dunia.
Selama 11 hari praktis kegiatan ekonomi formal berhenti berdenyut. Mesin-mesin pabrik berhenti berputar, kantor pelayanan publik tutup pintu, anak-anak sekolah diminta belajar di rumah, karyawan dan PNS diminta "silaturahmi".
Lebaran juga bisa berarti bebas. Bebas dari rasa haus di siang hari. "Bebas" ngrasani sejawat, bebas ngenet dan menikmati yang "plus" nya juga tanpa takut pahala puasanya hilang.
Hari pertama pasca libur Lebaran juga berarti pulang dini. Hampir semua sekolah hanya mengadakan salaman guru-murid, murid-murid, guru-guru, guru-pak Bon, murid-pak Bon. Setelah itu, pulang deh. Yah, semacam ajang pemanasan untuk kegiatan esok pagi. Artinya liburannya "diperpanjang" satu hari lagi.
Bagi karyawan hari pertama setelah liburan adalah salam-salaman, saling memaafkan, saling cerita. Ada yang bercerita tentang trik bebas dari jebakan pantura dengan aman, bagaimana rasanya ke Solo menghabiskan waktu 24-an jam (normal 11 jam). Ada juga yang cerita bagaimana harus menjadi "hansip" di kompleksnya karena tidak mudik. Tidak sedikit juga yang harus sowan ke orang tua pada hari Jumat padahal dia ikut lebaran Sabtu. Artinya dia masih puasa ketika saudara yang lain sudah merayakan makan siang hari.
Dan tiba-tiba jam makan siang sudah berdentang. Semua ke luar mencari kantin, resto, cafe, warung,warteg, dan sebangsanya. Di sana obrolan soal dinamika pantura, Lebaran Jum'at/Sabtu, motor yang kempes di jalur mudik kembali terulang. Hari pertama diisi dengan warming up supaya esok bisa kerja dengan lebih baik. Dan pulang dini pun terlihat di jalanan di Ibu Kota. Artinya banyak kantor hari kerja efektifnya ya dimulai pada Selasa.
Lebaran tahun ini, kata Pemerintah, melibatkan tidak kurang dari 14,8 juta pemudik di seluruh Indonesia. Ya, hampir lima belas juta penduduk serentak mengadakan perjalanan 'spiritual' mengunjungi tempat asal, tempat kelahiran, tempat bermain waktu kecil. Sebuah perjalanan yang sebenarnya kurang nyaman, dengan biaya yang lebih mahal dari biasanya, dengan waktu tempuh yang lebih panjang, resiko lebih tinggi, plus berdesak-desakan di moda angkutan kelas ekonomi. Tapi seperti kata mas Roger Hamilton, kalau melakukannya dengan enjoy maka ketidak nyamanan tersebut menjadi tidak terasa.
Pemerintah membuat asumsi bila tiap pemudik membelanjakan uangnya Rp 2 juta untuk Lebaran kali ini maka dana yang mengalir ke luar Jakarta kurang lebih Rp 29,6 triliun. Jumlah yang tidak sedikit. Untuk menghadapi derasnya aliran dana ke daerah maka BI menyiapkan dana tunai khusus Lebaran Rp 45 triliun.
Jadi libur Lebaran sebenarnya bukan berarti berhentinya kegiatan ekonomi tapi aktivitas bisnis bergeser ke sektor informal. Semua merasakan ketiban rezeki: toko pakaian, toko roti, warung makanan, toko oleh-oleh, barang kerajinan, tempat wisata, kebun binatang, anak-anak tetangga, penjual balon, pengemis, pak ogah, (mungkin) aparat lalu lintas, dan lain-lain merasakan kenaikan omset luar biasa.
Tapi yang lebih penting adalah Lebaran sebenarnya bukan merupakan akhir dari ujian. Tetapi Lebaran adalah permulaan dari implementasi pelatihan kita. Selama sebulan penuh kita dilatih mengendalikan nafsu: Tidak boleh minum kala haus, harus pandai menjaga ucapan, bisa mengendalikan emosi.
Sebagaimana seorang pilot yang baru selesai menjalani pelatihan di ruang simulasi. Kualitas pilot yang sesungguhnya akan tampak ketika dia benar-benar memegang kemudi pesawat yang sesungguhnya: Bagaimana cara dia mengatasi masalah darurat, apa yang dilakukannya kalau tiba-tiba satu mesin mati, tindakan apa yang harus diambil jika roda tidak mau keluar saat akan mendarat, dan sebagainya. Kalau masih di simulator bisa jadi dia sangat mahir karena tidak ada resiko apa pun yang akan menimpa.
Begitu juga dengan kita. Kualitas puasa kita akan tampak manakala kita sudah berada di luar Ramadhan. Jika kita makin dermawan, jika keinginan berbagi menjadi lebih besar, jika pelayanan kita kepada orang lain makin baik, berarti pelatihan sebulan kita tidak sia-sia. Amin.
Selama 11 hari praktis kegiatan ekonomi formal berhenti berdenyut. Mesin-mesin pabrik berhenti berputar, kantor pelayanan publik tutup pintu, anak-anak sekolah diminta belajar di rumah, karyawan dan PNS diminta "silaturahmi".
Lebaran juga bisa berarti bebas. Bebas dari rasa haus di siang hari. "Bebas" ngrasani sejawat, bebas ngenet dan menikmati yang "plus" nya juga tanpa takut pahala puasanya hilang.
