Sabtu, 17 November 2007

Klaim


"Pak Abduh, saya pembaca setia blog anda. Regarding artikel skripsi batiknya mahasiswa Malaysia, saya titip pertanyaan: Apa benar batik hak patennya Malaysia? Trus kalau bisa pak Abduh jangan terlalu mengumbar info batik, mulai sejarah, cara produksi, dan lain-lain. Kok saya khawatir ya jangan-jangan kita diperdaya lagi oleh Malaysia. Sudah mah kita sebel ama Pemerintah RI yang tidak berdaya, cuma sibuk mikirin kepentingan kelompoknya... at least kita-kita ini agak peduli. Punten ah kalau kesannya sewot. Sukses."

Kalimat di atas adalah sebuah sms yang saya terima Kamis pagi dari seorang sahabat di 08161313xxx. Ada rasa bahagia mendapat simpati dan perhatian seperti ini. Rasa ikut peduli terhadap kekayaan khazanah Bangsa adalah sebuah sikap yang harus terus didukung.

Menjawab sms tersebut saya katakan kalau mahasiswi Malaysia hanya minta izin memakai foto produk Anin Rumah Batik untuk memperkaya skripsi mereka. Bagi mereka batik ternyata tidak hanya sebuah karya seni yang ditorehkan di atas kain tapi juga bisa diaplikasikan di media non kain. Untuk batik jenis ini mereka menyebutnya dengan Batik Dimensi Baru. Dan untuk lebih meyakinkan sang dosen mereka juga minta foto proses pembuatannya.

"Terima kasih kerna sudi melayan e-mail saya...memang begitu uniq batik yang dipopularkan oleh pihak tuan. Di Malaysia sendiri belum ada lagi perusahaan seperti ini...kalau boleh, ingin saya meminta latar belakang karyawan-karyawan dari indonesia..kerana segala email ini akan dijadikan bukti dalam penulisan thesis saya nanti..disini saya sertakan biodata saya untuk pengetahuan tuan :" Demikian email dari Norafidah yang dikirim 9 September 2007.

Dia juga menambahkan, "Jika tidak menjadi keberatan boleh pihak tuan berikan gambar-gambar proses membuat batik daripada kayu."

Bagi saya tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Hanya saja saya sudah pasang 'kuda-kuda' untuk tidak mungkin memberi tahu mereka bagaimana cara membuat Batik Dimensi Baru ini. Untuk proses pembuatannya saya hanya mengirim 3 foto. Perkiraan saya mereka tidak mungkin bisa mengetahui proses pembuatan furnitur batik hanya berdasarkan 3 foto saja. Jadi tidak ada masalah.

Secara kebetulan, malam harinya, MetroTV menayangkan acara Survey Interaktif Padamu Negeri. Pada acara tersebut dibahas bagaimana lemahnya Pemerintah kita menjaga kekayaan khazanah budaya. Sudah dua karya budaya Bangsa kita diklaim sebagai milik Malaysia. Pemerintah diam saja. Masyarakat hanya bisa marah di bibir. Adu argumen pun terjadi dengan seru.

Dua panelis yang hadir di sana, pejabat dari Haki dan seorang pengamat, memang sangat pintar bermain kata-kata. "Indonesia punya aturan yang paling lengkap mengenai perlindungan kekayaan intelektual," kata pejabat Haki. Pernyataan ini langsung disambar oleh Miing, sang presenter, "Tapi implementasinya payah."

Saya sendiri sebenarnya bosan mengikuti adu argumen tersebut. Menurut saya kita memang paling canggih kalau diajak berdebat tapi paling ringkih kalau diajak action. Meski begitu ada sebuah pernyataan dari peserta yang menurut saya paling berbobot.

"Masalahnya hanya di nyali. Pemerintah kita tidak punya nyali untuk 'menghukum' Malaysia. Hanya itu. Kita tidak perlu muter-muter ngomongnya," kata Ngatawi al Sastro, anggota Komunitas Pecinta Gasing Indonesia. Gasing atau Gangsingan adalah sebuah mainan traditional yang dibuat dari bambu. Mainan ini akan mengeluarkan suara kalau diputar dengan kecepatan tertentu. Al Sastro sendiri adalah mantan asisten Gus Dur. Ciri khas dia adalah blangkon yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Mirip dengan topi 'Nebula' yang jarang lepas dari kepala saya, hehe ... :)

Budiarto Shambazi menulis di Kompas hari ini,

"Apa betul wayang, batik, atau Rasa Sayange milik sah RI? Soalnya RI tak pernah memperjuangkan hak cipta - itu pun kalau mungkin - atas produk-produk itu lewat WTO atau Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia.

Mustahil bagi Perancis mendapatkan hak cipta atas 'anggur Bordeaux'. Amerika Serikat pun tak berhak atas hak cipta es krim, penemuan jajanan mereka yang paling terkenal.

Tak perlu khawatir ada yang akan mampu menjiplak kehalusan batik Jawa. Namun, ironisnya, promotor batik RI yang paling terkenal di dunia adalah Nelson Mandela yang bukan bangsa dhewe.

Lagi pula Malaysia tak pernah mengklaim batik atau Rasa Sayange sebagai milik sah mereka. Jadi kalau mau nuntut, siap-siap kalah lagi seperti kasus Sipadan-Ligitan."

Kalau menggunakan logika yang dipaparkan Budiarto Shambazi ini, Malaysia sebenarnya 'cuma' memakai dan mensosialisasikan Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain kepada dunia. Secara otomatis masyarakat dunia akan melihat kalau Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain berasal dari Malaysia.

Di sini lah kuncinya. Jadi kalau tidak ingin karya budaya Bangsa kita dikira milik tetangga, ya sering-sering lah memasyarakatkan batik, mensosialisasikan batik seperti yang dilakukan sahabat saya.

Sahabat saya, seorang ekspat (WNI) yang bekerja di Houston sering mengenakan batik di tempat kerjanya. Teman-temannya tertarik, bosnya kagum. Dan mereka pun ingin memesan batik nan indah ini. Inilah bentuk Nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme action, bukan nasionalisme wacana.

"Kita ini aneh. Di negara tropis kok pake jas. Untuk negara tropis yang cocok ya batik," kata Wapres Pak Yusuf Kalla.

Terima kasih ya Pak... :)

2 komentar:

  1. Mas Abduh memang hebat! Aku seneng sekali baca tulisan2 njenengan, lugas, tajam dan mengena! Tapi kali ini saya kesindir lagi nih..
    Mestinya nyontoh temen njenengan yang di Houston ya :) hehehe...

    Selamat berkarya mas Abduh, saya bangga bisa mengenal njenengan!
    Semoga semakin sukses!

    Wassalam,
    Ramli - Nigeria

    BalasHapus
  2. iye ke dong sih..........

    BalasHapus