Solo,
Setelah dua hari diguyur hujan deras terus menerus, istri adik ipar saya punya firasat kurang baik. Dia kemudian meminta suaminya membawa dua anak mereka ke tempat nenek. Sedangkan anak bungsu tetap tinggal di rumah dengan ibunya.
Meski sudah puluhan tahun kawasan itu bebas banjir, tetapi lokasinya yang tidak jauh dari Bengawan Solo membuat ibu 3 anak ini khawatir. Dan ternyata perasaannya benar.
Tanggul Bengawan Solo jebol, tidak kuat menahan arus air yang begitu deras. Dari pengeras suara di masjid diumumkan bahwa sebentar lagi banjir. Semua diminta waspada. Tetapi karena derasnya hujan, pengumuman itu kurang efektif.
Dan banjir pun datang dengan sangat cepat. Mula-mula se mata kaki, betis, dengkul, paha, dan dada. Semua hanya berlangsung dalam hitungan menit. Istri adik ipar saya pun bergegas meninggalkan rumah hanya menggendong si bungsu. Dia ditolong abang becak yang mangkal dekat rumah.
Dan dalam hitungan menit pun air sudah mencapai langit-langit rumah. Tidak ada harta yang bisa diselamatkan. Semua habis, ludes. Semua barang dagangan yang sudah siap dikirim ke beberapa kota tidak selamat. Semua catatan bisnis, cek, uang tunai, komputer, motor, barang elektronik tidak bersisa. Mirip Tsunami tapi lebih lambat kejadiannya. Alhamdulillah tidak ada kurban jiwa.
"Saya tidak bisa bayangkan apa yang terjadi kalau dua anak saya belum diungsikan. Tidak mungkin saya bisa membawa 3 anak sekaligus mengarungi banjir," ceritanya sambil terus menangis. Dia menangis bukan karena kehilangan harta tapi lebih pada rasa 'sukur' karena dua anaknya sudah diungsikan lebih dulu.
Adik ipar saya, yang selama ini menjadi suplier utama saya, baik untuk batik maupun busana limited edition, terpaksa berhenti beroperasi. Saya pun juga harus menghadapi realita ini.
Bagaimana dengan produk kerajinan batik?
Setelah puluhan kali gagal menghubungi sahabat saya, suplier utama yang telah banyak membantu, pagi ini saya berhasil ngontak nomer fleksinya. Tapi yang menjawab bukan sahabat saya.
"Bapaknya lagi ke pabrik. Dia kebanjiran. Bapak sedang membersihkan barang yang bisa diselamatkan," jawab seorang ibu, famili sahabat saya ini. Telepon GSM nya tidak selamat, nyemplung ke dalam air.
Dua tonggak saya kena musibah. Untuk sementara mereka berhenti beroperasi. Kini giliran saya yang harus bisa membantu mereka. Saya sudah ada rencana B. Mohon doanya semoga plan B ini mudah jalannya. Amin.
Kamis, 27 Desember 2007
Sabtu, 22 Desember 2007
Ibu
Kata mereka diriku slalu dimanja,
Kata mereka diriku slalu ditimang
oh bunda,
ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku....
Penggalan syair "Bunda" karya Melly Goeslaw yang dinyanyikan pada 21 April lalu begitu sendu, khidmat, dan sangat menyentuh. Begitu sahdunya sehingga membuat hampir semua pengunjung acara di MetroTV saat itu tidak mampu membendung air matanya... termasuk saya yang melihat dari rumah
Siapa pun orangnya, dari bangsa mana pun dia, mempunyai nilai universal tentang seorang ibu. Tidak peduli kalangan berpendidikan tinggi atau rendah, kelas ekonomi atas maupun ekonomi paling bawah, apakah dia seorang ulama atau residivis, semua akan tersentuh manakala di hadapannya diperlihatkan sosok seorang ibu. Ibu yang tegar, mencintai dengan tulus, rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anaknya.
Ibu adalah sosok nyata tentang nilai cinta yang tulus. Cinta yang ikhlas. Cinta yang total. Tidak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta seorang ibu. Mencintai adalah memberi. Ikhlas adalah melepas keinginan untuk dibalas. Seorang ibu akan memberi apa pun yang dia punya tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari anak-anaknya. Seorang ibu akan merasakan kebahagiaan yang berlimpah manakala melihat anak-anaknya mampu tertawa lepas. Lepas dari beban kehidupan. Beban itu cukup lah jadi 'beban' ibu saja.
Begitu totalitasnya seorang ibu terhadap kebahagiaan sang buah hati, maka hanya Tuhan yang mampu membalas keikhlasannya. Tidak ada seorang anak di dunia mana pun yang bisa membalas jasa ibunya. Maka jangankan seorang anak durhaka kepada bunda, hanya berkata 'ah' saja kepada ibunya, sudah membuat Allah murka kepada seorang anak. Jadi jika seorang anak berani menyakiti hati sang ibu berarti dia langsung berhadapan dan menantang sang khalik. Dan kita semua tentu sudah tahu resikonya : Hidupnya tidak mungkin bahagia dan berkah.
Seorang ibu selalu rela 'pasang badan' manakala ada yang kurang baik pada sang buah hati. "Anak ini kok tidak terurus, bagaimana sih ibunya?" adalah komentar pertama yang dilontarkan masyarakat bila melihat ketidak beresan seorang anak.
"Anak ini bandel sekali, kemana saja sih ibunya?" komentar yang lain
"Anak kok tidak pernah sarapan, emang ibunya tidak pernah memasak?" kata guru kelasnya.
Ibu juga selalu menjadi tumpuan kesalahan. Rumah tidak bersih, mainan anak berantakan, nilai sekolah anak jeblok, anak bandel, anak lapar, anak jatuh dari sepeda, dan sebagainya. Tetapi ketika semua keadaan jadi baik dan menyenangkan: Anak mendapat ranking di kelasnya, suasana rumah nyaman & bersih, maka sangat jarang pujian dialamatkan kepada sang ibu. Dan ibu tidak protes untuk semua perlakuan yang tidak seimbang ini.
Dan ketika masa senja menjemput hari-harinya, ibu pun tidak pernah protes mengapa semua anaknya hidup menjauh dari sisinya. Dia sudah merasa nikmat hanya ditemani suami dan keheningan rumah yang telah banyak menorehkan catatan sejarah anak-anaknya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana semuanya tumbuh dan berkembang.
Dan ibu pun akan sangat berbahagia manakala telepon rumahnya berdering, dan dari seberang sana terdengar suara yang sangat akrab di telinganya: suara anak-anak dan cucunya.
Jadi mulai lah menambah frekwensi suara kita di telinga sang ibu. Kebahagiaan ibu mampu mempercepat upaya kita menggapai mimpi. Ridlo ibu mempermudah kita 'menemukan' jalan yang tepat.
"SELAMAT HARI IBU"
Kata mereka diriku slalu ditimang
oh bunda,
ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku....
Penggalan syair "Bunda" karya Melly Goeslaw yang dinyanyikan pada 21 April lalu begitu sendu, khidmat, dan sangat menyentuh. Begitu sahdunya sehingga membuat hampir semua pengunjung acara di MetroTV saat itu tidak mampu membendung air matanya... termasuk saya yang melihat dari rumah
Siapa pun orangnya, dari bangsa mana pun dia, mempunyai nilai universal tentang seorang ibu. Tidak peduli kalangan berpendidikan tinggi atau rendah, kelas ekonomi atas maupun ekonomi paling bawah, apakah dia seorang ulama atau residivis, semua akan tersentuh manakala di hadapannya diperlihatkan sosok seorang ibu. Ibu yang tegar, mencintai dengan tulus, rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anaknya.
Ibu adalah sosok nyata tentang nilai cinta yang tulus. Cinta yang ikhlas. Cinta yang total. Tidak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta seorang ibu. Mencintai adalah memberi. Ikhlas adalah melepas keinginan untuk dibalas. Seorang ibu akan memberi apa pun yang dia punya tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari anak-anaknya. Seorang ibu akan merasakan kebahagiaan yang berlimpah manakala melihat anak-anaknya mampu tertawa lepas. Lepas dari beban kehidupan. Beban itu cukup lah jadi 'beban' ibu saja.
Begitu totalitasnya seorang ibu terhadap kebahagiaan sang buah hati, maka hanya Tuhan yang mampu membalas keikhlasannya. Tidak ada seorang anak di dunia mana pun yang bisa membalas jasa ibunya. Maka jangankan seorang anak durhaka kepada bunda, hanya berkata 'ah' saja kepada ibunya, sudah membuat Allah murka kepada seorang anak. Jadi jika seorang anak berani menyakiti hati sang ibu berarti dia langsung berhadapan dan menantang sang khalik. Dan kita semua tentu sudah tahu resikonya : Hidupnya tidak mungkin bahagia dan berkah.
Seorang ibu selalu rela 'pasang badan' manakala ada yang kurang baik pada sang buah hati. "Anak ini kok tidak terurus, bagaimana sih ibunya?" adalah komentar pertama yang dilontarkan masyarakat bila melihat ketidak beresan seorang anak.
"Anak ini bandel sekali, kemana saja sih ibunya?" komentar yang lain
"Anak kok tidak pernah sarapan, emang ibunya tidak pernah memasak?" kata guru kelasnya.
Ibu juga selalu menjadi tumpuan kesalahan. Rumah tidak bersih, mainan anak berantakan, nilai sekolah anak jeblok, anak bandel, anak lapar, anak jatuh dari sepeda, dan sebagainya. Tetapi ketika semua keadaan jadi baik dan menyenangkan: Anak mendapat ranking di kelasnya, suasana rumah nyaman & bersih, maka sangat jarang pujian dialamatkan kepada sang ibu. Dan ibu tidak protes untuk semua perlakuan yang tidak seimbang ini.
Dan ketika masa senja menjemput hari-harinya, ibu pun tidak pernah protes mengapa semua anaknya hidup menjauh dari sisinya. Dia sudah merasa nikmat hanya ditemani suami dan keheningan rumah yang telah banyak menorehkan catatan sejarah anak-anaknya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana semuanya tumbuh dan berkembang.
Dan ibu pun akan sangat berbahagia manakala telepon rumahnya berdering, dan dari seberang sana terdengar suara yang sangat akrab di telinganya: suara anak-anak dan cucunya.
Jadi mulai lah menambah frekwensi suara kita di telinga sang ibu. Kebahagiaan ibu mampu mempercepat upaya kita menggapai mimpi. Ridlo ibu mempermudah kita 'menemukan' jalan yang tepat.
"SELAMAT HARI IBU"
Rabu, 19 Desember 2007
Resolusi 2008
Begitu membuka blog saya dihadapkan pada PR yang berasal dari Pak Iim dan mbak Catur. Bagus sekali sih idenya. Saya coba deh membuat resolusi ini:
1. Anak ke 2 & 3 Jadi 3 besar di kelas masing2. Kalo anak pertama dari dulu selalu dapat ranking.
2. Membuat kejutan produk kerajinan batik: Unik, eksklusif, terjangkau.
3. Membuat trendsetter busana batik utk anak muda.
4. Membuat merek eksklusif busana Limited Edition (yg ini non batik).
5. Membuat taman bacaan anak-anak: gratis, dekat SD.
6. Merombak rumah.
7. 'Memakmurkan' para guru.
8. Mendaftar ke Tanah Suci.
Amin... amin... amin
Dan saya teruskan PR ini ke 8 sahabat saya yg lain:
1. Pak Hantiar
2. Pak Didin
3. Pak Ramli
4. Pak Alam
5. Mbak Eka
6. Mbak Doris
7. Pak Junaidi
8. Mbak Hesti
Semoga bermanfaat.
Selasa, 18 Desember 2007
Konsekuensi
"Selamat pagi bu. Benarkah ibu kakak iparnya Rusman yang dari Brebes? Dia memberi saya nomor ini kalau ingin ketemu dengan Rusman," Demikian bunyi sms yang mampir di ponsel istri saya pagi ini.
Sms yang dikirim oleh seorang wanita ini kelihatannya sangat penting. Istri saya pun menjawabnya, "Bukan mbak. Panggilan saya memang iis tapi saya bukan kakak ipar Rusman. Hati-hati ya mbak dengan pengakuan orang."
"Hubungan kami sudah 2 tahun. Selama ini kami sudah saling curhat. Kami sudah saling memahami masing-masing. Memang sih kami belum pernah ketemu. Komunikasi kami hanya lewat internet," balas Ina (sebut saja begitu).
Dari jawaban Ina, istri saya baru tahu kalau selama ini dua sejoli tersebut menjalin hubungan hanya via chatting. Nomor ponsel Ina menunjukkan kalau saat ini dia tinggal di Hongkong. Akhirnya istri saya harus menjelaskan bagaimana si 'Rusman' bisa menemukan nomor ponselnya dan mencatut nama istri saya untuk mengelabui 'pacar' dunia maya-nya. Setelah agak lama sms-an akhirnya Ina bisa mengerti. Nomor ponsel istri saya memang terbuka karena untuk keperluan promosi.
Membuka nomor pribadi untuk keperluan promosi memang mengandung konsekuensi. Dulu pernah dicoba kalau ada telpon masuk yang menerima bukan istri saya, tetapi tidak sedikit konsumen yang lebih sreg kalau bisa berbicara langsung dengan si 'bos'. Akhirnya diputuskan lebih baik diterima langsung saja. Kalau masalah pengiriman memang dilakukan oleh orang lain.
Kisah Ina hanyalah salah satu dari sekian cerita yang dialami kalau kita memutuskan untuk membuka nomor ponsel kita. Pernah terjadi beberapa hari berturut-turut tengah malam ada telepon masuk. Karena kami yakin itu telepon iseng, kami diamkan saja. Akhirnya berhenti dengan sendirinya.
Tidak jarang ada sms yang masuk. Isinya menawarkan 'jasa' plus dari seorang laki-laki kekar, atletis, bisa jaga rahasia, memuaskan. Kami hanya menduga mungkin dari perusahaan jasa satpam karena kriteria satpam kan seperti itu: kekar, atletis, bisa jaga rahasia, memuaskan. Karena kami belum perlu satpam, 'penawaran' itu pun kami diamkan saja. :)
Dan hampir tiap hari ada saja sms iklan yang masuk. Mereka menawarkan diri mulai dari investasi, mlm, pasang iklan di berbagai media, sampai iklan jamu kuat. Juga banyak telepon masuk yang menawarkan berbagai produk investasi.
Kadang-kadang kami merasa terganggu juga dengan sms maupun telepon yang tidak dikehendaki. Namun apapun pilihannya semua mengandung konsekuensi. Kalau diprosentase sebenarnya sms maupun telepon yang tidak dikehendaki jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan sms/ telepon yang serius.
Jadi di manapun medannya pasti ada sekelompok kecil parasit. Kelompok terbesar adalah terdiri dari orang baik-baik yang memang mencari sesuatu yang baik juga.
Sabtu, 15 Desember 2007
Tempo Doeloe
Tadi malam ketika saya sedang bongkar-bongkar lemari, tiba-tiba menemukan foto lama yang bagi saya sangat berkesan. Saya sendiri lupa kapan persisnya. Kalau tidak salah 13-an tahun yang lalu.