Hari pertama pasca libur Lebaran juga berarti pulang dini. Hampir semua sekolah hanya mengadakan salaman guru-murid, murid-murid, guru-guru, guru-pak Bon, murid-pak Bon. Setelah itu, pulang deh. Yah, semacam ajang pemanasan untuk kegiatan esok pagi. Artinya liburannya "diperpanjang" satu hari lagi.
Bagi karyawan hari pertama setelah liburan adalah salam-salaman, saling memaafkan, saling cerita. Ada yang bercerita tentang trik bebas dari jebakan pantura dengan aman, bagaimana rasanya ke Solo menghabiskan waktu 24-an jam (normal 11 jam). Ada juga yang cerita bagaimana harus menjadi "hansip" di kompleksnya karena tidak mudik. Tidak sedikit juga yang harus sowan ke orang tua pada hari Jumat padahal dia ikut lebaran Sabtu. Artinya dia masih puasa ketika saudara yang lain sudah merayakan makan siang hari.
Dan tiba-tiba jam makan siang sudah berdentang. Semua ke luar mencari kantin, resto, cafe, warung,warteg, dan sebangsanya. Di sana obrolan soal dinamika pantura, Lebaran Jum'at/Sabtu, motor yang kempes di jalur mudik kembali terulang. Hari pertama diisi dengan warming up supaya esok bisa kerja dengan lebih baik. Dan pulang dini pun terlihat di jalanan di Ibu Kota. Artinya banyak kantor hari kerja efektifnya ya dimulai pada Selasa.
Lebaran tahun ini, kata Pemerintah, melibatkan tidak kurang dari 14,8 juta pemudik di seluruh Indonesia. Ya, hampir lima belas juta penduduk serentak mengadakan perjalanan 'spiritual' mengunjungi tempat asal, tempat kelahiran, tempat bermain waktu kecil. Sebuah perjalanan yang sebenarnya kurang nyaman, dengan biaya yang lebih mahal dari biasanya, dengan waktu tempuh yang lebih panjang, resiko lebih tinggi, plus berdesak-desakan di moda angkutan kelas ekonomi. Tapi seperti kata mas Roger Hamilton, kalau melakukannya dengan enjoy maka ketidak nyamanan tersebut menjadi tidak terasa.
Pemerintah membuat asumsi bila tiap pemudik membelanjakan uangnya Rp 2 juta untuk Lebaran kali ini maka dana yang mengalir ke luar Jakarta kurang lebih Rp 29,6 triliun. Jumlah yang tidak sedikit. Untuk menghadapi derasnya aliran dana ke daerah maka BI menyiapkan dana tunai khusus Lebaran Rp 45 triliun.
Jadi libur Lebaran sebenarnya bukan berarti berhentinya kegiatan ekonomi tapi aktivitas bisnis bergeser ke sektor informal. Semua merasakan ketiban rezeki: toko pakaian, toko roti, warung makanan, toko oleh-oleh, barang kerajinan, tempat wisata, kebun binatang, anak-anak tetangga, penjual balon, pengemis, pak ogah, (mungkin) aparat lalu lintas, dan lain-lain merasakan kenaikan omset luar biasa.
Tapi yang lebih penting adalah Lebaran sebenarnya bukan merupakan akhir dari ujian. Tetapi Lebaran adalah permulaan dari implementasi pelatihan kita. Selama sebulan penuh kita dilatih mengendalikan nafsu: Tidak boleh minum kala haus, harus pandai menjaga ucapan, bisa mengendalikan emosi.
Sebagaimana seorang pilot yang baru selesai menjalani pelatihan di ruang simulasi. Kualitas pilot yang sesungguhnya akan tampak ketika dia benar-benar memegang kemudi pesawat yang sesungguhnya: Bagaimana cara dia mengatasi masalah darurat, apa yang dilakukannya kalau tiba-tiba satu mesin mati, tindakan apa yang harus diambil jika roda tidak mau keluar saat akan mendarat, dan sebagainya. Kalau masih di simulator bisa jadi dia sangat mahir karena tidak ada resiko apa pun yang akan menimpa.
Begitu juga dengan kita. Kualitas puasa kita akan tampak manakala kita sudah berada di luar Ramadhan. Jika kita makin dermawan, jika keinginan berbagi menjadi lebih besar, jika pelayanan kita kepada orang lain makin baik, berarti pelatihan sebulan kita tidak sia-sia. Amin.
Kamis, 11 Oktober 2007
Furnitur Unik Batik
Selasa, 09 Oktober 2007
Optimis
"Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku," demikian bunyi salah satu hadis Nabi. Kalau kita berprasangka baik terhadap Allah maka yang baik lah yang akan kita terima. Begitu pula sebaliknya, kalau kita berprasangka buruk kepada Tuhan maka keburukan pula yang akan menimpa kita.
Ada salah satu huruf Cina yang cara membacanya betul-betul diserahkan kepada kita. Kita bisa membacanya sebagai musibah tapi kita juga dapat melihatnya sebagai peluang. Bentuk hurufnya sama. yang berbeda adalah cara membacanya. Semuanya tergantung bagaimana pikiran kita. Otak kita sedang optimis atau lagi dilanda pesimis.
Banyak masalah kalau kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda bisa berubah menjadi peluang. Ada contoh menarik.
