Senin, 26 November 2007

Sukses

Pak Erbe Sentanu, pengarang buku Quantum Ikhlas, dalam acara Bedah Buku yang diadakan TDA pada 17 Juli 2007, mengatakan bahwa kita semua sebenarnya sukses.

"Kalau ada kalimat yang berbunyi Saya ingin sukses, maka kata ingin menunjukkan nafsu. Ingin harus dihapus sehingga bunyi kalimat menjadi Saya sukses. Kalimat yang baru ini menunjukkan keikhlasan yang dicapai seseorang, bagaimana pun keadaannya saat ini," demikian ucapan yang masih saya ingat. Mudah-mudahan saya tidak salah kutip, maklum sudah 4 bulan yang lalu.

Sukses sendiri sebenarnya bukan lah sebuah pemberhentian. Sukses adalah kata sifat yang menunjukkan unsur gerak di dalamnya. Jadi kalau seseorang berhenti baru lah dia tidak sukses.

Saya sebenarnya ingin menceritakan fenomena orang-orang sukses yang barangkali tidak pernah diajarkan oleh lembaga-lembaga bisnis. Tidak pernah dijadikan acuan dalam kasus bisnis. Tidak pernah menjadi studi kasus sekolah-sekolah MM. Dan luput dari liputan media-media wirausaha.

Bu Lies Kusbiono adalah 'buldozer'. Julukan itu melekat padanya karena sikapnya yang tidak kenal berhenti membantu para penyandang cacat. Melalui polesan Bu Lies lah para penyandang cacat bisa merasa bahwa mereka bukanlah penyandang cacat. Kemampuan mereka tidak kalah dengan manusia berfisik sempurna.

Lenes adalah sebuah contoh. Perempuan dengan tinggi badan hanya 75 cm kini menjadi guru Bahasa Inggris. Dia juga mengasuh konsultasi remaja di beberapa radio di Tuban , Jatim.

Lewat polesan Bu Lies pula puluhan anak-anak tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa mampu memainkan berbagai tarian budaya Nusantara. Begitu sempurnanya mereka memainkan tariannya membuat banyak orang tidak tahu kalau mereka adalah penyandang cacat. Pengasuh Yayasan GR Siswa Gotong Royong ini juga mampu membuat anak-anak penderita Autis bersosialisasi.

"Saya tekankan kepada anak-anak saya, terutama ada empat hal. Pertama adalah self-convidence (harus percaya diri), kalo sudah percaya diri kamu harus membentuk harga diri," katanya.

"Harga dirimu bukan seperti pengemis. Setelah harga diri kemudian meniti kemandirian, apa pun, sekecil apa pun. Meniti kemandirian itu menjadi tuan dari usahanya sendiri. Prestasi itu harus mereka raih. Setelah ketiga hal itu mereka dapatkan, pasti mereka bisa," tambah Ibu yang menjadikan garasinya di Jl. Pulo Raya sebagai markas. Bu Lies adalah manusia sukses.

Bu Rosi dan Bu Rian adalah kisah sukses lain lagi. Bu Kembar adalah julukannya karena mereka berdua memang hanya berselisih 5 menit ketika lahir. Bu Kembar adalah identik dengan sekolah gratis bagi kaum yang dimarjinalkan.

Tanpa banyak publikasi, tanpa mengemis ke organisasi internasional, tanpa perlu membuat lembaga LSM, tanpa perlu menyuruh orang-orang miskin mendemo Pemerintah, Bu Kembar telah mampu melahirkan 2000-an anak didik yang sekarang tersebar ke berbagai profesi.

"Tanpa ijazah nasional murid saya kerja di Carefour. Laku kok pake stempel saya, Ibu Guru Kembar, gitu," ujarnya.

Langkah mulia ini bukannya tanpa musuh. Pada 7 Agustus lalu si jago merah mengamuk di kolong jembatan tol Penjaringan. Ratusan rumah hangus. Tak terkecuali Sekolah Darurat Kartini, sekolah yang didirikan Bu Kembar. Para murid sekolah itu tak bisa lagi belajar. Mereka kini membersihkan puing-puing sekolah itu. Namun Pemerintah Jakarta Utara melarang mereka membangun kembali tempat itu. Bu Kembar dan 400 muridnya pun terusir.

"Kalau Pemerintah tidak mampu membuat sekolah, mbok ya jangan merusak yang sudah ada. Pemerintah diam saja, itu sudah bagus," kata pak Saruji, teman saya yang jadi karyawan di perusahaan kurir.

"Saya tidak bisa bayangkan bencana apa yang bakal menimpa pejabat yang membakar sekolah ini. Mungkin besuk dia kena stroke, atau asam uratnya kambuh, atau anaknya kena narkoba, atau anak perempuannya dihamili orang (husss...). Belum lagi nanti di akherat Jahanam sudah menanti mereka," Pak Saruji masih sewot dengan terbakarnya sekolah Kartini.

"Pak... pak... sabar pak. Jangan terlalu marah gitu dong," saya berusaha menenangkan pak Saruji yang mukanya merah padam.

Di TDA sebenarnya ada yang mirip dengan kisah dua Ibu teladan di atas. Saya merasa bersyukur bisa ngobrol banyak dengannya ketika acara halal bihalal kemarin. Saya tahu di rumahnya dia menyantuni puluhan anak yatim.

"Saya berusaha nothing to lose saja kok mas. Saya sudah puluhan tahun jadi karyawan. Gaji yang tidak seberapa ini sebisa-bisanya saya pakai untuk hidup keluarga dan anak-anak yatim di rumah," katanya.

"Saya cuma berfikir, tidak mungkin mengharapkan donatur terus-terusan. Maka salah satu jalan ya harus buka usaha supaya hidup kami berkembang. Keinginan saya adalah menghapus anggapan bahwa anak yatim harus dibantu. Mereka bisa mandiri. Mereka bisa bisnis." kata pegawai yang kantornya di Thamrin ini.

Dan ketika dia memulai usaha banyak sekali kemudahan yang dia terima. Kemudahan yang susah untuk dinalar secara normal. Bisnisnya cepat berkembang. Produk datang sendiri. Tempat usaha tersedia sendiri. Belum ada satu bulan buka usaha omsetnya sudah jauh melampaui banyak TDA'ers yang sudah berpengalaman.

"Apakah anak yatim adalah leverage-nya?" tanya saya

"Wah saya tidak tahu," jawabnya sambil tersenyum.

Kalau kita menggunakan nalar buku-buku bisnis, saya yakin di sana tidak tercantum orphans sebagai leverage.

Tapi kalau kita menggunakan nalar Luck Factor-nya pak A. Faiz Zainuddin, jelas sekali bahwa menyantuni anak yatim termasuk dalam kategori Blessing Others. Dan blessing others adalah 'alat dongkrak' yang jauh lebih efektif.

3 komentar:

  1. Pak Abduh ..
    salut !
    Blognya ga pernah kehabisan ide. Isi postingnya selalu kaya pesan. Sukses Pak ..

    Eka
    http://www.pernik-unikdiary.blogspot.com

    BalasHapus
  2. (Idem dg Bu Eka)

    Posting2nya selalu jadi "masukan"

    paham akan "keunggulan domestik" yg akan merambah ke seantero jagad

    Tambah Sukses Yo

    BalasHapus