Pertama, saya dan Anwar Haryono, sahabat saya (saat ini jadi eksekutif di sebuah perusahaan geothermal), berhasil mengejar Pak Habibie (saat itu Menristek). Kami berhasil 'menemukan' Beliau di Seskoad, Bandung. Sport jantung yang sudah berlangsung beberapa hari akhirnya berhasil kami lalui dengan sukses. Kami cegat Pak Habibie ketika Beliau selesai memberi ceramah di depan para perwira TNI-AD.
Kedua, terjadi sedikit pembicaraan antara kami dengan salah seorang perwira di sana.
"Anda kok bisa masuk ke sini, bagaimana caranya?"
"Biasa saja, pak. Kami masuk lewat pos jaga. Ditanya sedikit kemudian kami dipersilahkan masuk," jawab kami sedikit heran dengan pertanyaan di atas.
"Kok bisa ya? Setahu saya belum pernah ada wartawan yang masuk ke sini. Wartawan kan tidak boleh masuk sini..."
Saat itu saya baru tahu kalau kami membuat heran para staf dan karyawan di sana. Mereka heran kok kami bisa masuk tanpa izin khusus, tanpa surat khusus, dan tanpa prosedur macam-macam. Saya sendiri juga heran, kok kami di-heran-i....
Mungkin karena melihat kami terlanjur masuk dan terlanjur bisa berbicara langsung dengan Pak Habibie, akhirnya beberapa perwira malah minta difoto bareng dengan mantan Presiden ke 3 RI ini.... :)
Pertama, saya dan Anwar Haryono, sahabat saya (saat ini jadi eksekutif di sebuah perusahaan geothermal), berhasil mengejar Pak Habibie (saat itu Menristek). Kami berhasil 'menemukan' Beliau di Seskoad, Bandung. Sport jantung yang sudah berlangsung beberapa hari akhirnya berhasil kami lalui dengan sukses. Kami cegat Pak Habibie ketika Beliau selesai memberi ceramah di depan para perwira TNI-AD.
Kedua, terjadi sedikit pembicaraan antara kami dengan salah seorang perwira di sana.
"Anda kok bisa masuk ke sini, bagaimana caranya?"
"Biasa saja, pak. Kami masuk lewat pos jaga. Ditanya sedikit kemudian kami dipersilahkan masuk," jawab kami sedikit heran dengan pertanyaan di atas.
"Kok bisa ya? Setahu saya belum pernah ada wartawan yang masuk ke sini. Wartawan kan tidak boleh masuk sini..."
Saat itu saya baru tahu kalau kami membuat heran para staf dan karyawan di sana. Mereka heran kok kami bisa masuk tanpa izin khusus, tanpa surat khusus, dan tanpa prosedur macam-macam. Saya sendiri juga heran, kok kami di-heran-i....
Mungkin karena melihat kami terlanjur masuk dan terlanjur bisa berbicara langsung dengan Pak Habibie, akhirnya beberapa perwira malah minta difoto bareng dengan mantan Presiden ke 3 RI ini.... :)
Kamis, 13 Desember 2007
Kerikil
Belum lama ini Transparansi International Indonesia (TII) mempublikasikan surveynya. Hasil surveynya menunjukkan bahwa lembaga paling korup di Indonesia adalah Kepolisian, disusul lembaga peradilan, Parlemen, dan partai politik.
Kontan saja hasil penelitian ini membuat Polri berang dan marah-marah. Dalam Today's Dialogue di MetroTV Selasa malam yang menghadirkan T. Mulya Lubis sebagai perwakilan dari TII dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto, Polri tidak menyembunyikan kemarahannya.
Bisa dimaklumi kalau Polri marah dengan hasil survey TII. Selama ini sudah banyak yang dilakukan korps baju coklat ini untuk memperbaiki diri. Banyaknya kasus illegal logging yang dibongkar, tidak sedikit mantan petinggi Polri yang ditahan, bagaimana aparat Polri dalam menangani demo di berbagai daerah, adalah bukti bahwa Polisi sekarang memang sudah berubah. Kini, Polri memang sudah oke.
Kalau begitu apa yang menyebabkan hasil survey masih menempatkan Polri sebagai lembaga paling korup? "Daily business yang kita teliti. Kita meneliti persepsi masyarakat tentang peranan Polisi sehari-hari. Bagaimana kalau polisi menilang, memberhentikan angkot, dll," kata T. Mulya Lubis. "Jadi memang hanya daily business, kejadian sehari-hari yang ditemui masyarakat yang disurvey."
Menurut situsnya, TII sendiri adalah cabang dari Transparency International (TI). TI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang memfokuskan diri melawan korupsi dengan menyertakan seluruh masyarakat ke dalam sebuah koalisi international yang kuat dalam rangka membasmi efek buruk dari korupsi yang berimbas kepada kaum lelaki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Misi utama dari TI adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan yang bersih dari praktik korupsi.
Transparency International berpusat di Berlin dan mempunyai cabang di lebih dari 90 negara.
Ternyata upaya keras Polri memperbaiki diri kurang direspon positif masyarakat. Secara internal saya yakin Polri sudah banyak berubah. Banyak hal besar yang sudah dilakukan. Tetapi ternyata ada hal kecil, hal 'sepele' yang rupanya luput dari perhatian.
Masalah 'sepele' inilah ternyata yang selama ini menjadi 'kerikil dalam kaos kaki' Polri. 'Kerikil' yang menyebabkan lembaga ini masih dinilai buruk oleh masyarakat. 'Kerikil' inilah yang membuat kita 'jatuh'.
Bagi seorang pemanjat gunung profesional, yang paling ditakuti ternyata bukanlah ganasnya medan yang harus dilalui, tetapi 'cuma' sebutir kerikil yang nyangkut di kaos kakinya. Sebutir kerikil ini ternyata mampu menghentikan langkahnya mencapai puncak.
Batu sebesar gunung yang terlihat, akan kita hindari atau kita daki, tetapi sering kita tidak melihat dan menyadari bahayanya sebuah kerikil kecil yang mampu membuat kita terpeleset lalu jatuh.
'Kerikil' kecil itu adalah cara berpakaian, cara berbicara, bagaimana kita mengkritik orang lain, bagaimana cara kita mendengarkan orang lain, dan lain-lain
Kontan saja hasil penelitian ini membuat Polri berang dan marah-marah. Dalam Today's Dialogue di MetroTV Selasa malam yang menghadirkan T. Mulya Lubis sebagai perwakilan dari TII dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto, Polri tidak menyembunyikan kemarahannya.
Bisa dimaklumi kalau Polri marah dengan hasil survey TII. Selama ini sudah banyak yang dilakukan korps baju coklat ini untuk memperbaiki diri. Banyaknya kasus illegal logging yang dibongkar, tidak sedikit mantan petinggi Polri yang ditahan, bagaimana aparat Polri dalam menangani demo di berbagai daerah, adalah bukti bahwa Polisi sekarang memang sudah berubah. Kini, Polri memang sudah oke.
Kalau begitu apa yang menyebabkan hasil survey masih menempatkan Polri sebagai lembaga paling korup? "Daily business yang kita teliti. Kita meneliti persepsi masyarakat tentang peranan Polisi sehari-hari. Bagaimana kalau polisi menilang, memberhentikan angkot, dll," kata T. Mulya Lubis. "Jadi memang hanya daily business, kejadian sehari-hari yang ditemui masyarakat yang disurvey."
Menurut situsnya, TII sendiri adalah cabang dari Transparency International (TI). TI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang memfokuskan diri melawan korupsi dengan menyertakan seluruh masyarakat ke dalam sebuah koalisi international yang kuat dalam rangka membasmi efek buruk dari korupsi yang berimbas kepada kaum lelaki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Misi utama dari TI adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan yang bersih dari praktik korupsi.
Transparency International berpusat di Berlin dan mempunyai cabang di lebih dari 90 negara.
Ternyata upaya keras Polri memperbaiki diri kurang direspon positif masyarakat. Secara internal saya yakin Polri sudah banyak berubah. Banyak hal besar yang sudah dilakukan. Tetapi ternyata ada hal kecil, hal 'sepele' yang rupanya luput dari perhatian.
Masalah 'sepele' inilah ternyata yang selama ini menjadi 'kerikil dalam kaos kaki' Polri. 'Kerikil' yang menyebabkan lembaga ini masih dinilai buruk oleh masyarakat. 'Kerikil' inilah yang membuat kita 'jatuh'.
Bagi seorang pemanjat gunung profesional, yang paling ditakuti ternyata bukanlah ganasnya medan yang harus dilalui, tetapi 'cuma' sebutir kerikil yang nyangkut di kaos kakinya. Sebutir kerikil ini ternyata mampu menghentikan langkahnya mencapai puncak.
Batu sebesar gunung yang terlihat, akan kita hindari atau kita daki, tetapi sering kita tidak melihat dan menyadari bahayanya sebuah kerikil kecil yang mampu membuat kita terpeleset lalu jatuh.
'Kerikil' kecil itu adalah cara berpakaian, cara berbicara, bagaimana kita mengkritik orang lain, bagaimana cara kita mendengarkan orang lain, dan lain-lain
Selasa, 11 Desember 2007
Jalan Santai
Kalau kita amati foto di samping ini, secara formal, acara tersebut adalah perlombaan. Bisa jadi lomba lari atau lomba jalan cepat. Adanya spanduk Start dan Finish, kibasan bendera start, adalah bukti bahwa ada yang sedang dilombakan.
Namun kalau kita amati sekali lagi bagaimana posisi, sikap berdiri, serta tingkat usia peserta, kita semua langsung faham bahwa de facto, itu bukanlah lomba. Acara itu hanyalah dolanan, seneng-senengan, fun, dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan kompetisi.
Tapi meski tidak ada kompetisi ada hadiah yang diperebutkan lho. Bagaimana cara mendapatkan hadiah itu?
Ya tentu saja diundi. Namanya bisa beraneka ragam: Door prize (meski di lapangan itu tidak ada pintunya), hadiah kejutan, hadiah kaget (yang mendapatkan tentu saja kaget), dan sebagainya. Semuanya mengacu kepada satu muara, keberuntungan. Jadi hanya yang beruntung saja yang dapat hadiah, bukan yang berprestasi.
Jangan heran, acara-acara semacam inilah yang sekarang paling digandrungi warga negeri ini. Setiap ada peringatan besar yang melibatkan banyak orang, maka acara yang sifatnya dolanan pasti tidak luput dari agenda panitia. Berita mengenai Fun bike, lari santai, jalan santai, jalan bersama keluarga, badminton on the road yang melibatkan banyak menteri, pernah menghiasai hampir semua media massa Ibu Kota.
Tentu saja tidak ada yang aneh dengan kegiatan di atas. Tapi sebenarnya ada yang mengganjal dengan suburnya kegiatan fun semacam itu. Apakah masyarakat kita tidak suka dengan kompetisi? Mengapa hampir semua panitia acara besar menghindari kompetisi sebagai acara puncak? Mengapa hanya yang beruntung saja yang mendapatkan reward?
"Sekarang zaman sudah berubah. Dulu hubungan kerja karyawan dengan perusahaan adalah long-life employment: Asal karyawan rajin kerja dan tidak berpindah-pindah maka tiap tahun gajinya naik. Atau 'work long-long salary high-high'. Nasib karyawan tanggung jawab perusahaan. Sekarang sudah berubah menjadi long-life employ ability: Nasib karyawan tergantung diri sendiri. Kalau tidak bisa berprestasi ya pasti digusur dari perusahaan," kata James Gwee.
Kondisi ini terjadi karena di dunia nyata sifat kompetisi juga sudah berubah. "Dulu kompetisi low profit high, sekarang kompetisi high profit low. Jadi hanya yang punya kemampuan high saja yang bisa bertahan," tambah James Gwee.
Maka menjadi mengherankan ketika sifat kompetisi makin ketat kita malah menghindari kompetisi. Ketika di dunia realita seseorang dinilai dari prestasinya kita malah menilai seseorang dari keberuntungannya. Ketika mind set orang lain sudah berlari, mind set kita malah jalan santai...
Jadi jangan heran kalau prestasi olah raga kita pada Sea Games tahun ini jadi hancur-hancuran, hancur lebur. Pertama kali dalam sejarah Indonesia berada di peringkat paling buncit di antara 5 negara Asean Founder (Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia).
"Apa hubungannya jalan santai dengan prestasi Sea Games?" tanya teman saya
"Mentalitas bangsa kita menghindari kompetisi. Padahal di dunia nyata kompetisi makin ketat. Maka inilah hasilnya...."
Namun kalau kita amati sekali lagi bagaimana posisi, sikap berdiri, serta tingkat usia peserta, kita semua langsung faham bahwa de facto, itu bukanlah lomba. Acara itu hanyalah dolanan, seneng-senengan, fun, dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan kompetisi.
Tapi meski tidak ada kompetisi ada hadiah yang diperebutkan lho. Bagaimana cara mendapatkan hadiah itu?
Ya tentu saja diundi. Namanya bisa beraneka ragam: Door prize (meski di lapangan itu tidak ada pintunya), hadiah kejutan, hadiah kaget (yang mendapatkan tentu saja kaget), dan sebagainya. Semuanya mengacu kepada satu muara, keberuntungan. Jadi hanya yang beruntung saja yang dapat hadiah, bukan yang berprestasi.
Jangan heran, acara-acara semacam inilah yang sekarang paling digandrungi warga negeri ini. Setiap ada peringatan besar yang melibatkan banyak orang, maka acara yang sifatnya dolanan pasti tidak luput dari agenda panitia. Berita mengenai Fun bike, lari santai, jalan santai, jalan bersama keluarga, badminton on the road yang melibatkan banyak menteri, pernah menghiasai hampir semua media massa Ibu Kota.
Tentu saja tidak ada yang aneh dengan kegiatan di atas. Tapi sebenarnya ada yang mengganjal dengan suburnya kegiatan fun semacam itu. Apakah masyarakat kita tidak suka dengan kompetisi? Mengapa hampir semua panitia acara besar menghindari kompetisi sebagai acara puncak? Mengapa hanya yang beruntung saja yang mendapatkan reward?
"Sekarang zaman sudah berubah. Dulu hubungan kerja karyawan dengan perusahaan adalah long-life employment: Asal karyawan rajin kerja dan tidak berpindah-pindah maka tiap tahun gajinya naik. Atau 'work long-long salary high-high'. Nasib karyawan tanggung jawab perusahaan. Sekarang sudah berubah menjadi long-life employ ability: Nasib karyawan tergantung diri sendiri. Kalau tidak bisa berprestasi ya pasti digusur dari perusahaan," kata James Gwee.
Kondisi ini terjadi karena di dunia nyata sifat kompetisi juga sudah berubah. "Dulu kompetisi low profit high, sekarang kompetisi high profit low. Jadi hanya yang punya kemampuan high saja yang bisa bertahan," tambah James Gwee.
Maka menjadi mengherankan ketika sifat kompetisi makin ketat kita malah menghindari kompetisi. Ketika di dunia realita seseorang dinilai dari prestasinya kita malah menilai seseorang dari keberuntungannya. Ketika mind set orang lain sudah berlari, mind set kita malah jalan santai...
Jadi jangan heran kalau prestasi olah raga kita pada Sea Games tahun ini jadi hancur-hancuran, hancur lebur. Pertama kali dalam sejarah Indonesia berada di peringkat paling buncit di antara 5 negara Asean Founder (Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia).