Di Makasar kalau pas bulan Ramadhan, tiba-tiba di sekitar masjid Agung banyak sekali pengemis yang stand by 24 jam. Tidak kalah dengan UGD di rumah sakit mereka dengan sigap "menjemput" setiap jemaah yang menuju atau meninggalkan masjid. Setiap tahun jumlah pengemis ini makin lama makin bertambah banyak. Pengurus masjid tidak dapat begitu saja menyuruh mereka meninggalkan area masjid. Tapi keberadaannya sudah mulai benar-benar mengganggu lingkungan tempat ibadah itu.
Di tengah problema yang tampaknya tidak ada jalan keluar ini ada salah satu pengurus yang jeli. Dia melihat kalau pas Ramadhan jumlah yang shalat di masjid Agung ini bertambah banyak secara signifikan. Apalagi kalau menjelang berbuka puasa. Banyak sekali masyarakat yang lebih senang menghabiskan waktu ngabuburit di masjid. Yang dikerjakan jemaah ini tidak banyak. Mereka hanya duduk-duduk, tiduran, dan sedikit yang membaca Al-Quran.
Antara para pengemis dan orang yang hanya tidur-tiduran di masjid sebenarnya tidak ada bedanya. Yang mereka kerjakan hanya menunggu tanpa melakukan apa pun. Dalam hal ini pengemis masih lebih baik, meski mereka hanya menunggu tapi kewaspadaan mereka tidak diragukan lagi. Sang pengemis segera tahu siapa saja yang layak "dibuntuti" dan yang tidak masuk hitungan.
Dari pada sama-sama menunggu maka alangkah baiknya kalau "partai" pengemis ini diberdayakan. Oleh pengurus masjid mereka diminta menawarkan jasanya untuk memijit para jemaah yang hanya tidur-tiduran. Rupanya kiat ini mendapat respon positif. Jadilah puluhan pengemis, hampir semuanya anak-anak, akhirnya beralih profesi menjadi pemijit di sore hari. Dengan cara ini ternyata pendapatan mereka lebih besar dibandingkan mengemis. Selain itu ada pelajaran yang sangat berharga, aktualisasi mereka lebih dihargai, mereka pun lebih pede.
Di Sidoarjo ada contoh lain lagi bagaimana menyikapi kondisi negatif menjadi positif. Di sana puluhan warga korban lumpur Lapindo berhasil keluar dari sikap pesimis menuju optimis. Mereka dengan jitu bisa membaca tren yang terjadi di lingkungannya.
Liputan yang luas di media massa mengenai lumpur Lapindo membuat daerah itu menjadi terkenal. Semua orang akhirnya tahu kalau di Jawa Timur ada tempat yang bernama Sidoarjo. Sebuah tempat yang kini telah berubah manjadi lautan lumpur hasil kecerobohan manusia.
Banyak orang yang penasaran dan ingin melihat dari dekat apa yang terjadi di sana. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan biaya tidak sedikit demi mengobati rasa ingin tahunya. Keadaan ini lah yang dibaca oleh sebagian masyarakat korban lumpur.
Akhirnya mereka pun memutuskan membuat area lumpur lapindo menjadi obyek wisata. Semua rombongan yang datang dipungut parkir 5000 rupiah. Bagi yang ingin sampai puncak tanggul dikenakan karcis "masuk" Rp 2000. Sedangkan bagi yang ingin melihat dari dekat pusat semburan lumpur disediakan ojek dengan ongkos Rp 3000.
Masih ada lagi. Di sana juga dijual aneka cinderamata yang berhubungan dengan lumpur lapindo. Tidak ketinggalan dijual juga VCD tentang ke-lumpur-an yang telah makan banyak korban. Luar biasa.
Satu lagi contoh menarik bagaimana kita seharusnya mampu mengubah kondisi negatif menjadi positif optimis. Cerita ini saya ambil dari bukunya Ustad Yusuf Mansur.
Pak Riyadi adalah seorang karyawan jujur tanpa cacat yang telah bekerja lebih 15 tahun di sebuah pabrik elektronik. Pada suatu hari dia dihadapkan sebuah dilema. SPP anaknya sudah 5 bulan menunggak. Agus terancam dilarang masuk sekolah. Pak Riyadi belum menemukan jalan keluar. Dia bingung. Pekerjaannya di bagian gudang. Baginya sangat mudah kalau mau berbuat curang. Tapi pak Riyadi bertahan untuk tetap jujur.
Akhirnya imannya goyah ketika dia betul-betul tidak menemukan jalan keluar. Dia ambil hanya satu compo buat dijual. SPP anaknya akhirnya selamat.
Ketika akhirnya perusahaan mengadakan pemeriksaan siapa yang mengambil compo pak Riyadi tidak termasuk yang dicurigai karena reputasi kejujurannya. Tapi hati pak Riyadi tidak tenang. Dia merasa dikejar2 dosa. Pak Riyadi akhirnya melapor kalau dia lah yang mengambil compo.
Ternyata perusahaannya benar2 tidak punya tenggang rasa. Pengakuan jujur ini diberi "hadiah" berupa PHK. Jadi lah pak Riyadi menganggur dengan pesangon cuma Rp 2 juta.
Beruntung Pak Riyadi tidak putus asa. Dengan pesangon yg ada dia buka bengkel motor. Karena kejujurannya pelanggannya makin hari makin banyak. Bahkan banyak yang rela masuk waiting list. Tepat tahun 2006 kemarin pak Riyadi, istri, dan ibunya sudah mampu melaksanakan ibadah haji berkat usahanya membuka bengkel motor.
