Saya masih ingat kira-kira 10 tahun lalu banyak teman se kantor yang ikut 'bisnis' investasi. Caranya sangat lah gampang. Kita tinggal titip uang kepada seseorang. Uang kita mereka putar di instrumen pasar uang, bursa komoditi, bursa saham, dan lain-lain yang kita sendiri tidak tahu.
"Anda nggak usah pusing. Serahkan semua pada kami. Tiap bulan anda mendapat profit 10% net dari uang yang anda 'investasikan'," katanya berpromosi.
"Wah, enak sekali," kata salah satu teman saya. "Bayangkan, kita tinggal merem tiap bulan dapat 10%. Nggak ada resiko lagi," katanya menambahkan.
Maka mulailah teman saya ini memberanikan diri ber-'investasi'. Bulan pertama dan kedua dia mendapat 10%. Good. Cara mendapatkan uang dengan mudah ini ternyata mampu membuat teman-teman saya yang lain iri. Maka serentak mareka rame-rame ikut 'bisnis' yang mudah, nyaman, tidak ada resiko, tidak capek, hasilnya gede.
Anehnya, saya merasakan ada yang tidak beres dengan cara ini. Saya hanya merasa ada yang tidak beres tapi tidak mampu memberi argumen yang masuk akal.
"Kalo sampeyan nggak punya duit buat 'investasi' bilang saja. Tapi jangan ngomong kalo bisnis ini nggak betul. Kenyataannya tiap bulan saya dapat 10%," kata Sukar (sebut saja begitu), teman saya. Saya pun hanya bisa diam. Tapi tetap yakin kalo ada yang tidak beres. Jadi lah saat itu saya sendirian yang tidak ikut arus 'investasi'.
Ketika sampai beberapa bulan kemudian semua lancar-lancar saja, keyakinan saya mulai kena gerus. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan 'bisnis' ini memang baik. Dan ketika saya mulai ancang-ancang pingin nyoba, 'badai' pun datang. Bisnis 'investasi' ini tersapu 'tsunami' dengan dahsyatnya. Semua hancur. Semua gigit jari. Tidak ada yang tersisa. Hanya saya yang 'selamat' meski nyaris jadi kurban juga.
Yang ada tinggal kenangan. Teman saya ada yang kena usd 15.000. Dia bingung mesti bilang apa kepada keluarganya. Teman yang lain lagi juga bingung mesti ngomong apa kepada pengurus masjid di kompleksnya. Ternyata selama ini dana yang dia pakai adalah kas masjid, berani benar dia. Ada juga yang pusing mesti harus bagaimana mengingat dana yang dipakai adalah dana warisan keluarga...
Dari kejadian itu saya jadi sering melamun. Mirip orang gila? mungkin ya. Saya hanya tahu ada yang salah tapi belum bisa mengemukakan.
Akhirnya saya punya kesimpulan sendiri. Judi dan riba itu 'ruh' nya sama. Saya tidak mau pusing dengan definisi apakah di situ ada unsur untung-untungannya atau tidak. 'Ruh' nya adalah keuntungan yang didapat seseorang dicapai dengan cara membuat pihak lain rugi.
Di sinilah benang merah antara bisnis halal dan bisnis TIDAK halal. Bisnis halal adalah sama-sama untung. Saya dapat uang konsumen dapat barang/jasa. Semua dilakukan atas dasar kekuatan tawar menawar. Tidak ada paksaan.
Dari sini lah kemudian saya merasa bisa menerangkan apakah sebuah praktek bisnis itu halal atau tidak halal (amat sangat syubhat banget).
"Bagaimana kalau jual beli valas?" teman saya di Solo pernah menanyakan itu kepada saya.
"Kalau kita beli valas karena valas itu dipakai untuk membeli barang impor, halal," jawab saya. "Tapi kalau yg diperjual belikan itu adalah valas an sich, maka tidak halal. Karena keuntungan yang kita dapat pasti membuat pihak lain rugi. Dan saya tetap yakin dengan jawaban saya.
Keyakinan saya ternyata mendapat 'dukungan' dari pak Mahathir (waktu masih menjabat sebagai PM), 'Soekarno kecil' dari Malaysia. Menghadapi Soros yang malang melintang dan 'merusak' Asia dengan valasnya, Mahathir bilang bahwa valas sebagai komiditi adalah haram. Yang halal adalah kita beli valas karena si penjual barang hanya mau dibayar dengan valas.
"Pak Mahathir, sampeyan telat dibanding saya," kata saya dalam hati, hehe :)
Dan praktek kuis sms yang sedang menjamur pun bisa diterangkan dengan mudah. Saat ini banyak sekali kuis sms di televisi, bahkan ada yang berkedok acara agama. Hadiahnya pun sangat menggiurkan. Bagi saya itu Haram jadah.
Satu sms kita membayar, biasanya, Rp 2000. Kalau kalah kita tidak mendapat apa-apa. Nol besar. Kemungkinan kalah adalah 99%. Hadiah yg ada diambilkan dari dana yang masuk melalui sms. Siapa yang untung? Jelas bandarnya. Jelas, ini praktek judi yang sangat kentara. Bagaimana MUI? Bagaimana Pemerintah kok diam saja?
Saya tiba-tiba ingin menulis masalah ini setelah membaca tulisan dahsyatnya Pak Rosihan, sang jawara ritel. Silahkan baca tulisannya, Sangat bagus.
Mas Abduh,
BalasHapusMembaca tulisan njenengan ini saya jadi inget beberapa kasus yang pernah terjadi beberapa tahun lalu dibeberapa kota, antara lain di Bandung dan di Solo.
Saya sangat sependapat dengan anda bahwa "bisnis" semacam ini bukan saja "haram jadah" tetapi jelas2 merupakan penipuan mentah2!
Saya juga tidak bisa menjelaskan secara teori ekonomi atau teori apapun, tapi saya hanya memakai logika sederhana saja. Misalnya: Dalam bisnis apapun (maksudnya yang bener2 bisnis), untuk bisa meraih untung bersih sebesar 10% sebulan adalah bukan hal yang gampang dan memerlukan kerja keras.
Lha kok bisa2nya cuman narok uang sekian trus kita tinggal ongkang2 kemudian bisa nerima "untung" 10%?
Jelas gak masuk akal kan?
Tapi herannya atau sayangnya orang gak mau pake logika lagi, mereka hanya tergiur dengan iming2 keuntungan yang begitu besar, padahal kalo saya pikir hal itu bisa terjadi karena akal2an.
Bunga yang diberikan sebetulnya uang kita2 juga.
Dan saya yakin bahwa kemungkinan besar praktek2 semacam itu masih terjadi dimasyarakat kita.
Begitu juga saya meng-amini pendapat mas Abduh mengenai kuis2 sms yang banyak diadakan oleh kebanyakan stasiun2 tv, bahwa kuis tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah JUDI!
Semoga tulisan2 mas Abduh seperti ini bisa saling mengingatkan diantara kita semua.
NB: Tapi ngomong2 saya jangan ditagih pesenan batik dulu ya, tunggu saya pulang nanti hahaha :)
Wassalam,
Ramli - Nigeria
Setuju Pak Abduh,
BalasHapusFormula saya :
Big Income + Zero Effort = (? ) Perlu dipertanyakan ( he2 )
Eka
http://www.pernik-unikdiary.blogspot.com