"Apa hubungannya jalan santai dengan prestasi Sea Games?" tanya teman saya
"Mentalitas bangsa kita menghindari kompetisi. Padahal di dunia nyata kompetisi makin ketat. Maka inilah hasilnya...."
Sabtu, 08 Desember 2007
Ternyata Batik Tidak Dipatenkan Malaysia
Acara Survey Interaktif Padamu Negeri pada Kamis jam 20.00 minggu lalu di MetroTV ternyata membuka wawasan saya.
Acara yang dipandu oleh Miing Bagito menampilkan Dirjen Haki dan seorang ahli Hukum sebagai panelis. Sedangkan pesertanya yang saya ingat adalah mahasiswa, Komunitas Wastraprema, dan dua kelompok lagi saya lupa dari mana. Termasuk dalam Komunitas Wastraprema adalah Iwan Tirta, sang maestro Batik Indonesia.
Wastraprema sendiri adalah Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia.
Acara ini sebenarnya ingin menyoroti bagaimana peran Pemerintah bersama masyarakat dalam menjaga kekayaan khazanah budaya bangsa. Jadi tidak hanya terpaku pada masalah batik saja. Maka yang dihadirkan sebagai panelis adalah Dirjen Haki yang tugasnya menjaga gawang kekayaan intelektual putra Bangsa.
Yang cukup menarik adalah ternyata pembicaraan didominasi dan muter-muter pada soal perbatikan. Maklum saja, mungkin batik merupakan kasus nyata bagaimana kekayaan asli kita yang sudah ratusan tahun dipelihara tiba-tiba diklaim sebagai hasil karya Malaysia. Malaysia adalah negeri yang sebenarnya tidak kreatif tapi pintar mengelola SDM-nya. Sedangkan kita sebaliknya.
"Paten itu meyangkut penemuan teknologi baru. Adapun batik bukan teknologi baru. Maka batik tidak bisa dipatenkan," kata Dirjen Haki. Pendapat ini dibenarkan oleh doktor hukum yang malam itu juga jadi panelis. "Paten itu hanya menyangkut penemuan teknologi baru," kata pakar hukum yang juga dosen di UI ini.
"Kalau mas Iwan Tirta menciptakan motif batik, dan dia ingin karyanya tidak dibajak orang lain, maka yang bisa dilakukan adalah mendaftarkan Hak Cipta-nya ke Haki, bukan mematenkan karyanya," tambah pak Dirjen. Jadi hanya satu motif itu yang tidak boleh ditiru/dibajak orang lain.
Ketika saya masih belum mudheng dengan penjelasan Dirjen Haki, seorang pengurus Wastraprema memberi penjelasan:
"Selama ini telah terjadi salah faham soal batik. Begini lho persoalannya, ada satu perusahaan di Malaysia. Perusahaan ini mendapat order untuk membuat motif tertentu sesuai pesanan klien. Klien ingin motif yang dibuat adalah motif batik. Maka dibuatlah motif batik ini. Nah, supaya motif ini tidak dibajak perusahaan lain, sang pembuat mendaftarkan hak cipta-nya ke World Intellectual Property Rights Organization (WIPO) . Jadi hanya motif tertentu itu saja yang didaftarkan, bukan dipatenkan."
Saya sangat lega dengan duduk persoalan kasus batik ini. Motif batik jumlahnya bisa jutaan motif. Mungkin 99% diciptakan oleh orang Indonesia. Tadinya saya mengira hanya Malaysia yang berhak memakai kata batik di dunia ini....
Lalu bagaimana dengan Rasa Sayange, Reog, Rendang, Sate, dan lain-lain?
"Malaysia itu cuma nekat saja mengatakan bahwa itu berasal dari budaya mereka. Mereka cuma main nyali. Toh kita tidak punya database yang bisa diakses dunia bahwa semua itu berasal dari Indonesia..." kata Miing.
Jadi semuanya memang berpulang pada kita sendiri, diri sendiri. Bisa nggak kita menjaga kekayaan budaya Indonesia...?
Kamis, 06 Desember 2007
Maklumat
Ada pemandangan yang sedikit berbeda di RW 9 Kelurahan tetangga. Untung bukan di kelurahan saya. Beruntung lagi bukan di RW saya, meski RW saya kok ya kebetulan RW 9 juga.
Maklumat seperti foto di atas banyak sekali tersebar di berbagai tempat: di tembok pagar, rumah, pohon, tiang listrik, tiang telpon, masjid, lapangan, dan lain-lain.
Saya hanya mengira-ngira saja pasti ada sebab maklumat seperti ini bertebaran di mana-mana. Barangkali sebabnya adalah:
1. Sampah yang sudah rapi sering berantakan di bak sampah,
2. Barang yang dianggap masih berguna sering hilang,
3. Jemuran yang ditaruh di jalanan sering hilang,
4. Besi penutup got pernah hilang,
5. Besi tulang beton yang lupa dimasukkan ke dalam pagar rumah hilang,
6. Mainan anak yang masih berserakan di halaman beberapa kali hilang,
7. Sandal/sepatu yang 'diparkir' di pagar hilang,
8. Bekas wadah cat 20 kg yang dijadikan bak sampah hilang,
9. Selang air yang lupa dimasukkan ke dalam rumah hilang,
10. .... silahkan ditambahkan sendiri.
Dari beberapa sebab yang saya tuliskan saya yakin tidak semuanya benar. Mungkin yang benar hanya satu atau dua. Yang mengalami kehilangan mungkin juga hanya beberapa warga, tapi apesnya, warga yang dianggap 'penting' di RW itu. Dan akhirnya pengurus RW tidak mampu menghadapi desakan warganya supaya action, yakni memasang maklumat yang menjadikan pemulung sebagai warga yang harus menanggung dosa.
"Jakarta tidak usah pusing memikirkan sampah mereka. Serahkan semuanya pada kami. Semua pasti beres," kata pengurus paguyuban pemulung yang mengamati pusingnya Bang Yos saat itu memikirkan sampah DKI.
"Kami sebenarnya membantu pemerintah menangani sampah. Kami mampu menjadikan sampah menjadi barang yang berguna. Tapi mengapa kami dianggap sampah oleh warga?" keluh pengurus lain paguyuban pemulung.
"Kalau ada sampah warga yang berantakan, mereka selalu menuding, yang membuat berantakan kemungkinan adalah kucing, anjing, atau pemulung. Jadi kami ini disamakan dengan kucing dan anjing," kata pemulung yang lain.
Keputusan sudah diambil. Pemulung memikul dosa. Maklumat di pasang di berbagai sudut. Tiap hari seluruh warga RW 9 dan warga lain yang lewat di wilayah itu membaca maklumat itu. Dan kalau maklumat itu tiap hari terbaca oleh warga, tanpa disadari, akan masuk ke alam bawah sadar mereka bahwa pemulung adalah pendosa.
Kalau ini terjadi terus menerus, saya kok khawatir, akan terjadi LoA berjamaah. Bayangkan betapa kuatnya LoA itu kalau dilakukan secara bareng-bareng. Maka jangan heran kalau nanti di RW 9 akan terjadi masalah yang terus menerus dengan pemulung.
"Ah, pemikiran sampeyan dangkal banget. Analisis anda hiperbol, sangat didramatisir," kata tetangga saya yang jadi agen barang-barang kelontong.
"Eh, bisa jadi saya benar lho. Buktinya rumah saya aman-aman saja dengan pemulung. Mereka sering menyapa saya. Ada yang usianya 60 th lebih. Ada yang masih 14-an tahun. Mereka ramah-ramah kok..."
Maklumat seperti foto di atas banyak sekali tersebar di berbagai tempat: di tembok pagar, rumah, pohon, tiang listrik, tiang telpon, masjid, lapangan, dan lain-lain.
Saya hanya mengira-ngira saja pasti ada sebab maklumat seperti ini bertebaran di mana-mana. Barangkali sebabnya adalah:
1. Sampah yang sudah rapi sering berantakan di bak sampah,
2. Barang yang dianggap masih berguna sering hilang,
3. Jemuran yang ditaruh di jalanan sering hilang,
4. Besi penutup got pernah hilang,
5. Besi tulang beton yang lupa dimasukkan ke dalam pagar rumah hilang,
6. Mainan anak yang masih berserakan di halaman beberapa kali hilang,
7. Sandal/sepatu yang 'diparkir' di pagar hilang,
8. Bekas wadah cat 20 kg yang dijadikan bak sampah hilang,
9. Selang air yang lupa dimasukkan ke dalam rumah hilang,
10. .... silahkan ditambahkan sendiri.
Dari beberapa sebab yang saya tuliskan saya yakin tidak semuanya benar. Mungkin yang benar hanya satu atau dua. Yang mengalami kehilangan mungkin juga hanya beberapa warga, tapi apesnya, warga yang dianggap 'penting' di RW itu. Dan akhirnya pengurus RW tidak mampu menghadapi desakan warganya supaya action, yakni memasang maklumat yang menjadikan pemulung sebagai warga yang harus menanggung dosa.
"Jakarta tidak usah pusing memikirkan sampah mereka. Serahkan semuanya pada kami. Semua pasti beres," kata pengurus paguyuban pemulung yang mengamati pusingnya Bang Yos saat itu memikirkan sampah DKI.
"Kami sebenarnya membantu pemerintah menangani sampah. Kami mampu menjadikan sampah menjadi barang yang berguna. Tapi mengapa kami dianggap sampah oleh warga?" keluh pengurus lain paguyuban pemulung.
"Kalau ada sampah warga yang berantakan, mereka selalu menuding, yang membuat berantakan kemungkinan adalah kucing, anjing, atau pemulung. Jadi kami ini disamakan dengan kucing dan anjing," kata pemulung yang lain.
Keputusan sudah diambil. Pemulung memikul dosa. Maklumat di pasang di berbagai sudut. Tiap hari seluruh warga RW 9 dan warga lain yang lewat di wilayah itu membaca maklumat itu. Dan kalau maklumat itu tiap hari terbaca oleh warga, tanpa disadari, akan masuk ke alam bawah sadar mereka bahwa pemulung adalah pendosa.
Kalau ini terjadi terus menerus, saya kok khawatir, akan terjadi LoA berjamaah. Bayangkan betapa kuatnya LoA itu kalau dilakukan secara bareng-bareng. Maka jangan heran kalau nanti di RW 9 akan terjadi masalah yang terus menerus dengan pemulung.
"Ah, pemikiran sampeyan dangkal banget. Analisis anda hiperbol, sangat didramatisir," kata tetangga saya yang jadi agen barang-barang kelontong.
"Eh, bisa jadi saya benar lho. Buktinya rumah saya aman-aman saja dengan pemulung. Mereka sering menyapa saya. Ada yang usianya 60 th lebih. Ada yang masih 14-an tahun. Mereka ramah-ramah kok..."
Selasa, 04 Desember 2007
Tembus Limit
Agak susah bagi saya memberi judul tulisan ini. Judul di atas adalah kalimat yang biasa diucapkan Pak Tung kalau dia memberikan preview seminarnya.
Tetapi yang mengilhami saya sebenarnya adalah Pak Mario Teguh. "Lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda," demikian tips pak MT.
Maksudnya, kalau anda melakukan pekerjaan jauh di atas imbalan yang diterima sekarang, maka pada suatu saat anda pasti akan menerima imbalan yang pantas dengan jerih payah anda. Imbalan ini bisa berupa gaji kalau anda karyawan, atau profit kalau anda jadi pengusaha.
Ketika pertama kali mendengar tips itu saya agak susah mencerna maksudnya. Belum ada bayangan di kepala saya kalau imbalan/profit mampu mengejar usaha yang 'tembus limit'.
Tapi ketika melihat Kick Andy pada Kamis malam kemarin tiba-tiba kalimat yang diucapkan pak MT kembali terngiang di kepala saya. Pada episode Setetes Embun di Tengah Padang Gersang ditampilkan sosok-sosok yang melakukan pekerjaan jauh melampaui imbalan yang mereka terima.
Wanhar adalah salah satu contoh. Pada usia 14 tahun, baru lulus SD, dia terpaksa harus jadi guru di sekolahnya karena satu-satunya guru di SD itu pensiun. Tidak ada warga desa terpencil di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan itu, yang bersedia jadi guru. Selama 32 tahun Wanhar setia mendampingi murid-muridnya menjadi manusia yang lebih pandai, lebih berguna.
Jangan ditanya bagaimana keadaan sekolahnya. Atapnya dari rumbia dan sudah bolong di banyak tempat. Dari 60 murid yang ada sekarang, banyak yang tidak mampu membayar uang sekolah. Padahal setiap bulan setiap murid 'cuma' ditagih 5.000 rupiah. Tapi bagi orangtua murid yang umumnya bekerja sebagai penyadap karet, jumlah itu toh terasa berat. Seusai mengajar, Wanhar mencari tambahan penghasilan sebagai buruh penyadap karet.
Adapun Mahmud, seorang kepala sekolah di Tangerang, terpaksa harus menjadi pemulung setelah mengajar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Banyak pro-kontra dia menjadi pemulung karena dianggap bisa menurunkan martabat guru. Dia tidak setuju memberi les sore hari karena badannya sudah lelah. "Badan yang lelah tidak bisa konsentrasi kalau harus memberi les," ujarnya.
Sedangkan Chandra, guru Fisika dari Malang, terpaksa harus kreatif memutar otak membuat alat peraga yang murah dan terjangkau. Ketiadaan dana tidak bisa dijadikan alasan tiadanya alat peraga. Kini Chandra sudah menghasilkan lebih kurang 26 alat peraga fisika. Bahan bakunya sangat murah karena bisa dicari di pasar loak.
Akhirnya manusia-manusia 'tembus limit' itu memperolah imbalan yang layak dan sesuai untuk pengabdian mereka. Medco Energi dan Grup Sampoerna malam itu memberikan 'kenang-kenangan' yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebenarnya masih ada dua manusia 'tembus limit' yang malam itu juga mendapatkan kenang-kenangan. Sebelumnya dua orang ini juga sudah mendapat 'hadiah' dari berbagai pihak untuk jasa pengabdiannya. Dua orang ini bagi saya mempunyai kisah multi dimensi yang susah diucapkan: mengharukan, lucu, inspiratif, motivatif, manusiawi. Juga gigih, kuat, takut, khawatir.
Salah satunya adalah bu guru Muslimah. Bu Muslimah adalah satu-satunya guru merangkap kepala sekolah SD di sebuah kampung di pulau Belitung. Sangat sulit menuliskan ringkasan kisah bu Muslimah di sini. Tetapi lebih sulit bagi saya membayangkan anda tidak meneteskan air mata sekaligus tersenyum membaca kisahnya yang kini menjadi buku berjudul Laskar Pelangi.
Yang satu lagi adalah Bu Rabiah. Bu Rabiah adalah suster yang dikenal dengan sebutan suster apung. Sudah lebih 29 tahun dia mengabdi kepada sesama di pulau-pulau terpencil Indonesia. Bagi saya cukup sulit menuliskan ringkasan kisahnya di sini.
Singkatnya kini Bu Rabiah sudah mendapatkan apa yang dia impikan, 'ambulan' terapung sumbangan dari Wapres Jusuf Kalla, plus sumbangan dari Bu Menkes dan berbagai sumbangan dari pihak-pihak yang bersimpati kepadanya.
Jadi, lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Suatu saat anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda....