Kalau Anda penasaran dengan pak Riyadi, silahkan mampir di Berkah Motor, letaknya di pertigaan jalan antara Ketapang dan Gondrong di Tangerang.
Ada salah satu huruf Cina yang cara membacanya betul-betul diserahkan kepada kita. Kita bisa membacanya sebagai musibah tapi kita juga dapat melihatnya sebagai peluang. Bentuk hurufnya sama. yang berbeda adalah cara membacanya. Semuanya tergantung bagaimana pikiran kita. Otak kita sedang optimis atau lagi dilanda pesimis.
Banyak masalah kalau kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda bisa berubah menjadi peluang. Ada contoh menarik.
Di Makasar kalau pas bulan Ramadhan, tiba-tiba di sekitar masjid Agung banyak sekali pengemis yang stand by 24 jam. Tidak kalah dengan UGD di rumah sakit mereka dengan sigap "menjemput" setiap jemaah yang menuju atau meninggalkan masjid. Setiap tahun jumlah pengemis ini makin lama makin bertambah banyak. Pengurus masjid tidak dapat begitu saja menyuruh mereka meninggalkan area masjid. Tapi keberadaannya sudah mulai benar-benar mengganggu lingkungan tempat ibadah itu.
Di tengah problema yang tampaknya tidak ada jalan keluar ini ada salah satu pengurus yang jeli. Dia melihat kalau pas Ramadhan jumlah yang shalat di masjid Agung ini bertambah banyak secara signifikan. Apalagi kalau menjelang berbuka puasa. Banyak sekali masyarakat yang lebih senang menghabiskan waktu ngabuburit di masjid. Yang dikerjakan jemaah ini tidak banyak. Mereka hanya duduk-duduk, tiduran, dan sedikit yang membaca Al-Quran.
Antara para pengemis dan orang yang hanya tidur-tiduran di masjid sebenarnya tidak ada bedanya. Yang mereka kerjakan hanya menunggu tanpa melakukan apa pun. Dalam hal ini pengemis masih lebih baik, meski mereka hanya menunggu tapi kewaspadaan mereka tidak diragukan lagi. Sang pengemis segera tahu siapa saja yang layak "dibuntuti" dan yang tidak masuk hitungan.
Dari pada sama-sama menunggu maka alangkah baiknya kalau "partai" pengemis ini diberdayakan. Oleh pengurus masjid mereka diminta menawarkan jasanya untuk memijit para jemaah yang hanya tidur-tiduran. Rupanya kiat ini mendapat respon positif. Jadilah puluhan pengemis, hampir semuanya anak-anak, akhirnya beralih profesi menjadi pemijit di sore hari. Dengan cara ini ternyata pendapatan mereka lebih besar dibandingkan mengemis. Selain itu ada pelajaran yang sangat berharga, aktualisasi mereka lebih dihargai, mereka pun lebih pede.
Di Sidoarjo ada contoh lain lagi bagaimana menyikapi kondisi negatif menjadi positif. Di sana puluhan warga korban lumpur Lapindo berhasil keluar dari sikap pesimis menuju optimis. Mereka dengan jitu bisa membaca tren yang terjadi di lingkungannya.
Liputan yang luas di media massa mengenai lumpur Lapindo membuat daerah itu menjadi terkenal. Semua orang akhirnya tahu kalau di Jawa Timur ada tempat yang bernama Sidoarjo. Sebuah tempat yang kini telah berubah manjadi lautan lumpur hasil kecerobohan manusia.
Banyak orang yang penasaran dan ingin melihat dari dekat apa yang terjadi di sana. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan biaya tidak sedikit demi mengobati rasa ingin tahunya. Keadaan ini lah yang dibaca oleh sebagian masyarakat korban lumpur.
Akhirnya mereka pun memutuskan membuat area lumpur lapindo menjadi obyek wisata. Semua rombongan yang datang dipungut parkir 5000 rupiah. Bagi yang ingin sampai puncak tanggul dikenakan karcis "masuk" Rp 2000. Sedangkan bagi yang ingin melihat dari dekat pusat semburan lumpur disediakan ojek dengan ongkos Rp 3000.
Masih ada lagi. Di sana juga dijual aneka cinderamata yang berhubungan dengan lumpur lapindo. Tidak ketinggalan dijual juga VCD tentang ke-lumpur-an yang telah makan banyak korban. Luar biasa.
Satu lagi contoh menarik bagaimana kita seharusnya mampu mengubah kondisi negatif menjadi positif optimis. Cerita ini saya ambil dari bukunya Ustad Yusuf Mansur.
Pak Riyadi adalah seorang karyawan jujur tanpa cacat yang telah bekerja lebih 15 tahun di sebuah pabrik elektronik. Pada suatu hari dia dihadapkan sebuah dilema. SPP anaknya sudah 5 bulan menunggak. Agus terancam dilarang masuk sekolah. Pak Riyadi belum menemukan jalan keluar. Dia bingung. Pekerjaannya di bagian gudang. Baginya sangat mudah kalau mau berbuat curang. Tapi pak Riyadi bertahan untuk tetap jujur.
Akhirnya imannya goyah ketika dia betul-betul tidak menemukan jalan keluar. Dia ambil hanya satu compo buat dijual. SPP anaknya akhirnya selamat.
Ketika akhirnya perusahaan mengadakan pemeriksaan siapa yang mengambil compo pak Riyadi tidak termasuk yang dicurigai karena reputasi kejujurannya. Tapi hati pak Riyadi tidak tenang. Dia merasa dikejar2 dosa. Pak Riyadi akhirnya melapor kalau dia lah yang mengambil compo.
Ternyata perusahaannya benar2 tidak punya tenggang rasa. Pengakuan jujur ini diberi "hadiah" berupa PHK. Jadi lah pak Riyadi menganggur dengan pesangon cuma Rp 2 juta.
Beruntung Pak Riyadi tidak putus asa. Dengan pesangon yg ada dia buka bengkel motor. Karena kejujurannya pelanggannya makin hari makin banyak. Bahkan banyak yang rela masuk waiting list. Tepat tahun 2006 kemarin pak Riyadi, istri, dan ibunya sudah mampu melaksanakan ibadah haji berkat usahanya membuka bengkel motor.
Kalau Anda penasaran dengan pak Riyadi, silahkan mampir di Berkah Motor, letaknya di pertigaan jalan antara Ketapang dan Gondrong di Tangerang.
Sabtu, 06 Oktober 2007
Kenop
"Dengan ini saya mengucapkan ikut berduka cita atas diwisuda nya Anda semua..." Demikian ucapan Helmi Yahya ketika memulai orasinya pada sebuah acara wisuda sarjana di salah satu perguruan tinggi.
Tentu saja ucapan provokatif tersebut membuat kaget semua hadirin: Wisudawan, orang tua, kakak, adik, teteh, aa, pacar, dan tentu saja para tenaga pengajar plus anggota senat guru besar di sana.
"Saya mengucapkan ini tidak ada maksud apa-apa. Kalau kemarin status anda adalah mahasiswa, maka mulai hari ini saya yakin sebagian besar anda berubah jadi pengangguran. Oleh karena itu saya ikut prihatin dan berbela sungkawa," sambung Helmi. Suasana balairung pun berubah dari khidmat menjadi sangat gaduh dan riuh.
Tentu saja semua patut bersedih dan kecewa. Seremoni wisuda yang biasanya penuh dengan suasana ceria, berbunga-bunga, penuh harap, tebar tawa, jadi ternoda dengan adanya orasi yang dibawakan oleh Helmi Yahya. Meski yang diucapkan Helmi adalah benar tapi, kata orang, tidak semua yang benar itu enak didengar.
Memang, kalau kita melihat seremoni wisuda suasananya sangat ceria. Semua orang yang datang mengenakan yang terbaik yang mereka punya. Dan wajah-wajah cerah orang tua yang mendampingi bisa menggambarkan bagaimana bersukurnya mereka karena telah berhasil mengantar putra-putrinya menuntaskan perjuangan dalam rangka merebut masa depan.
Namun suasana itu akan berubah total manakala kita menyaksikan pameran bertema Job yang sering diadakan. Ribuan orang rela berdesak-desakan demi sebuah informasi. Ratusan orang rela tidak makan pagi karena harus antri sejak dini hari.
"Semua harus diubah. 'Kenop' di kepala kita mesti diset ulang," kata Pak Ci (Ciputra), tokoh real estate. "Mulai sekarang di perguruang tinggi mesti ada mata kuliah entrepreneurship," katanya seperti ditulis Kompas hari ini.
Ya, kenop itu mesti diubah arahnya. Kalau tidak tiap tahun yang dihasilkan negeri ini adalah ribuan pengangguran baru yang punya intelejensi tinggi. Mereka enggan memulai pekerjaan "sepele" karena merasa jebolan wong pinter. Jadilah pengetahuan dan keahlian mereka tidak ada gunanya di negeri ini.
"Harus ada gerakan nasional melahirkan entrepreneur," kata Pak Ci. "Bayangkan negeri begini besar, dengan penduduk begitu banyak, jumlah entrepreneurnya cuma 0,18%," tambah Pak Ci berapi-api. Pria 76 tahun ini menambahkan, "Saat ini hanya ada 400.000 an pengusaha. Padahal jumlah penduduknya lebih dari 238 juta orang. Minimal kita harus bisa menciptakan 2% dari jumlah penduduk adalah entrepreneur. Kalau sekarang baru 0,18% adalah pengusaha, maka untuk mencapai 2% kita mesti kerja keras. Minimal kita harus bisa jadi entrepreneur untuk diri sendiri," tambah Pak Ci masih dengan berapi-api.
Ya, api Pak Ci memang tak pernah padam...
Tentu saja ucapan provokatif tersebut membuat kaget semua hadirin: Wisudawan, orang tua, kakak, adik, teteh, aa, pacar, dan tentu saja para tenaga pengajar plus anggota senat guru besar di sana.
"Saya mengucapkan ini tidak ada maksud apa-apa. Kalau kemarin status anda adalah mahasiswa, maka mulai hari ini saya yakin sebagian besar anda berubah jadi pengangguran. Oleh karena itu saya ikut prihatin dan berbela sungkawa," sambung Helmi. Suasana balairung pun berubah dari khidmat menjadi sangat gaduh dan riuh.
Tentu saja semua patut bersedih dan kecewa. Seremoni wisuda yang biasanya penuh dengan suasana ceria, berbunga-bunga, penuh harap, tebar tawa, jadi ternoda dengan adanya orasi yang dibawakan oleh Helmi Yahya. Meski yang diucapkan Helmi adalah benar tapi, kata orang, tidak semua yang benar itu enak didengar.