Tetapi yang mengilhami saya sebenarnya adalah Pak Mario Teguh. "Lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda," demikian tips pak MT.
Maksudnya, kalau anda melakukan pekerjaan jauh di atas imbalan yang diterima sekarang, maka pada suatu saat anda pasti akan menerima imbalan yang pantas dengan jerih payah anda. Imbalan ini bisa berupa gaji kalau anda karyawan, atau profit kalau anda jadi pengusaha.
Ketika pertama kali mendengar tips itu saya agak susah mencerna maksudnya. Belum ada bayangan di kepala saya kalau imbalan/profit mampu mengejar usaha yang 'tembus limit'.
Tapi ketika melihat Kick Andy pada Kamis malam kemarin tiba-tiba kalimat yang diucapkan pak MT kembali terngiang di kepala saya. Pada episode Setetes Embun di Tengah Padang Gersang ditampilkan sosok-sosok yang melakukan pekerjaan jauh melampaui imbalan yang mereka terima.
Wanhar adalah salah satu contoh. Pada usia 14 tahun, baru lulus SD, dia terpaksa harus jadi guru di sekolahnya karena satu-satunya guru di SD itu pensiun. Tidak ada warga desa terpencil di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan itu, yang bersedia jadi guru. Selama 32 tahun Wanhar setia mendampingi murid-muridnya menjadi manusia yang lebih pandai, lebih berguna.
Jangan ditanya bagaimana keadaan sekolahnya. Atapnya dari rumbia dan sudah bolong di banyak tempat. Dari 60 murid yang ada sekarang, banyak yang tidak mampu membayar uang sekolah. Padahal setiap bulan setiap murid 'cuma' ditagih 5.000 rupiah. Tapi bagi orangtua murid yang umumnya bekerja sebagai penyadap karet, jumlah itu toh terasa berat. Seusai mengajar, Wanhar mencari tambahan penghasilan sebagai buruh penyadap karet.
Adapun Mahmud, seorang kepala sekolah di Tangerang, terpaksa harus menjadi pemulung setelah mengajar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Banyak pro-kontra dia menjadi pemulung karena dianggap bisa menurunkan martabat guru. Dia tidak setuju memberi les sore hari karena badannya sudah lelah. "Badan yang lelah tidak bisa konsentrasi kalau harus memberi les," ujarnya.
Sedangkan Chandra, guru Fisika dari Malang, terpaksa harus kreatif memutar otak membuat alat peraga yang murah dan terjangkau. Ketiadaan dana tidak bisa dijadikan alasan tiadanya alat peraga. Kini Chandra sudah menghasilkan lebih kurang 26 alat peraga fisika. Bahan bakunya sangat murah karena bisa dicari di pasar loak.
Akhirnya manusia-manusia 'tembus limit' itu memperolah imbalan yang layak dan sesuai untuk pengabdian mereka. Medco Energi dan Grup Sampoerna malam itu memberikan 'kenang-kenangan' yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebenarnya masih ada dua manusia 'tembus limit' yang malam itu juga mendapatkan kenang-kenangan. Sebelumnya dua orang ini juga sudah mendapat 'hadiah' dari berbagai pihak untuk jasa pengabdiannya. Dua orang ini bagi saya mempunyai kisah multi dimensi yang susah diucapkan: mengharukan, lucu, inspiratif, motivatif, manusiawi. Juga gigih, kuat, takut, khawatir.
Salah satunya adalah bu guru Muslimah. Bu Muslimah adalah satu-satunya guru merangkap kepala sekolah SD di sebuah kampung di pulau Belitung. Sangat sulit menuliskan ringkasan kisah bu Muslimah di sini. Tetapi lebih sulit bagi saya membayangkan anda tidak meneteskan air mata sekaligus tersenyum membaca kisahnya yang kini menjadi buku berjudul Laskar Pelangi.
Yang satu lagi adalah Bu Rabiah. Bu Rabiah adalah suster yang dikenal dengan sebutan suster apung. Sudah lebih 29 tahun dia mengabdi kepada sesama di pulau-pulau terpencil Indonesia. Bagi saya cukup sulit menuliskan ringkasan kisahnya di sini.
Singkatnya kini Bu Rabiah sudah mendapatkan apa yang dia impikan, 'ambulan' terapung sumbangan dari Wapres Jusuf Kalla, plus sumbangan dari Bu Menkes dan berbagai sumbangan dari pihak-pihak yang bersimpati kepadanya.
Jadi, lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Suatu saat anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda....
Sabtu, 01 Desember 2007
Warsa (Warung Sayur)
Di kompleks tempat tinggal saya ada 4 warung sayur yang cukup komplit. Sebenarnya kalau dihitung mungkin ada 8 warung sayur di blok B kompleks rumah saya. Tapi menurut saya yang layak diamati ya cuma empat ini.
Yang pertama orang-orang menyebut dengan warung Bu Mul. Warung ini bukanya relatif paling siang dibanding dengan yang lain. Biasanya jam 6.00 Bu Mul dan suaminya menyiapkan dagangannya. Setelah selesai semuanya barulah Pak Mul pergi mengajar ke sekolah yang tidak jauh dari situ.
Meski bukanya paling siang tapi warung bu Mul termasuk paling ramai. Konsumennya biasanya ibu-ibu rumah tangga. Mungkin buka agak siang paling pas buat konsumen yang sengaja disasar Bu Mul. Karena segmennya ibu-ibu maka bu Mul berusaha membuat dagangannya sangat komplit. Semua ada meski dalam jumlah kecil. Jadi konsumen yang ingin membuat menu apapun bahannya selalu ada.
Pembelinya ternyata tidak hanya dari blok B tapi blok A juga ada. Bahkan penduduk luar kompleks tidak sedikit yang berbelanja di sini. "Komplit, orangnya ramah," kata pembeli blok A. "Komplit, suasananya nyaman. Padahal tempatnya biasa saja," komentar pembeli yang lain.
Kalau hari libur jangan harap masih kebagian yang diinginkan kalau kita datangnya agak siang. Sabtu-Minggu warung bu Mul selalu diserbu karyawati yang banyak kos di sekitar kompleks.
Tidak jauh dari bu Mul ada warung sayur milik pak RT. Warung ini bukanya paling pagi. Biasanya subuh sudah stand by. Warung ini juga cukup ramai. Dia punya pelanggan tetap, yaitu pada pecinta ikan. Spesialisasi warung pak RT memang ikan. Ikan apa pun ada. Meski pelanggannya tidak sebanyak bu Mul tapi karena harga ikan cukup tinggi, omsetnya mungkin tidak jauh dengan bu Mul.
Agak jauh dari tempat itu, dekat lapangan, ada warung sayur. Dagangannya komplit juga. Buka lebih pagi dari bu Mul. Punya pelanggan tetap karena segmennya RT 7 dan 8. Kalau bu Mul RT 3 & 4.
Tetapi akhir-akhir ini warung itu tampaknya mulai kesulitan 'nafas'. Makin hari makin sedikit barang yang dipajang. Aneh karena punya pelanggan tetap tapi mengapa bisa 'ngos-ngosan'?
"Terlalu banyak diutang. Banyak yang bayarnya sebualan sekali, itu pun sering tidak dibayar lunas," kata tetangga dekat warung itu.
Dan satu lagi adalah warung sayur yang letaknya di luar kompleks tapi banyak tetangganya yang memilih belanja di bu Mul. Barang dagangannya sebenarnya komplit. Warungnya cukup besar. Tempatnya luas. Mengapa jarang yang belanja di warung ini?
"Penjualnya kurang simpatik. Kalau kita jarang beli di situ, pelayanannya kurang enak. Mukanya selalu ditekuk," kata tetangganya yang memilih belanja di bu Mul.
Fenomena bu Mul cukup menarik. Barang dagangannya sama dengan warung lain. Dua warung cukup eksis, dua lainnya sedang 'menunggu hari'. Yang 'menunggu hari' punya masalah internal masing-masing: Yang satu tidak bisa mengelola piutang yang satu lagi karena faktor pemilik warung yang jarang senyum.
Adapun warung pak RT cukup cerdik. Meski dagangannya sama dengan bu Mul tapi dia mengambil niche penggemar ikan. Kebetulan di kompleks saya banyak warga yang berasal dari Palembang dan Medan, penduduk yang sangat gemar makan ikan. Jadi pak RT tidak bertarung secara frontal dengan bu Mul.
Yang pertama orang-orang menyebut dengan warung Bu Mul. Warung ini bukanya relatif paling siang dibanding dengan yang lain. Biasanya jam 6.00 Bu Mul dan suaminya menyiapkan dagangannya. Setelah selesai semuanya barulah Pak Mul pergi mengajar ke sekolah yang tidak jauh dari situ.
Meski bukanya paling siang tapi warung bu Mul termasuk paling ramai. Konsumennya biasanya ibu-ibu rumah tangga. Mungkin buka agak siang paling pas buat konsumen yang sengaja disasar Bu Mul. Karena segmennya ibu-ibu maka bu Mul berusaha membuat dagangannya sangat komplit. Semua ada meski dalam jumlah kecil. Jadi konsumen yang ingin membuat menu apapun bahannya selalu ada.
Pembelinya ternyata tidak hanya dari blok B tapi blok A juga ada. Bahkan penduduk luar kompleks tidak sedikit yang berbelanja di sini. "Komplit, orangnya ramah," kata pembeli blok A. "Komplit, suasananya nyaman. Padahal tempatnya biasa saja," komentar pembeli yang lain.
Kalau hari libur jangan harap masih kebagian yang diinginkan kalau kita datangnya agak siang. Sabtu-Minggu warung bu Mul selalu diserbu karyawati yang banyak kos di sekitar kompleks.
Tidak jauh dari bu Mul ada warung sayur milik pak RT. Warung ini bukanya paling pagi. Biasanya subuh sudah stand by. Warung ini juga cukup ramai. Dia punya pelanggan tetap, yaitu pada pecinta ikan. Spesialisasi warung pak RT memang ikan. Ikan apa pun ada. Meski pelanggannya tidak sebanyak bu Mul tapi karena harga ikan cukup tinggi, omsetnya mungkin tidak jauh dengan bu Mul.
Agak jauh dari tempat itu, dekat lapangan, ada warung sayur. Dagangannya komplit juga. Buka lebih pagi dari bu Mul. Punya pelanggan tetap karena segmennya RT 7 dan 8. Kalau bu Mul RT 3 & 4.
Tetapi akhir-akhir ini warung itu tampaknya mulai kesulitan 'nafas'. Makin hari makin sedikit barang yang dipajang. Aneh karena punya pelanggan tetap tapi mengapa bisa 'ngos-ngosan'?
"Terlalu banyak diutang. Banyak yang bayarnya sebualan sekali, itu pun sering tidak dibayar lunas," kata tetangga dekat warung itu.
Dan satu lagi adalah warung sayur yang letaknya di luar kompleks tapi banyak tetangganya yang memilih belanja di bu Mul. Barang dagangannya sebenarnya komplit. Warungnya cukup besar. Tempatnya luas. Mengapa jarang yang belanja di warung ini?
"Penjualnya kurang simpatik. Kalau kita jarang beli di situ, pelayanannya kurang enak. Mukanya selalu ditekuk," kata tetangganya yang memilih belanja di bu Mul.
Fenomena bu Mul cukup menarik. Barang dagangannya sama dengan warung lain. Dua warung cukup eksis, dua lainnya sedang 'menunggu hari'. Yang 'menunggu hari' punya masalah internal masing-masing: Yang satu tidak bisa mengelola piutang yang satu lagi karena faktor pemilik warung yang jarang senyum.
Adapun warung pak RT cukup cerdik. Meski dagangannya sama dengan bu Mul tapi dia mengambil niche penggemar ikan. Kebetulan di kompleks saya banyak warga yang berasal dari Palembang dan Medan, penduduk yang sangat gemar makan ikan. Jadi pak RT tidak bertarung secara frontal dengan bu Mul.
Jumat, 30 November 2007
Terlalu Yakin
Pagi hari 28 Januari 1986 seluruh dunia sudah siap menyaksikan detik-detik peluncuran pesawat ulang alik Challenger.
Misi penerbangan ini sebenarnya sudah direncanakan berangkat pada tanggal 22 Januari 1986. Namun karena berbagai hal antara lain karena kerusakan teknis dan cuaca, peluncuran harus diundur beberapa kali hingga tanggal 28 Januari 1986.
Rencana utama misi ini ialah meluncurkan satelit komunikasi TDRS-2. Selain itu dengan beberapa instrumen Komet Halley yang pada waktu itu mendekat bumi juga akan diobservasi. Lalu sebagai salah satu puncak utama misi ini, Sharon Christa McAullife, seorang warga sipil yang berprofesi sebagai guru sekolah menengah, akan mengajar beberapa hal kepada para murid di seluruh dunia.
Ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah petaka besar yang sama sekali di luar perhitungan. Persis 73 detik setelah peluncuran, pesawat ulang-alik beserta 7 awaknya meledak pada ketinggian sekitar 15 sampai 16 kilometer.
Dunia kaget. Para ahli Nasa lebih kaget lagi. Peluncuran ulang alik ini bukanlah yang pertama kali tapi yang ke-25 kali. Selama ini semua lancar dan aman-aman saja. Dan ketika ilmuwan merasa yakin bahwa penerbangan ulang alik sangat aman, terjadilah musibah ini.
Mike Tyson punya kisah juga. Pada akhir tahun 80-an namanya sangat dikenal seantero jagat. Dalam 19 penampilan pertamanya di ring tinju professional, Mike Tyson mengalahkan lawan-lawannya maksimal dalam 6 ronde, dan 12 di antaranya diKO pada ronde ke-1. Muncul asumsi bahwa dalam sepuluh tahun ke depan akan sulit menemukan lawan sepadan buat Mike Tyson di planet ini.
Namun siapa sangka pada tanggal 11 Februari 1990 di Tokyo, Mike Tyson bisa dijungkalkan James "Buster" Douglas, petinju yang tidak dilirik sebelah mata pun oleh pasar taruhan (42-1 untuk Tyson). Dalam 35 detik di ronde ke-10 untuk pertama kalinya Tyson mencium kanvas dan kehilangan gelar. Tidak ada yang percaya dengan apa yang terjadi. Tapi realitas berbicara lain.
Sebelum bertanding dengan Douglas, Tyson sudah berani menanda-tangani kontrak untuk bertanding dengan lawan berikutnya. Mengapa Tyson berani teken kontrak untuk pertandingan berikutnya? Karena dia amat sangat yakin bahwa Douglas adalah 'ayam sayur' yang mudah dijungkalkan. Terlalu yakin membuat dia kehilangan semuanya.
Di dunia balap mobil F1 kejadian yang hampir mirip dialami oleh Lewis Hamilton. Di pertandingan terakhir di Brasil, pertandingan penentuan juara dunia F1, Hamilton sebenarnya cukup finis di urutan 5 saja. Finis nomor 5 sudah bisa membuat dia jadi juara dunia F1 yang baru.
Tapi karena terlalu yakin dan mungkin menganggap mudah balapan terakhir ini, membuat dia lengah. Kesalahan fatal yang dibuat tidak seharusnya dia lakukan sebagai pembalap profesional calon juara dunia. Hamilton salah memencet tombol yang ada di kemudi. Tangannya 'terpeleset' memencet tombol netral. Akibatnya mobilnya melambat. Dia kehilangan posisi sangat signifikan. Dan gagal jadi juara dunia F1. Gagal pula mengukir sejarah.