Memang, kalau kita melihat seremoni wisuda suasananya sangat ceria. Semua orang yang datang mengenakan yang terbaik yang mereka punya. Dan wajah-wajah cerah orang tua yang mendampingi bisa menggambarkan bagaimana bersukurnya mereka karena telah berhasil mengantar putra-putrinya menuntaskan perjuangan dalam rangka merebut masa depan.
Namun suasana itu akan berubah total manakala kita menyaksikan pameran bertema Job yang sering diadakan. Ribuan orang rela berdesak-desakan demi sebuah informasi. Ratusan orang rela tidak makan pagi karena harus antri sejak dini hari.
"Semua harus diubah. 'Kenop' di kepala kita mesti diset ulang," kata Pak Ci (Ciputra), tokoh real estate. "Mulai sekarang di perguruang tinggi mesti ada mata kuliah entrepreneurship," katanya seperti ditulis Kompas hari ini.
Ya, kenop itu mesti diubah arahnya. Kalau tidak tiap tahun yang dihasilkan negeri ini adalah ribuan pengangguran baru yang punya intelejensi tinggi. Mereka enggan memulai pekerjaan "sepele" karena merasa jebolan wong pinter. Jadilah pengetahuan dan keahlian mereka tidak ada gunanya di negeri ini.
"Harus ada gerakan nasional melahirkan entrepreneur," kata Pak Ci. "Bayangkan negeri begini besar, dengan penduduk begitu banyak, jumlah entrepreneurnya cuma 0,18%," tambah Pak Ci berapi-api. Pria 76 tahun ini menambahkan, "Saat ini hanya ada 400.000 an pengusaha. Padahal jumlah penduduknya lebih dari 238 juta orang. Minimal kita harus bisa menciptakan 2% dari jumlah penduduk adalah entrepreneur. Kalau sekarang baru 0,18% adalah pengusaha, maka untuk mencapai 2% kita mesti kerja keras. Minimal kita harus bisa jadi entrepreneur untuk diri sendiri," tambah Pak Ci masih dengan berapi-api.
Ya, api Pak Ci memang tak pernah padam...
Rabu, 03 Oktober 2007
Potensi
Minggu lalu ada berita yang menggelitik. Berita yang sama sekali di luar bayangan saya sebagai seorang warga negara Indonesia. Selama ini saya cukup kesulitan untuk bangga dengan negara ini. Kalau pun sudah ada bibit-bibit mau bangga dengan cepat bisa hilang karena hal "sepele", misalnya ketika mendengar bagaimana negara besar ini bisa begitu tunduk dengan si Singapur yang sok jagoan itu. Bagaimana bisa pimpinan kita begitu loyo kalau berhadapan dengan londo, baik londo pirang maupun londo sipit.
Juga yang bikin saya sangat tidak bangga dengan pimpinan negara ini adalah bagaimana mereka melayani sang bos Paman Sam sedemikian rupa, merepotkan banyak sekali warga Bogor, menghabiskan miliaran rupiah untuk landasan yang tidak pernah dipakai. Padahal ketika menjamu Putin maupun Ahmadinejad sambutannya biasa-biasa saja.
Di tengah-tengah sangat tidak bangganya dengan pimpinan negara ini tiba-tiba ada berita yang membikin saya langsung bangga dengan Indonesia. Indonesia memang bangsa besar. Hanya saat ini sedang berada pada wrong time karena dipimpin oleh orang-orang lemah.
Berita yang membikin saya kaget adalah musisi Malaysia beramai-ramai mengadakan demo. Mereka mendemo stasiun-stasiun radio di sana karena seringnya memutar lagu-lagu Indonesia. Sangat jarang hasil karya musisi Malaysia diperdengarkan. Jadi lah seniman Malaysia merasa asing di negaranya sendiri, merasa tersisih. Mereka minta agar radio-radio di sana memberi tempat lebih banyak untuk hasil karya bangsa sendiri.
Wah, berita ini langsung membuat saya bangga. Saya benar-benar bangga. Hasil karya anak negeri kita sangat disukai oleh konsumen manca negara. Siapa bilang Indonesia cuma punya koleksi prestasi buruk?
Mendengar berita itu ingatan saya langsung melayang ke belakang, ke waktu beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya ada tugas ke beberapa wilayah agak terpencil negeri ini. Di daerah di mana pun saya berada, asal masih di Indonesia, saya sangat mudah berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Meski yang saya temui adalah suku-suku yang jarang terdengar, kalo saya menyapa mereka dengan Bahasa Indonesia, mereka bisa langsung menjawab. Kita bisa langsung akrab. Kita bisa langsung ngobrol, bercerita asal muasal dan sebagainya.
Saat itu saya bisa langsung merasakan betapa besar visi para founding fathers kita dalam membangun Bangsa ini. Betapa hebat Budi Oetomo dan kawan-kawan. Betapa dahsyat semboyan Bhinnneka Tunggal Ika. Apa jadinya Indonesia kalau tidak ada Sumpah Pemuda pada 1928?
Dan sekejap pula ingatan saya melayang ke negeri kecil seberang. Sebuah negeri yang luasnya tidak lebih besar dari Pulau Samosir. Di sana betapa susahnya orang yang berlainan suku untuk berkomunikasi.
Di Mustafa Centre saya melihat bagaimana susahnya karyawan yang etnis India berkomunikasi dengan seorang tukang panggul berasal dari etnis Tionghoa. Sang karyawan menyuruh kepada pembawa barang dengan campuran bahasa Melayu-India. Sebaliknya sang kuli menjawab dengan bahwa Mandarin. Alhasil yang terjadi adalah... ah ih uh, lebih benyak pakai bahasa isyarat. Di negeri sekecil ini penduduknya punya 4 bahasa resmi. Mereka yang berlainan etnis susah berkomunikasi.
Betapa bersyukurnya tinggal di Indonesia... Kita punya potensi luar biasa. Indonesia punya segalanya. Hanya satu yang belum dipunyai negeri ini: pemimpin yang baik, yang kuat, yang berani, yang bernyali, punya visi. Ada nggak ya contoh pemimpn yang bernyali, berani, kuat, sekaligus baik plus punya visi?
"Ada dong. Pak Sutiyoso adalah contohnya," kata pak Aji, tetangga saya, mengagetkan lamunan saya. "Dia berani menjalankan visinya meski banyak dicela. Dia berani pasang telinga buat diejek. Dia juga berani menghadapi londo pirang ketika di Australia. Dia lah contoh pimpinan kuat."
"Tapi kalau ngomong soal pak Sutiyoso jangan di sini dong. Di sini bukan tempat yang pas buat kampanye. Emang sampeyan mau bayar berapa kok berani-beraninya iklan di blog ini...?"
Juga yang bikin saya sangat tidak bangga dengan pimpinan negara ini adalah bagaimana mereka melayani sang bos Paman Sam sedemikian rupa, merepotkan banyak sekali warga Bogor, menghabiskan miliaran rupiah untuk landasan yang tidak pernah dipakai. Padahal ketika menjamu Putin maupun Ahmadinejad sambutannya biasa-biasa saja.
Di tengah-tengah sangat tidak bangganya dengan pimpinan negara ini tiba-tiba ada berita yang membikin saya langsung bangga dengan Indonesia. Indonesia memang bangsa besar. Hanya saat ini sedang berada pada wrong time karena dipimpin oleh orang-orang lemah.
Berita yang membikin saya kaget adalah musisi Malaysia beramai-ramai mengadakan demo. Mereka mendemo stasiun-stasiun radio di sana karena seringnya memutar lagu-lagu Indonesia. Sangat jarang hasil karya musisi Malaysia diperdengarkan. Jadi lah seniman Malaysia merasa asing di negaranya sendiri, merasa tersisih. Mereka minta agar radio-radio di sana memberi tempat lebih banyak untuk hasil karya bangsa sendiri.
Wah, berita ini langsung membuat saya bangga. Saya benar-benar bangga. Hasil karya anak negeri kita sangat disukai oleh konsumen manca negara. Siapa bilang Indonesia cuma punya koleksi prestasi buruk?
Mendengar berita itu ingatan saya langsung melayang ke belakang, ke waktu beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya ada tugas ke beberapa wilayah agak terpencil negeri ini. Di daerah di mana pun saya berada, asal masih di Indonesia, saya sangat mudah berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Meski yang saya temui adalah suku-suku yang jarang terdengar, kalo saya menyapa mereka dengan Bahasa Indonesia, mereka bisa langsung menjawab. Kita bisa langsung akrab. Kita bisa langsung ngobrol, bercerita asal muasal dan sebagainya.
Saat itu saya bisa langsung merasakan betapa besar visi para founding fathers kita dalam membangun Bangsa ini. Betapa hebat Budi Oetomo dan kawan-kawan. Betapa dahsyat semboyan Bhinnneka Tunggal Ika. Apa jadinya Indonesia kalau tidak ada Sumpah Pemuda pada 1928?
Dan sekejap pula ingatan saya melayang ke negeri kecil seberang. Sebuah negeri yang luasnya tidak lebih besar dari Pulau Samosir. Di sana betapa susahnya orang yang berlainan suku untuk berkomunikasi.
Di Mustafa Centre saya melihat bagaimana susahnya karyawan yang etnis India berkomunikasi dengan seorang tukang panggul berasal dari etnis Tionghoa. Sang karyawan menyuruh kepada pembawa barang dengan campuran bahasa Melayu-India. Sebaliknya sang kuli menjawab dengan bahwa Mandarin. Alhasil yang terjadi adalah... ah ih uh, lebih benyak pakai bahasa isyarat. Di negeri sekecil ini penduduknya punya 4 bahasa resmi. Mereka yang berlainan etnis susah berkomunikasi.
Betapa bersyukurnya tinggal di Indonesia... Kita punya potensi luar biasa. Indonesia punya segalanya. Hanya satu yang belum dipunyai negeri ini: pemimpin yang baik, yang kuat, yang berani, yang bernyali, punya visi. Ada nggak ya contoh pemimpn yang bernyali, berani, kuat, sekaligus baik plus punya visi?
"Ada dong. Pak Sutiyoso adalah contohnya," kata pak Aji, tetangga saya, mengagetkan lamunan saya. "Dia berani menjalankan visinya meski banyak dicela. Dia berani pasang telinga buat diejek. Dia juga berani menghadapi londo pirang ketika di Australia. Dia lah contoh pimpinan kuat."
"Tapi kalau ngomong soal pak Sutiyoso jangan di sini dong. Di sini bukan tempat yang pas buat kampanye. Emang sampeyan mau bayar berapa kok berani-beraninya iklan di blog ini...?"