Kesebelasan Inggris mungkin juga demikian. Pada pertandingannya dengan Kroasia sebenarnya Inggris cukup bermain imbang untuk bisa lolos di putaran Piala Eropa 2008. Pertandingan yang sebenarnya 'mudah' mengingat Inggris diunggulkan. Ternyata pada menit-menit akhir dia kebobolan. Kalah selisih satu gol membuat 'Three Lions' ini harus mengubur keinginannya masuk kesebelesan elit Eropa 2008.
Terlalu yakin memang sering membuat kita lengah.
"Kalau bagitu bagaimana cara kita membedakan apakah ini LoA, optimis, pesimis, atau terlalu yakin?"
"Untuk tahu itu semua perlu flying watch (kata Thukul)," jawab pak Agus Ali...
Misi penerbangan ini sebenarnya sudah direncanakan berangkat pada tanggal 22 Januari 1986. Namun karena berbagai hal antara lain karena kerusakan teknis dan cuaca, peluncuran harus diundur beberapa kali hingga tanggal 28 Januari 1986.
Rencana utama misi ini ialah meluncurkan satelit komunikasi TDRS-2. Selain itu dengan beberapa instrumen Komet Halley yang pada waktu itu mendekat bumi juga akan diobservasi. Lalu sebagai salah satu puncak utama misi ini, Sharon Christa McAullife, seorang warga sipil yang berprofesi sebagai guru sekolah menengah, akan mengajar beberapa hal kepada para murid di seluruh dunia.
Ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah petaka besar yang sama sekali di luar perhitungan. Persis 73 detik setelah peluncuran, pesawat ulang-alik beserta 7 awaknya meledak pada ketinggian sekitar 15 sampai 16 kilometer.
Dunia kaget. Para ahli Nasa lebih kaget lagi. Peluncuran ulang alik ini bukanlah yang pertama kali tapi yang ke-25 kali. Selama ini semua lancar dan aman-aman saja. Dan ketika ilmuwan merasa yakin bahwa penerbangan ulang alik sangat aman, terjadilah musibah ini.
Mike Tyson punya kisah juga. Pada akhir tahun 80-an namanya sangat dikenal seantero jagat. Dalam 19 penampilan pertamanya di ring tinju professional, Mike Tyson mengalahkan lawan-lawannya maksimal dalam 6 ronde, dan 12 di antaranya diKO pada ronde ke-1. Muncul asumsi bahwa dalam sepuluh tahun ke depan akan sulit menemukan lawan sepadan buat Mike Tyson di planet ini.
Namun siapa sangka pada tanggal 11 Februari 1990 di Tokyo, Mike Tyson bisa dijungkalkan James "Buster" Douglas, petinju yang tidak dilirik sebelah mata pun oleh pasar taruhan (42-1 untuk Tyson). Dalam 35 detik di ronde ke-10 untuk pertama kalinya Tyson mencium kanvas dan kehilangan gelar. Tidak ada yang percaya dengan apa yang terjadi. Tapi realitas berbicara lain.
Sebelum bertanding dengan Douglas, Tyson sudah berani menanda-tangani kontrak untuk bertanding dengan lawan berikutnya. Mengapa Tyson berani teken kontrak untuk pertandingan berikutnya? Karena dia amat sangat yakin bahwa Douglas adalah 'ayam sayur' yang mudah dijungkalkan. Terlalu yakin membuat dia kehilangan semuanya.
Di dunia balap mobil F1 kejadian yang hampir mirip dialami oleh Lewis Hamilton. Di pertandingan terakhir di Brasil, pertandingan penentuan juara dunia F1, Hamilton sebenarnya cukup finis di urutan 5 saja. Finis nomor 5 sudah bisa membuat dia jadi juara dunia F1 yang baru.
Tapi karena terlalu yakin dan mungkin menganggap mudah balapan terakhir ini, membuat dia lengah. Kesalahan fatal yang dibuat tidak seharusnya dia lakukan sebagai pembalap profesional calon juara dunia. Hamilton salah memencet tombol yang ada di kemudi. Tangannya 'terpeleset' memencet tombol netral. Akibatnya mobilnya melambat. Dia kehilangan posisi sangat signifikan. Dan gagal jadi juara dunia F1. Gagal pula mengukir sejarah.
Kesebelasan Inggris mungkin juga demikian. Pada pertandingannya dengan Kroasia sebenarnya Inggris cukup bermain imbang untuk bisa lolos di putaran Piala Eropa 2008. Pertandingan yang sebenarnya 'mudah' mengingat Inggris diunggulkan. Ternyata pada menit-menit akhir dia kebobolan. Kalah selisih satu gol membuat 'Three Lions' ini harus mengubur keinginannya masuk kesebelesan elit Eropa 2008.
Terlalu yakin memang sering membuat kita lengah.
"Kalau bagitu bagaimana cara kita membedakan apakah ini LoA, optimis, pesimis, atau terlalu yakin?"
"Untuk tahu itu semua perlu flying watch (kata Thukul)," jawab pak Agus Ali...
Rabu, 28 November 2007
Oh... EMS !
Kali ini saya mau curhat saja masalah yang sedang saya hadapi.
Sahabat saya yang jadi ekspat di Houston adalah contoh nasionalisme action. Tanpa banyak berwacana, sahabat saya ini kalau ke kantor sering mengenakan kemeja batik.
Batik adalah produk budaya Indonesia. Batik mempunyai nilai seni yang tinggi. Dan hanya orang-orang yang punya cita rasa seni tinggi lah yang bisa menghargai karya budaya ini. Dan produk budaya adalah produk yang amat sangat susah ditiru oleh bangsa lain. Maka ketika produk lain resah dengan membanjirnya produk Cina, saya merasa aman-aman saja.
Fokus pada produk budaya (bukan hanya batik) bukan masalah sederhana. Perlu daya tahan yang ekstra keras. Sama sekali tidak ada jalan instan mendapatkan profit bagus dari produk budaya. Perlu investasi waktu yang besaaar.... Apalagi Pemerintah kurang peduli dengan produk budaya. Maka wajar saja kalau Malaysia dengan sangat mudah selalu bisa mencuri produk-produk budaya kita.
Bulan lalu sahabat saya mengirim email, bos besarnya tertarik dengan kemeja batik yang sering dia kenakan. Pimpinan perusahaan minyak itu ingin membuat seragam karyawannya dengan kemeja motif batik. Sebuah berita yang sangat fantastik bagi saya. Sebuah peluang dengan nilai prestise yang begitu dahsyat!!!
Sampel pun kami siapkan. Kami pilihkan kemeja batik casual dengan pilihan bahan kelas I. Setelah melalui proses yang cukup panjang, karena bersamaan dengan libur Lebaran, akhirnya kami berhasil membuat dummy 3 pcs kemeja batik lengan pendek.
Tanggal 7 November 2007 saya kirim sampel tersebut ke Houston menggunakan jasa EMS milik PT Pos Indonesia.
Mulanya saya ragu menggunakan EMS. Maklum, PT Pos Indonesia adalah BUMN. Sebagaimana BUMN di Indonesia, mereka tidak punya jiwa kompetisi yang sehat. Terlalu lama dengan suasana nyaman yang mereka rasakan.
"Pakai EMS saja. Bagus kok. Tarifnya lebih murah pelayanannya sekarang sudah ok," kata teman saya.
Setelah mencoba cari informasi tentang EMS saya mulai agak percaya. Dalam webnya kita bisa melacak sampai di mana kiriman kita. Jadi dalam service tampaknya sudah mulai sejajar dengan perusahaan kurir semacam DHL, Fedex, TNT, dan sebagainya. Tarifnya, memang ada selisih yang cukup signifikan. Maka jadilah saya memakai EMS.
Apa yang terjadi?
Sampai sekarang paket saya belum ketahuan rimbanya. Ketika di trace pakai web cuma tercatat bahwa paket sudah berangkat dari bandara Soekarno Hatta tanggal 7 Nov 2007 jam 19.41.
Setelah itu paket ada di mana? Hanya Tuhan yang tahu.
Padahal menurut iklan, lama pengiriman antara 4 sampai 5 hari. Sudah beberapa kali saya menanyakan ke Cengkareng. Ternyata mereka tidak bisa melakukan yang lebih bagus dari yang saya lakukan.
"Kalau cuma melacak via web, dari dulu sudah saya lakukan pak," kata saya sedikit marah.
"Kami sudah mengirim ..... (saya tidak tahu istilahnya) ke USPS (US Portal Service) pak. Mudah-mudahan mereka cepat memberi balasan," jawab petugas di Bandara Cengkareng.
Tiap hari saya tanyakan ke Cengkareng. Jawabannya tidak berubah.
"Harga tidak bisa menipu pak," kata Pak Arief Setiabudi, member TDA di Bandung. "Kalau kita pakai DHL atau Fedex, kita bisa mengetahui tiap jam barang kita ada di mana..." tambah pak Arief.
Yah... saya hanya bisa menyesal mempercayakan BUMN untuk sebuah urusan yang sangat penting. Apalagi sahabat saya di Houston tanggal 30 Nov 3007 ini mulai cuti sebulan....
Lagi-lagi mental pegawai negara: loyo, malas, tidak kompetitif, tidak disiplin, layanan buruk, .... :((
Sahabat saya yang jadi ekspat di Houston adalah contoh nasionalisme action. Tanpa banyak berwacana, sahabat saya ini kalau ke kantor sering mengenakan kemeja batik.
Batik adalah produk budaya Indonesia. Batik mempunyai nilai seni yang tinggi. Dan hanya orang-orang yang punya cita rasa seni tinggi lah yang bisa menghargai karya budaya ini. Dan produk budaya adalah produk yang amat sangat susah ditiru oleh bangsa lain. Maka ketika produk lain resah dengan membanjirnya produk Cina, saya merasa aman-aman saja.
Fokus pada produk budaya (bukan hanya batik) bukan masalah sederhana. Perlu daya tahan yang ekstra keras. Sama sekali tidak ada jalan instan mendapatkan profit bagus dari produk budaya. Perlu investasi waktu yang besaaar.... Apalagi Pemerintah kurang peduli dengan produk budaya. Maka wajar saja kalau Malaysia dengan sangat mudah selalu bisa mencuri produk-produk budaya kita.
Bulan lalu sahabat saya mengirim email, bos besarnya tertarik dengan kemeja batik yang sering dia kenakan. Pimpinan perusahaan minyak itu ingin membuat seragam karyawannya dengan kemeja motif batik. Sebuah berita yang sangat fantastik bagi saya. Sebuah peluang dengan nilai prestise yang begitu dahsyat!!!
Sampel pun kami siapkan. Kami pilihkan kemeja batik casual dengan pilihan bahan kelas I. Setelah melalui proses yang cukup panjang, karena bersamaan dengan libur Lebaran, akhirnya kami berhasil membuat dummy 3 pcs kemeja batik lengan pendek.
Tanggal 7 November 2007 saya kirim sampel tersebut ke Houston menggunakan jasa EMS milik PT Pos Indonesia.
Mulanya saya ragu menggunakan EMS. Maklum, PT Pos Indonesia adalah BUMN. Sebagaimana BUMN di Indonesia, mereka tidak punya jiwa kompetisi yang sehat. Terlalu lama dengan suasana nyaman yang mereka rasakan.
"Pakai EMS saja. Bagus kok. Tarifnya lebih murah pelayanannya sekarang sudah ok," kata teman saya.
Setelah mencoba cari informasi tentang EMS saya mulai agak percaya. Dalam webnya kita bisa melacak sampai di mana kiriman kita. Jadi dalam service tampaknya sudah mulai sejajar dengan perusahaan kurir semacam DHL, Fedex, TNT, dan sebagainya. Tarifnya, memang ada selisih yang cukup signifikan. Maka jadilah saya memakai EMS.
Apa yang terjadi?
Sampai sekarang paket saya belum ketahuan rimbanya. Ketika di trace pakai web cuma tercatat bahwa paket sudah berangkat dari bandara Soekarno Hatta tanggal 7 Nov 2007 jam 19.41.
Setelah itu paket ada di mana? Hanya Tuhan yang tahu.
Padahal menurut iklan, lama pengiriman antara 4 sampai 5 hari. Sudah beberapa kali saya menanyakan ke Cengkareng. Ternyata mereka tidak bisa melakukan yang lebih bagus dari yang saya lakukan.
"Kalau cuma melacak via web, dari dulu sudah saya lakukan pak," kata saya sedikit marah.
"Kami sudah mengirim ..... (saya tidak tahu istilahnya) ke USPS (US Portal Service) pak. Mudah-mudahan mereka cepat memberi balasan," jawab petugas di Bandara Cengkareng.
Tiap hari saya tanyakan ke Cengkareng. Jawabannya tidak berubah.
"Harga tidak bisa menipu pak," kata Pak Arief Setiabudi, member TDA di Bandung. "Kalau kita pakai DHL atau Fedex, kita bisa mengetahui tiap jam barang kita ada di mana..." tambah pak Arief.
Yah... saya hanya bisa menyesal mempercayakan BUMN untuk sebuah urusan yang sangat penting. Apalagi sahabat saya di Houston tanggal 30 Nov 3007 ini mulai cuti sebulan....
Lagi-lagi mental pegawai negara: loyo, malas, tidak kompetitif, tidak disiplin, layanan buruk, .... :((
Senin, 26 November 2007
Sukses
Pak Erbe Sentanu, pengarang buku Quantum Ikhlas, dalam acara Bedah Buku yang diadakan TDA pada 17 Juli 2007, mengatakan bahwa kita semua sebenarnya sukses.
"Kalau ada kalimat yang berbunyi Saya ingin sukses, maka kata ingin menunjukkan nafsu. Ingin harus dihapus sehingga bunyi kalimat menjadi Saya sukses. Kalimat yang baru ini menunjukkan keikhlasan yang dicapai seseorang, bagaimana pun keadaannya saat ini," demikian ucapan yang masih saya ingat. Mudah-mudahan saya tidak salah kutip, maklum sudah 4 bulan yang lalu.
Sukses sendiri sebenarnya bukan lah sebuah pemberhentian. Sukses adalah kata sifat yang menunjukkan unsur gerak di dalamnya. Jadi kalau seseorang berhenti baru lah dia tidak sukses.
Saya sebenarnya ingin menceritakan fenomena orang-orang sukses yang barangkali tidak pernah diajarkan oleh lembaga-lembaga bisnis. Tidak pernah dijadikan acuan dalam kasus bisnis. Tidak pernah menjadi studi kasus sekolah-sekolah MM. Dan luput dari liputan media-media wirausaha.
Bu Lies Kusbiono adalah 'buldozer'. Julukan itu melekat padanya karena sikapnya yang tidak kenal berhenti membantu para penyandang cacat. Melalui polesan Bu Lies lah para penyandang cacat bisa merasa bahwa mereka bukanlah penyandang cacat. Kemampuan mereka tidak kalah dengan manusia berfisik sempurna.
Lenes adalah sebuah contoh. Perempuan dengan tinggi badan hanya 75 cm kini menjadi guru Bahasa Inggris. Dia juga mengasuh konsultasi remaja di beberapa radio di Tuban , Jatim.
Lewat polesan Bu Lies pula puluhan anak-anak tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa mampu memainkan berbagai tarian budaya Nusantara. Begitu sempurnanya mereka memainkan tariannya membuat banyak orang tidak tahu kalau mereka adalah penyandang cacat. Pengasuh Yayasan GR Siswa Gotong Royong ini juga mampu membuat anak-anak penderita Autis bersosialisasi.
"Saya tekankan kepada anak-anak saya, terutama ada empat hal. Pertama adalah self-convidence (harus percaya diri), kalo sudah percaya diri kamu harus membentuk harga diri," katanya.
"Harga dirimu bukan seperti pengemis. Setelah harga diri kemudian meniti kemandirian, apa pun, sekecil apa pun. Meniti kemandirian itu menjadi tuan dari usahanya sendiri. Prestasi itu harus mereka raih. Setelah ketiga hal itu mereka dapatkan, pasti mereka bisa," tambah Ibu yang menjadikan garasinya di Jl. Pulo Raya sebagai markas. Bu Lies adalah manusia sukses.
Bu Rosi dan Bu Rian adalah kisah sukses lain lagi. Bu Kembar adalah julukannya karena mereka berdua memang hanya berselisih 5 menit ketika lahir. Bu Kembar adalah identik dengan sekolah gratis bagi kaum yang dimarjinalkan.
Tanpa banyak publikasi, tanpa mengemis ke organisasi internasional, tanpa perlu membuat lembaga LSM, tanpa perlu menyuruh orang-orang miskin mendemo Pemerintah, Bu Kembar telah mampu melahirkan 2000-an anak didik yang sekarang tersebar ke berbagai profesi.
"Tanpa ijazah nasional murid saya kerja di Carefour. Laku kok pake stempel saya, Ibu Guru Kembar, gitu," ujarnya.
Langkah mulia ini bukannya tanpa musuh. Pada 7 Agustus lalu si jago merah mengamuk di kolong jembatan tol Penjaringan. Ratusan rumah hangus. Tak terkecuali Sekolah Darurat Kartini, sekolah yang didirikan Bu Kembar. Para murid sekolah itu tak bisa lagi belajar. Mereka kini membersihkan puing-puing sekolah itu. Namun Pemerintah Jakarta Utara melarang mereka membangun kembali tempat itu. Bu Kembar dan 400 muridnya pun terusir.
"Kalau Pemerintah tidak mampu membuat sekolah, mbok ya jangan merusak yang sudah ada. Pemerintah diam saja, itu sudah bagus," kata pak Saruji, teman saya yang jadi karyawan di perusahaan kurir.
"Saya tidak bisa bayangkan bencana apa yang bakal menimpa pejabat yang membakar sekolah ini. Mungkin besuk dia kena stroke, atau asam uratnya kambuh, atau anaknya kena narkoba, atau anak perempuannya dihamili orang (husss...). Belum lagi nanti di akherat Jahanam sudah menanti mereka," Pak Saruji masih sewot dengan terbakarnya sekolah Kartini.
"Pak... pak... sabar pak. Jangan terlalu marah gitu dong," saya berusaha menenangkan pak Saruji yang mukanya merah padam.
Di TDA sebenarnya ada yang mirip dengan kisah dua Ibu teladan di atas. Saya merasa bersyukur bisa ngobrol banyak dengannya ketika acara halal bihalal kemarin. Saya tahu di rumahnya dia menyantuni puluhan anak yatim.
"Saya berusaha nothing to lose saja kok mas. Saya sudah puluhan tahun jadi karyawan. Gaji yang tidak seberapa ini sebisa-bisanya saya pakai untuk hidup keluarga dan anak-anak yatim di rumah," katanya.
"Saya cuma berfikir, tidak mungkin mengharapkan donatur terus-terusan. Maka salah satu jalan ya harus buka usaha supaya hidup kami berkembang. Keinginan saya adalah menghapus anggapan bahwa anak yatim harus dibantu. Mereka bisa mandiri. Mereka bisa bisnis." kata pegawai yang kantornya di Thamrin ini.
Dan ketika dia memulai usaha banyak sekali kemudahan yang dia terima. Kemudahan yang susah untuk dinalar secara normal. Bisnisnya cepat berkembang. Produk datang sendiri. Tempat usaha tersedia sendiri. Belum ada satu bulan buka usaha omsetnya sudah jauh melampaui banyak TDA'ers yang sudah berpengalaman.
"Apakah anak yatim adalah leverage-nya?" tanya saya
"Wah saya tidak tahu," jawabnya sambil tersenyum.
Kalau kita menggunakan nalar buku-buku bisnis, saya yakin di sana tidak tercantum orphans sebagai leverage.
Tapi kalau kita menggunakan nalar Luck Factor-nya pak A. Faiz Zainuddin, jelas sekali bahwa menyantuni anak yatim termasuk dalam kategori Blessing Others. Dan blessing others adalah 'alat dongkrak' yang jauh lebih efektif.
"Kalau ada kalimat yang berbunyi Saya ingin sukses, maka kata ingin menunjukkan nafsu. Ingin harus dihapus sehingga bunyi kalimat menjadi Saya sukses. Kalimat yang baru ini menunjukkan keikhlasan yang dicapai seseorang, bagaimana pun keadaannya saat ini," demikian ucapan yang masih saya ingat. Mudah-mudahan saya tidak salah kutip, maklum sudah 4 bulan yang lalu.
Sukses sendiri sebenarnya bukan lah sebuah pemberhentian. Sukses adalah kata sifat yang menunjukkan unsur gerak di dalamnya. Jadi kalau seseorang berhenti baru lah dia tidak sukses.
Saya sebenarnya ingin menceritakan fenomena orang-orang sukses yang barangkali tidak pernah diajarkan oleh lembaga-lembaga bisnis. Tidak pernah dijadikan acuan dalam kasus bisnis. Tidak pernah menjadi studi kasus sekolah-sekolah MM. Dan luput dari liputan media-media wirausaha.
Bu Lies Kusbiono adalah 'buldozer'. Julukan itu melekat padanya karena sikapnya yang tidak kenal berhenti membantu para penyandang cacat. Melalui polesan Bu Lies lah para penyandang cacat bisa merasa bahwa mereka bukanlah penyandang cacat. Kemampuan mereka tidak kalah dengan manusia berfisik sempurna.
Lenes adalah sebuah contoh. Perempuan dengan tinggi badan hanya 75 cm kini menjadi guru Bahasa Inggris. Dia juga mengasuh konsultasi remaja di beberapa radio di Tuban , Jatim.
Lewat polesan Bu Lies pula puluhan anak-anak tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa mampu memainkan berbagai tarian budaya Nusantara. Begitu sempurnanya mereka memainkan tariannya membuat banyak orang tidak tahu kalau mereka adalah penyandang cacat. Pengasuh Yayasan GR Siswa Gotong Royong ini juga mampu membuat anak-anak penderita Autis bersosialisasi.
"Saya tekankan kepada anak-anak saya, terutama ada empat hal. Pertama adalah self-convidence (harus percaya diri), kalo sudah percaya diri kamu harus membentuk harga diri," katanya.
"Harga dirimu bukan seperti pengemis. Setelah harga diri kemudian meniti kemandirian, apa pun, sekecil apa pun. Meniti kemandirian itu menjadi tuan dari usahanya sendiri. Prestasi itu harus mereka raih. Setelah ketiga hal itu mereka dapatkan, pasti mereka bisa," tambah Ibu yang menjadikan garasinya di Jl. Pulo Raya sebagai markas. Bu Lies adalah manusia sukses.
Bu Rosi dan Bu Rian adalah kisah sukses lain lagi. Bu Kembar adalah julukannya karena mereka berdua memang hanya berselisih 5 menit ketika lahir. Bu Kembar adalah identik dengan sekolah gratis bagi kaum yang dimarjinalkan.
Tanpa banyak publikasi, tanpa mengemis ke organisasi internasional, tanpa perlu membuat lembaga LSM, tanpa perlu menyuruh orang-orang miskin mendemo Pemerintah, Bu Kembar telah mampu melahirkan 2000-an anak didik yang sekarang tersebar ke berbagai profesi.
"Tanpa ijazah nasional murid saya kerja di Carefour. Laku kok pake stempel saya, Ibu Guru Kembar, gitu," ujarnya.
Langkah mulia ini bukannya tanpa musuh. Pada 7 Agustus lalu si jago merah mengamuk di kolong jembatan tol Penjaringan. Ratusan rumah hangus. Tak terkecuali Sekolah Darurat Kartini, sekolah yang didirikan Bu Kembar. Para murid sekolah itu tak bisa lagi belajar. Mereka kini membersihkan puing-puing sekolah itu. Namun Pemerintah Jakarta Utara melarang mereka membangun kembali tempat itu. Bu Kembar dan 400 muridnya pun terusir.
"Kalau Pemerintah tidak mampu membuat sekolah, mbok ya jangan merusak yang sudah ada. Pemerintah diam saja, itu sudah bagus," kata pak Saruji, teman saya yang jadi karyawan di perusahaan kurir.
"Saya tidak bisa bayangkan bencana apa yang bakal menimpa pejabat yang membakar sekolah ini. Mungkin besuk dia kena stroke, atau asam uratnya kambuh, atau anaknya kena narkoba, atau anak perempuannya dihamili orang (husss...). Belum lagi nanti di akherat Jahanam sudah menanti mereka," Pak Saruji masih sewot dengan terbakarnya sekolah Kartini.
"Pak... pak... sabar pak. Jangan terlalu marah gitu dong," saya berusaha menenangkan pak Saruji yang mukanya merah padam.
Di TDA sebenarnya ada yang mirip dengan kisah dua Ibu teladan di atas. Saya merasa bersyukur bisa ngobrol banyak dengannya ketika acara halal bihalal kemarin. Saya tahu di rumahnya dia menyantuni puluhan anak yatim.
"Saya berusaha nothing to lose saja kok mas. Saya sudah puluhan tahun jadi karyawan. Gaji yang tidak seberapa ini sebisa-bisanya saya pakai untuk hidup keluarga dan anak-anak yatim di rumah," katanya.
"Saya cuma berfikir, tidak mungkin mengharapkan donatur terus-terusan. Maka salah satu jalan ya harus buka usaha supaya hidup kami berkembang. Keinginan saya adalah menghapus anggapan bahwa anak yatim harus dibantu. Mereka bisa mandiri. Mereka bisa bisnis." kata pegawai yang kantornya di Thamrin ini.
Dan ketika dia memulai usaha banyak sekali kemudahan yang dia terima. Kemudahan yang susah untuk dinalar secara normal. Bisnisnya cepat berkembang. Produk datang sendiri. Tempat usaha tersedia sendiri. Belum ada satu bulan buka usaha omsetnya sudah jauh melampaui banyak TDA'ers yang sudah berpengalaman.
"Apakah anak yatim adalah leverage-nya?" tanya saya
"Wah saya tidak tahu," jawabnya sambil tersenyum.
Kalau kita menggunakan nalar buku-buku bisnis, saya yakin di sana tidak tercantum orphans sebagai leverage.
Tapi kalau kita menggunakan nalar Luck Factor-nya pak A. Faiz Zainuddin, jelas sekali bahwa menyantuni anak yatim termasuk dalam kategori Blessing Others. Dan blessing others adalah 'alat dongkrak' yang jauh lebih efektif.
Kamis, 22 November 2007
Latar Belakang
Ada sebuah kisah nyata. Kisah ini diceritakan oleh James Gwee ketika menjawab pertanyaan seseorang yang merasa langkahnya tidak mendapat dukungan keluarga dan lingkungannya.
Ada sepasang kakak beradik ketika dewasa ternyata menjalani kehidupan yang sangat bertolak belakang. Sang kakak adalah seorang pengusaha sukses, bisnisnya berkembang pesat, kesibukannya tiada henti, sering diminta berbicara di berbagai forum, dan sangat dihormati oleh banyak kalangan.
Ketika ditanya apa resep kesuksesannya, dia menjawab, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi saya dan adik. Nah, saya tidak ingin mengalami peristiwa itu lagi. Saya ingin kaya, saya benci pemabuk, dan saya menginginkan keluarga yang bahagia."
Sebaliknya, kehidupan sang adik sungguh tragis. Dia menjadi pemabuk, suka judi, madat, malas, tanpa harapan masa depan. Ketika ditanya mengapa dia melakukan ini semua, jawabnya, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi kami."
"Jadi apa yang bisa saya harapkan dari latar belakang keluarga yang berantakan ini. Saya menjadi berantakan karena nasib saya memang sudah begini," tambah sang adik.
Menarik. Dengan latar belakang yang sama persis hasilnya bisa sangat berbeda. Cara pandang berbeda ternyata bisa menghasilkan output yang bertolak belakang. Semua terserah kepada masing-masing orang bagaimana mesti menyikapi latar belakang yang dimilikinya. Mario Teguh bilang, keberhasilan atau kegagalan karena sikap mental, bukan karena kapasitas mental. Berapa banyak orang yang punya pendidikan tinggi tapi bermental pengemis. Sebaliknya tidak sedikit yang pendidikannya pas-pasan tapi jadi juragan besar.
Yang menjadi pertanyaan, kalau kita sudah bisa menentukan cara pandang positif, bagaimana cara mempraktekkan sehingga bisa menjadi kenyataan?
"Pilih lah lingkungan yang pas untuk mendukung cara pandang kita. Ibaratnya kalau ingin berhenti merokok ya jauhilah para perokok," kata orang bijak.
Kalau ingin jadi pengusaha sukses ya masuklah komunitas pengusaha. Kalau ingin jadi karyawan cemerlang, ikutlah gathering-gathering yang diadakan para General Manager.
"Kalau ingin mempelajari batik gimana? Ya... dekatilah produsennya, hehe :)
Ada sepasang kakak beradik ketika dewasa ternyata menjalani kehidupan yang sangat bertolak belakang. Sang kakak adalah seorang pengusaha sukses, bisnisnya berkembang pesat, kesibukannya tiada henti, sering diminta berbicara di berbagai forum, dan sangat dihormati oleh banyak kalangan.
Ketika ditanya apa resep kesuksesannya, dia menjawab, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi saya dan adik. Nah, saya tidak ingin mengalami peristiwa itu lagi. Saya ingin kaya, saya benci pemabuk, dan saya menginginkan keluarga yang bahagia."
Sebaliknya, kehidupan sang adik sungguh tragis. Dia menjadi pemabuk, suka judi, madat, malas, tanpa harapan masa depan. Ketika ditanya mengapa dia melakukan ini semua, jawabnya, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi kami."
"Jadi apa yang bisa saya harapkan dari latar belakang keluarga yang berantakan ini. Saya menjadi berantakan karena nasib saya memang sudah begini," tambah sang adik.
Menarik. Dengan latar belakang yang sama persis hasilnya bisa sangat berbeda. Cara pandang berbeda ternyata bisa menghasilkan output yang bertolak belakang. Semua terserah kepada masing-masing orang bagaimana mesti menyikapi latar belakang yang dimilikinya. Mario Teguh bilang, keberhasilan atau kegagalan karena sikap mental, bukan karena kapasitas mental. Berapa banyak orang yang punya pendidikan tinggi tapi bermental pengemis. Sebaliknya tidak sedikit yang pendidikannya pas-pasan tapi jadi juragan besar.