Senin, 01 Oktober 2007
Kepercayaan
Pagi tadi ada sms ke istri saya, "Bu saya mau datang ke tempat Ibu sekarang. Saya mau kembalikan Busana Limited-nya. Tks."
"Silakan bu, saya tunggu," balas istri saya.
Cuplikan sms di atas tidak terjadi sekali ini saja. Ya, kami harus konsisten dengan janji yang telah dibuat, janji bahwa pakaian yang dibeli bisa dikembalikan lagi dan uang juga dikembalikan. Sukur-sukur kalau buyer hanya mau tukar model saja alias statusnya tidak retur uang.
Kami memang menjanjikan kalau uang bisa dikembalikan bagi siapa pun yang membeli produk kami. Penawaran ini sebenarnya bukan istimewa. Untuk penawaran seperti ini saya sebenarnya termasuk follower. Ada banyak teman dan orang lain telah melakuka penawaran serupa.
Yang membuat berbeda adalah saya tidak menjanjikan 30 hari uang bisa kembali tapi "hanya" 15 hari (dihitung sejak barang diterima). Kok berani-beraninya memberi garansi yang lebih rendah? Betul, karena kami juga memberi janji dalam bentuk lain, yaitu semua produk kami always Limited Edition. Semua busana kami dibuat sangat terbatas. Kami memilih memperbanyak item dengan jumlah per-item tidak banyak. Jadi kami dituntut untuk terus memperbarui model-model busana.
Jadi masuk akal kalau garansi yang kami berikan tidak bisa 30 hari karena model baru terus muncul. Sebuah produk cepat menjadi out of date. Jadi pertimbangannya bukan karena kami takut tidak bisa mengembalikan uang tapi lebih kepada upaya untuk mempercepat perputaran produk.
Kiat ini ternyata bisa diterima pasar, terbukti dari adanya pesanan yang terus kepada kami. memang ada yang mengembalikan produk dengan uang tapi jumlahnya tidak signifikan dibanding dengan yang tidak mengembalikan.
Beberapa hari lalu ada teman yang menegur cara kami menjalankan usaha ini, "Bagaimana kalau buyer sebenarnya sudah lebih 15 hari tapi ngakunya belum 15 hari? Bagaimana kalau ada produk yg ternyata cacat dan mereka tidak ngaku membikin cacat? Mengapa tidak ada klausul 'syarat dan kondisi berlaku'? dan sebagainya...
"Wah kalau belum-belum saya sudah pakai klausul yang jlimet seperti itu, lalu kapan dong usaha ini bisa jalan. Kalau pun ada kasus seperti yang dikhawatirkan, bisnis itu kan bisa dinegosiasikan, dibicarakan," jawab saya.
Ternyata kekhawatiran itu tidak pernah terjadi. Alhamdulillah...
"Silakan bu, saya tunggu," balas istri saya.
Cuplikan sms di atas tidak terjadi sekali ini saja. Ya, kami harus konsisten dengan janji yang telah dibuat, janji bahwa pakaian yang dibeli bisa dikembalikan lagi dan uang juga dikembalikan. Sukur-sukur kalau buyer hanya mau tukar model saja alias statusnya tidak retur uang.
Kami memang menjanjikan kalau uang bisa dikembalikan bagi siapa pun yang membeli produk kami. Penawaran ini sebenarnya bukan istimewa. Untuk penawaran seperti ini saya sebenarnya termasuk follower. Ada banyak teman dan orang lain telah melakuka penawaran serupa.
Yang membuat berbeda adalah saya tidak menjanjikan 30 hari uang bisa kembali tapi "hanya" 15 hari (dihitung sejak barang diterima). Kok berani-beraninya memberi garansi yang lebih rendah? Betul, karena kami juga memberi janji dalam bentuk lain, yaitu semua produk kami always Limited Edition. Semua busana kami dibuat sangat terbatas. Kami memilih memperbanyak item dengan jumlah per-item tidak banyak. Jadi kami dituntut untuk terus memperbarui model-model busana.
Jadi masuk akal kalau garansi yang kami berikan tidak bisa 30 hari karena model baru terus muncul. Sebuah produk cepat menjadi out of date. Jadi pertimbangannya bukan karena kami takut tidak bisa mengembalikan uang tapi lebih kepada upaya untuk mempercepat perputaran produk.
Kiat ini ternyata bisa diterima pasar, terbukti dari adanya pesanan yang terus kepada kami. memang ada yang mengembalikan produk dengan uang tapi jumlahnya tidak signifikan dibanding dengan yang tidak mengembalikan.
Beberapa hari lalu ada teman yang menegur cara kami menjalankan usaha ini, "Bagaimana kalau buyer sebenarnya sudah lebih 15 hari tapi ngakunya belum 15 hari? Bagaimana kalau ada produk yg ternyata cacat dan mereka tidak ngaku membikin cacat? Mengapa tidak ada klausul 'syarat dan kondisi berlaku'? dan sebagainya...
"Wah kalau belum-belum saya sudah pakai klausul yang jlimet seperti itu, lalu kapan dong usaha ini bisa jalan. Kalau pun ada kasus seperti yang dikhawatirkan, bisnis itu kan bisa dinegosiasikan, dibicarakan," jawab saya.
Ternyata kekhawatiran itu tidak pernah terjadi. Alhamdulillah...
Langganan:
Postingan (Atom)