Yang menjadi pertanyaan, kalau kita sudah bisa menentukan cara pandang positif, bagaimana cara mempraktekkan sehingga bisa menjadi kenyataan?
"Pilih lah lingkungan yang pas untuk mendukung cara pandang kita. Ibaratnya kalau ingin berhenti merokok ya jauhilah para perokok," kata orang bijak.
Kalau ingin jadi pengusaha sukses ya masuklah komunitas pengusaha. Kalau ingin jadi karyawan cemerlang, ikutlah gathering-gathering yang diadakan para General Manager.
"Kalau ingin mempelajari batik gimana? Ya... dekatilah produsennya, hehe :)
Selasa, 20 November 2007
Tiru lah !
"... Jadi lah diri sendiri... Saya gak perlu memaksakan jadi Pak Roni, atau jadi Pak Abduh atau jadi Bu Yulia misalnya... atau jadi Pak Haji Ali, saya akan menjadi diri saya sendiri, kerja keras tetep, ibadah, bergaul, enjoy, tugas sosial, peduli sama keluarga, dsbnya."
Itulah komentar pak Agus Ali, juragan Auto Bridal, menanggapi tulisan "Setelah Full TDA Ngapain Ya?" nya pak Hadi Kuntoro, bos selimut Jepang.
Setuju! Tentu saja setuju dengan menjadi diri sendiri. Pertanyaannya, apakah kita sudah mengenali diri sendiri? Apakah yang kita lakukan sekarang ini sudah pas dengan karakter kita sehingga kita enjoy menjalaninya?
Pertanyaan yang sangat mudah itu ternyata cukup sulit untuk dijawab. Buktinya, seorang pengusaha sukses yang kita lihat saat ini biasanya sudah melewati fase jatuh bangun yang cukup keras. Sebelum seseorang menemukan 'jalan' yang pas buat dirinya biasanya dia mesti jatuh bangun buat menemukannya. Artinya, untuk sekadar menemukan diri sendiri seseorang biasanya 'jungkir balik' bangun dulu.
Kalau begitu bagaimana cara menemukan diri sendiri dengan cara yang cukup sederhana? Adakah metode khusus untuk menemukan diri sendiri?
Ada. Roger Hamilton sebenarnya sudah mempunyai metode yang terbukti bagus buat menemukan diri sendiri. Beberapa bulan lalu James Gwee memperkenalkan metode Roger Hamilton ini. Sayang sekali saat itu saya masih belum bisa mengikutinya. Sebabnya, biaya untuk mengikuti pelatihan metode tersebut, setelah didiskon cukup keras, kira-kira diskon 60%, biayanya masih Rp 8,5 juta. Ya sudah, sebaiknya saya 'balik kanan' dulu.
Kalau begitu adakah cara lain yang lebih efisien buat menemukan diri sendiri?
Ternyata ada juga. Kamis malam yang lalu pak Mario Teguh memberi tips cara cepat untuk bisa menemukan diri sendiri.
"Tirulah orang lain yang anda kagumi. Tiru abis dia. Bagaimana cara dia menjalankan usaha, memilih usaha, menentukan produk, memilih momen untuk launching, dan sebagainya. Pokoknya tiru saja," kata Mario Teguh.
Apakah dengan meniru itu ada jaminan kita berhasil?
"Dengan meniru anda PASTI gagal. Jelas gagal karena banyak perbedaan antara anda dan orang yang ditiru: Perbedaan latar belakang, pendidikan, kultur, waktu hidup, jam terbang, dan masih banyak lagi. Tapi dengan kegagalan itu mempercepat anda menemukan diri sendiri. Anda lebih cepat menemukan karakter yang paling pas buat anda sendiri. Dan tentu saja anda memperpendek waktu mencapai sukses."
Jadi meniru adalah sarana akselerasi untuk mencapai impian kita...
Itulah komentar pak Agus Ali, juragan Auto Bridal, menanggapi tulisan "Setelah Full TDA Ngapain Ya?" nya pak Hadi Kuntoro, bos selimut Jepang.
Setuju! Tentu saja setuju dengan menjadi diri sendiri. Pertanyaannya, apakah kita sudah mengenali diri sendiri? Apakah yang kita lakukan sekarang ini sudah pas dengan karakter kita sehingga kita enjoy menjalaninya?
Pertanyaan yang sangat mudah itu ternyata cukup sulit untuk dijawab. Buktinya, seorang pengusaha sukses yang kita lihat saat ini biasanya sudah melewati fase jatuh bangun yang cukup keras. Sebelum seseorang menemukan 'jalan' yang pas buat dirinya biasanya dia mesti jatuh bangun buat menemukannya. Artinya, untuk sekadar menemukan diri sendiri seseorang biasanya 'jungkir balik' bangun dulu.
Kalau begitu bagaimana cara menemukan diri sendiri dengan cara yang cukup sederhana? Adakah metode khusus untuk menemukan diri sendiri?
Ada. Roger Hamilton sebenarnya sudah mempunyai metode yang terbukti bagus buat menemukan diri sendiri. Beberapa bulan lalu James Gwee memperkenalkan metode Roger Hamilton ini. Sayang sekali saat itu saya masih belum bisa mengikutinya. Sebabnya, biaya untuk mengikuti pelatihan metode tersebut, setelah didiskon cukup keras, kira-kira diskon 60%, biayanya masih Rp 8,5 juta. Ya sudah, sebaiknya saya 'balik kanan' dulu.
Kalau begitu adakah cara lain yang lebih efisien buat menemukan diri sendiri?
Ternyata ada juga. Kamis malam yang lalu pak Mario Teguh memberi tips cara cepat untuk bisa menemukan diri sendiri.
"Tirulah orang lain yang anda kagumi. Tiru abis dia. Bagaimana cara dia menjalankan usaha, memilih usaha, menentukan produk, memilih momen untuk launching, dan sebagainya. Pokoknya tiru saja," kata Mario Teguh.
Apakah dengan meniru itu ada jaminan kita berhasil?
"Dengan meniru anda PASTI gagal. Jelas gagal karena banyak perbedaan antara anda dan orang yang ditiru: Perbedaan latar belakang, pendidikan, kultur, waktu hidup, jam terbang, dan masih banyak lagi. Tapi dengan kegagalan itu mempercepat anda menemukan diri sendiri. Anda lebih cepat menemukan karakter yang paling pas buat anda sendiri. Dan tentu saja anda memperpendek waktu mencapai sukses."
Jadi meniru adalah sarana akselerasi untuk mencapai impian kita...
Sabtu, 17 November 2007
Klaim
"Pak Abduh, saya pembaca setia blog anda. Regarding artikel skripsi batiknya mahasiswa Malaysia, saya titip pertanyaan: Apa benar batik hak patennya Malaysia? Trus kalau bisa pak Abduh jangan terlalu mengumbar info batik, mulai sejarah, cara produksi, dan lain-lain. Kok saya khawatir ya jangan-jangan kita diperdaya lagi oleh Malaysia. Sudah mah kita sebel ama Pemerintah RI yang tidak berdaya, cuma sibuk mikirin kepentingan kelompoknya... at least kita-kita ini agak peduli. Punten ah kalau kesannya sewot. Sukses."
Kalimat di atas adalah sebuah sms yang saya terima Kamis pagi dari seorang sahabat di 08161313xxx. Ada rasa bahagia mendapat simpati dan perhatian seperti ini. Rasa ikut peduli terhadap kekayaan khazanah Bangsa adalah sebuah sikap yang harus terus didukung.
Menjawab sms tersebut saya katakan kalau mahasiswi Malaysia hanya minta izin memakai foto produk Anin Rumah Batik untuk memperkaya skripsi mereka. Bagi mereka batik ternyata tidak hanya sebuah karya seni yang ditorehkan di atas kain tapi juga bisa diaplikasikan di media non kain. Untuk batik jenis ini mereka menyebutnya dengan Batik Dimensi Baru. Dan untuk lebih meyakinkan sang dosen mereka juga minta foto proses pembuatannya.
"Terima kasih kerna sudi melayan e-mail saya...memang begitu uniq batik yang dipopularkan oleh pihak tuan. Di Malaysia sendiri belum ada lagi perusahaan seperti ini...kalau boleh, ingin saya meminta latar belakang karyawan-karyawan dari indonesia..kerana segala email ini akan dijadikan bukti dalam penulisan thesis saya nanti..disini saya sertakan biodata saya untuk pengetahuan tuan :" Demikian email dari Norafidah yang dikirim 9 September 2007.
Dia juga menambahkan, "Jika tidak menjadi keberatan boleh pihak tuan berikan gambar-gambar proses membuat batik daripada kayu."
Bagi saya tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Hanya saja saya sudah pasang 'kuda-kuda' untuk tidak mungkin memberi tahu mereka bagaimana cara membuat Batik Dimensi Baru ini. Untuk proses pembuatannya saya hanya mengirim 3 foto. Perkiraan saya mereka tidak mungkin bisa mengetahui proses pembuatan furnitur batik hanya berdasarkan 3 foto saja. Jadi tidak ada masalah.
Secara kebetulan, malam harinya, MetroTV menayangkan acara Survey Interaktif Padamu Negeri. Pada acara tersebut dibahas bagaimana lemahnya Pemerintah kita menjaga kekayaan khazanah budaya. Sudah dua karya budaya Bangsa kita diklaim sebagai milik Malaysia. Pemerintah diam saja. Masyarakat hanya bisa marah di bibir. Adu argumen pun terjadi dengan seru.
Dua panelis yang hadir di sana, pejabat dari Haki dan seorang pengamat, memang sangat pintar bermain kata-kata. "Indonesia punya aturan yang paling lengkap mengenai perlindungan kekayaan intelektual," kata pejabat Haki. Pernyataan ini langsung disambar oleh Miing, sang presenter, "Tapi implementasinya payah."
Saya sendiri sebenarnya bosan mengikuti adu argumen tersebut. Menurut saya kita memang paling canggih kalau diajak berdebat tapi paling ringkih kalau diajak action. Meski begitu ada sebuah pernyataan dari peserta yang menurut saya paling berbobot.
"Masalahnya hanya di nyali. Pemerintah kita tidak punya nyali untuk 'menghukum' Malaysia. Hanya itu. Kita tidak perlu muter-muter ngomongnya," kata Ngatawi al Sastro, anggota Komunitas Pecinta Gasing Indonesia. Gasing atau Gangsingan adalah sebuah mainan traditional yang dibuat dari bambu. Mainan ini akan mengeluarkan suara kalau diputar dengan kecepatan tertentu. Al Sastro sendiri adalah mantan asisten Gus Dur. Ciri khas dia adalah blangkon yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Mirip dengan topi 'Nebula' yang jarang lepas dari kepala saya, hehe ... :)
Budiarto Shambazi menulis di Kompas hari ini,
"Apa betul wayang, batik, atau Rasa Sayange milik sah RI? Soalnya RI tak pernah memperjuangkan hak cipta - itu pun kalau mungkin - atas produk-produk itu lewat WTO atau Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia.
Mustahil bagi Perancis mendapatkan hak cipta atas 'anggur Bordeaux'. Amerika Serikat pun tak berhak atas hak cipta es krim, penemuan jajanan mereka yang paling terkenal.
Tak perlu khawatir ada yang akan mampu menjiplak kehalusan batik Jawa. Namun, ironisnya, promotor batik RI yang paling terkenal di dunia adalah Nelson Mandela yang bukan bangsa dhewe.
Lagi pula Malaysia tak pernah mengklaim batik atau Rasa Sayange sebagai milik sah mereka. Jadi kalau mau nuntut, siap-siap kalah lagi seperti kasus Sipadan-Ligitan."
Kalau menggunakan logika yang dipaparkan Budiarto Shambazi ini, Malaysia sebenarnya 'cuma' memakai dan mensosialisasikan Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain kepada dunia. Secara otomatis masyarakat dunia akan melihat kalau Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain berasal dari Malaysia.
Di sini lah kuncinya. Jadi kalau tidak ingin karya budaya Bangsa kita dikira milik tetangga, ya sering-sering lah memasyarakatkan batik, mensosialisasikan batik seperti yang dilakukan sahabat saya.
Sahabat saya, seorang ekspat (WNI) yang bekerja di Houston sering mengenakan batik di tempat kerjanya. Teman-temannya tertarik, bosnya kagum. Dan mereka pun ingin memesan batik nan indah ini. Inilah bentuk Nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme action, bukan nasionalisme wacana.
"Kita ini aneh. Di negara tropis kok pake jas. Untuk negara tropis yang cocok ya batik," kata Wapres Pak Yusuf Kalla.
Terima kasih ya Pak... :)
Kamis, 15 November 2007
Riba & Judi: Saudara "Kandung" ?
Saya masih ingat kira-kira 10 tahun lalu banyak teman se kantor yang ikut 'bisnis' investasi. Caranya sangat lah gampang. Kita tinggal titip uang kepada seseorang. Uang kita mereka putar di instrumen pasar uang, bursa komoditi, bursa saham, dan lain-lain yang kita sendiri tidak tahu.
"Anda nggak usah pusing. Serahkan semua pada kami. Tiap bulan anda mendapat profit 10% net dari uang yang anda 'investasikan'," katanya berpromosi.
"Wah, enak sekali," kata salah satu teman saya. "Bayangkan, kita tinggal merem tiap bulan dapat 10%. Nggak ada resiko lagi," katanya menambahkan.
Maka mulailah teman saya ini memberanikan diri ber-'investasi'. Bulan pertama dan kedua dia mendapat 10%. Good. Cara mendapatkan uang dengan mudah ini ternyata mampu membuat teman-teman saya yang lain iri. Maka serentak mareka rame-rame ikut 'bisnis' yang mudah, nyaman, tidak ada resiko, tidak capek, hasilnya gede.
Anehnya, saya merasakan ada yang tidak beres dengan cara ini. Saya hanya merasa ada yang tidak beres tapi tidak mampu memberi argumen yang masuk akal.
"Kalo sampeyan nggak punya duit buat 'investasi' bilang saja. Tapi jangan ngomong kalo bisnis ini nggak betul. Kenyataannya tiap bulan saya dapat 10%," kata Sukar (sebut saja begitu), teman saya. Saya pun hanya bisa diam. Tapi tetap yakin kalo ada yang tidak beres. Jadi lah saat itu saya sendirian yang tidak ikut arus 'investasi'.
Ketika sampai beberapa bulan kemudian semua lancar-lancar saja, keyakinan saya mulai kena gerus. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan 'bisnis' ini memang baik. Dan ketika saya mulai ancang-ancang pingin nyoba, 'badai' pun datang. Bisnis 'investasi' ini tersapu 'tsunami' dengan dahsyatnya. Semua hancur. Semua gigit jari. Tidak ada yang tersisa. Hanya saya yang 'selamat' meski nyaris jadi kurban juga.
Yang ada tinggal kenangan. Teman saya ada yang kena usd 15.000. Dia bingung mesti bilang apa kepada keluarganya. Teman yang lain lagi juga bingung mesti ngomong apa kepada pengurus masjid di kompleksnya. Ternyata selama ini dana yang dia pakai adalah kas masjid, berani benar dia. Ada juga yang pusing mesti harus bagaimana mengingat dana yang dipakai adalah dana warisan keluarga...
Dari kejadian itu saya jadi sering melamun. Mirip orang gila? mungkin ya. Saya hanya tahu ada yang salah tapi belum bisa mengemukakan.
Akhirnya saya punya kesimpulan sendiri. Judi dan riba itu 'ruh' nya sama. Saya tidak mau pusing dengan definisi apakah di situ ada unsur untung-untungannya atau tidak. 'Ruh' nya adalah keuntungan yang didapat seseorang dicapai dengan cara membuat pihak lain rugi.
Di sinilah benang merah antara bisnis halal dan bisnis TIDAK halal. Bisnis halal adalah sama-sama untung. Saya dapat uang konsumen dapat barang/jasa. Semua dilakukan atas dasar kekuatan tawar menawar. Tidak ada paksaan.
Dari sini lah kemudian saya merasa bisa menerangkan apakah sebuah praktek bisnis itu halal atau tidak halal (amat sangat syubhat banget).
"Bagaimana kalau jual beli valas?" teman saya di Solo pernah menanyakan itu kepada saya.
"Kalau kita beli valas karena valas itu dipakai untuk membeli barang impor, halal," jawab saya. "Tapi kalau yg diperjual belikan itu adalah valas an sich, maka tidak halal. Karena keuntungan yang kita dapat pasti membuat pihak lain rugi. Dan saya tetap yakin dengan jawaban saya.
Keyakinan saya ternyata mendapat 'dukungan' dari pak Mahathir (waktu masih menjabat sebagai PM), 'Soekarno kecil' dari Malaysia. Menghadapi Soros yang malang melintang dan 'merusak' Asia dengan valasnya, Mahathir bilang bahwa valas sebagai komiditi adalah haram. Yang halal adalah kita beli valas karena si penjual barang hanya mau dibayar dengan valas.
"Pak Mahathir, sampeyan telat dibanding saya," kata saya dalam hati, hehe :)
Dan praktek kuis sms yang sedang menjamur pun bisa diterangkan dengan mudah. Saat ini banyak sekali kuis sms di televisi, bahkan ada yang berkedok acara agama. Hadiahnya pun sangat menggiurkan. Bagi saya itu Haram jadah.
Satu sms kita membayar, biasanya, Rp 2000. Kalau kalah kita tidak mendapat apa-apa. Nol besar. Kemungkinan kalah adalah 99%. Hadiah yg ada diambilkan dari dana yang masuk melalui sms. Siapa yang untung? Jelas bandarnya. Jelas, ini praktek judi yang sangat kentara. Bagaimana MUI? Bagaimana Pemerintah kok diam saja?
Saya tiba-tiba ingin menulis masalah ini setelah membaca tulisan dahsyatnya Pak Rosihan, sang jawara ritel. Silahkan baca tulisannya, Sangat bagus.
"Anda nggak usah pusing. Serahkan semua pada kami. Tiap bulan anda mendapat profit 10% net dari uang yang anda 'investasikan'," katanya berpromosi.
"Wah, enak sekali," kata salah satu teman saya. "Bayangkan, kita tinggal merem tiap bulan dapat 10%. Nggak ada resiko lagi," katanya menambahkan.
Maka mulailah teman saya ini memberanikan diri ber-'investasi'. Bulan pertama dan kedua dia mendapat 10%. Good. Cara mendapatkan uang dengan mudah ini ternyata mampu membuat teman-teman saya yang lain iri. Maka serentak mareka rame-rame ikut 'bisnis' yang mudah, nyaman, tidak ada resiko, tidak capek, hasilnya gede.
Anehnya, saya merasakan ada yang tidak beres dengan cara ini. Saya hanya merasa ada yang tidak beres tapi tidak mampu memberi argumen yang masuk akal.
"Kalo sampeyan nggak punya duit buat 'investasi' bilang saja. Tapi jangan ngomong kalo bisnis ini nggak betul. Kenyataannya tiap bulan saya dapat 10%," kata Sukar (sebut saja begitu), teman saya. Saya pun hanya bisa diam. Tapi tetap yakin kalo ada yang tidak beres. Jadi lah saat itu saya sendirian yang tidak ikut arus 'investasi'.
Ketika sampai beberapa bulan kemudian semua lancar-lancar saja, keyakinan saya mulai kena gerus. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan 'bisnis' ini memang baik. Dan ketika saya mulai ancang-ancang pingin nyoba, 'badai' pun datang. Bisnis 'investasi' ini tersapu 'tsunami' dengan dahsyatnya. Semua hancur. Semua gigit jari. Tidak ada yang tersisa. Hanya saya yang 'selamat' meski nyaris jadi kurban juga.
Yang ada tinggal kenangan. Teman saya ada yang kena usd 15.000. Dia bingung mesti bilang apa kepada keluarganya. Teman yang lain lagi juga bingung mesti ngomong apa kepada pengurus masjid di kompleksnya. Ternyata selama ini dana yang dia pakai adalah kas masjid, berani benar dia. Ada juga yang pusing mesti harus bagaimana mengingat dana yang dipakai adalah dana warisan keluarga...
Dari kejadian itu saya jadi sering melamun. Mirip orang gila? mungkin ya. Saya hanya tahu ada yang salah tapi belum bisa mengemukakan.
Akhirnya saya punya kesimpulan sendiri. Judi dan riba itu 'ruh' nya sama. Saya tidak mau pusing dengan definisi apakah di situ ada unsur untung-untungannya atau tidak. 'Ruh' nya adalah keuntungan yang didapat seseorang dicapai dengan cara membuat pihak lain rugi.
Di sinilah benang merah antara bisnis halal dan bisnis TIDAK halal. Bisnis halal adalah sama-sama untung. Saya dapat uang konsumen dapat barang/jasa. Semua dilakukan atas dasar kekuatan tawar menawar. Tidak ada paksaan.
Dari sini lah kemudian saya merasa bisa menerangkan apakah sebuah praktek bisnis itu halal atau tidak halal (amat sangat syubhat banget).
"Bagaimana kalau jual beli valas?" teman saya di Solo pernah menanyakan itu kepada saya.
"Kalau kita beli valas karena valas itu dipakai untuk membeli barang impor, halal," jawab saya. "Tapi kalau yg diperjual belikan itu adalah valas an sich, maka tidak halal. Karena keuntungan yang kita dapat pasti membuat pihak lain rugi. Dan saya tetap yakin dengan jawaban saya.
Keyakinan saya ternyata mendapat 'dukungan' dari pak Mahathir (waktu masih menjabat sebagai PM), 'Soekarno kecil' dari Malaysia. Menghadapi Soros yang malang melintang dan 'merusak' Asia dengan valasnya, Mahathir bilang bahwa valas sebagai komiditi adalah haram. Yang halal adalah kita beli valas karena si penjual barang hanya mau dibayar dengan valas.
"Pak Mahathir, sampeyan telat dibanding saya," kata saya dalam hati, hehe :)
Dan praktek kuis sms yang sedang menjamur pun bisa diterangkan dengan mudah. Saat ini banyak sekali kuis sms di televisi, bahkan ada yang berkedok acara agama. Hadiahnya pun sangat menggiurkan. Bagi saya itu Haram jadah.
Satu sms kita membayar, biasanya, Rp 2000. Kalau kalah kita tidak mendapat apa-apa. Nol besar. Kemungkinan kalah adalah 99%. Hadiah yg ada diambilkan dari dana yang masuk melalui sms. Siapa yang untung? Jelas bandarnya. Jelas, ini praktek judi yang sangat kentara. Bagaimana MUI? Bagaimana Pemerintah kok diam saja?
Saya tiba-tiba ingin menulis masalah ini setelah membaca tulisan dahsyatnya Pak Rosihan, sang jawara ritel. Silahkan baca tulisannya, Sangat bagus.
Rabu, 14 November 2007
Selasa, 13 November 2007
Duo Siti
Inilah duo Siti. Dari 5 foto mereka saya pilihkan 2 yang standar saja ya. Pesan mereka, "maaf la kami bagi yang mampu sahaja.... Jangan disalah guna ye pict kami tu....hehehehe."
Senin, 12 November 2007
Apakah Ini Juga LoA?
Pada suatu hari, hatta, menurut cerita ibu mertua saya, puluhan tahun silam ketika berangkat dan pulang mengajar Beliau selalu melewati sebuah rumah.
"Rumah itu indah, cekli, tidak besar tapi sangat serasi. Bangunan dengan halamannya pas skalanya. Dan yang membuat saya kagum adalah pagarnya yang pancak suji," cerita Beliau kepada anaknya (sekarang jadi istri saya). Pancak suji adalah desain pagar yang saat itu memang jadi tren setter. Ibu mertua ingin sekali memiliki pagar seperti itu. Tiap hari pagi dan siang, kalau lewat di depan rumah itu, Beliau selalu berkata dalam hati, suatu saat kalau membangun rumah pagarnya harus pancak suji.
Dan ternyata benar. Beberapa tahun kemudian ketika cita-citanya membangun rumah kesampaian, pagarnya memang pancak suji.
Lain lagi dengan cerita Ibu saya.
Di dekat rumah orang tua saya ada sebuah rumah. Saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. "Rumah itu pagarnya aneh. Masak pagar kok warnanya seperti itu," kata Ibu kepada saya puluhan tahun yang lalu. Pagar yang dimaksud Ibu saya adalah pagar yang warnanya kuning ndesit. Kalau bahasa gaul sekarang, kuning katro. Dari jarak 300 meter warna itu mampu membuat mata kita 'silau'. "Aku kok sebel dengan warna itu," komentar Beliau lagi.
Sayangnya, atau apesnya, tiap belanja sayur Ibu saya selalu melewati rumah dengan pagar katro itu. Jadi Beliau tidak bisa menghindar dari si 'kuning ndesit'. "Jadi panjenangan tiap hari sebel dong," goda saya. Beliau hanya tersenyum saja.
Ternyata, ketika keluarga kami akhirnya mampu merenovasi rumah tercinta, 'keajaiban' terjadi. Pagar rumah kami yang baru warnanya... kuning katro.
"Lho, warna pagarnya kok kuning, persis dengan rumah tetangga itu?" tanya kakak saya. Ibu saya juga heran kok warnanya bisa sama. Padahal yang memilih warna juga ibu saya. Orang bilang sih kualat. "Makanya kalau benci jangan benci-benci amat. Jadinya malah kepikiran terus," kami coba menggoda Ibu.
Ketika saya dan istri memulai hidup baru di Jakarta, tepatnya di Kranggan, Bekasi Selatan, kami punya tetangga dengan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tiap hari kami selalu mendengar tangisan anak itu. Kadang tangisan itu disebabkan karena mereka berantem, atau jatuh, bisa juga karena kena marah ibunya.
"Tetangga sebelah itu kasihan ya, punya anak kok umurnya deketan banget. Jadinya kan repot." Kami sering membicarakan insiden yang sering terjadi di rumah sebelah. "Harusnya kalau punya anak jaraknya yang ideal dong," gumam kami lagi. Kami sering menggoda mereka kalau anaknya ada yang menangis. Tetangga sering hanya tersenyum saja kalau kami godain. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka.
Ternyata ketika kami punya anak, jarak antara anak pertama dan kedua hanya 16 bulan. "Nha, sekarang rasain, repot lagi repot lagi," goda tetangga sebelah ketika melihat betapa kami cukup kelabakan menangani duo laki-laki kami. "Makanya kalau punya anak jangan deket-deket amat." Kali ini mereka punya 'amunisi' yang siap ditembakkan sewaktu-waktu.
Tidak berhenti di sini saja. Ternyata istri saya masih melahirkan lagi duo laki-laki lagi sebelum kami meninggalkan Kranggan. Ternyata kami lebih repot dibanding dengan tetangga sebelah.
Kali ini ada dua tetangga yang sering menggoda. Tetangga depan rumah punya dua anak laki-laki. Tetangga sebelah juga dua anak laki-laki. Mereka sering kompak 'bernyanyi' kalau melihat kami repot dengan empat 'pasukan'. Istri saya sering menjawab, "Paling-paling nanti sampeyan juga nggak kalah repot kalau punya anak lagi." "Kami sudah nggak ingin punya anak lagi tuh," jawab mereka sambil tertawa, hahaha...
Ajaib nggak ya. Dua tetangga kami ternyata, akhirnya, sama-sama 'menambah' dua anak lagi. Jadilah mereka masing-masing punya empat anak. Jadi lah tiga keluarga ini punya selusin anak: 11 laki-laki 1 perempuan.
Kami pun akhirnya pindah ke Bekasi. Di kompleks yang baru kami tentu saja mendapat sedikit perhatian.
Kami membawa 4 anak laki-laki. Tetangga sebelah baru satu anak laki-laki. Kedatangan kami ternyata menambah sedikit keramaian. Mereka sering mendengar saya atau istri saya yang repot menangani kalau 'pasukan' ini sedang 'berperang'. "Kasihan ibu sebelah. Tiap hari suaranya terdengar dari sini," katanya kepada pembantu kami. "Gimana nggak repot. Anaknya empat laki semua," tambahnya. Kami pun sering digoda.
"Ah, paling-paling nanti sampeyan juga banyak anak," kami tidak mau kalah kalau mendapat 'serangan' tetangga sebelah.
Apa yang terjadi sekarang... ?
Tetangga sebelah 'baru' punya 3 anak, semua laki-laki. Apa yang dulu kami alami: suara keras, tangisan, 'perang saudara', semua terdengar dari rumah kami. "Sekarang skornya satu-satu ya bu," goda istri saya kepada ibu sebelah. Dia hanya mesem-mesem saja...
"Rumah itu indah, cekli, tidak besar tapi sangat serasi. Bangunan dengan halamannya pas skalanya. Dan yang membuat saya kagum adalah pagarnya yang pancak suji," cerita Beliau kepada anaknya (sekarang jadi istri saya). Pancak suji adalah desain pagar yang saat itu memang jadi tren setter. Ibu mertua ingin sekali memiliki pagar seperti itu. Tiap hari pagi dan siang, kalau lewat di depan rumah itu, Beliau selalu berkata dalam hati, suatu saat kalau membangun rumah pagarnya harus pancak suji.
Dan ternyata benar. Beberapa tahun kemudian ketika cita-citanya membangun rumah kesampaian, pagarnya memang pancak suji.
Lain lagi dengan cerita Ibu saya.
Di dekat rumah orang tua saya ada sebuah rumah. Saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. "Rumah itu pagarnya aneh. Masak pagar kok warnanya seperti itu," kata Ibu kepada saya puluhan tahun yang lalu. Pagar yang dimaksud Ibu saya adalah pagar yang warnanya kuning ndesit. Kalau bahasa gaul sekarang, kuning katro. Dari jarak 300 meter warna itu mampu membuat mata kita 'silau'. "Aku kok sebel dengan warna itu," komentar Beliau lagi.
Sayangnya, atau apesnya, tiap belanja sayur Ibu saya selalu melewati rumah dengan pagar katro itu. Jadi Beliau tidak bisa menghindar dari si 'kuning ndesit'. "Jadi panjenangan tiap hari sebel dong," goda saya. Beliau hanya tersenyum saja.
Ternyata, ketika keluarga kami akhirnya mampu merenovasi rumah tercinta, 'keajaiban' terjadi. Pagar rumah kami yang baru warnanya... kuning katro.
"Lho, warna pagarnya kok kuning, persis dengan rumah tetangga itu?" tanya kakak saya. Ibu saya juga heran kok warnanya bisa sama. Padahal yang memilih warna juga ibu saya. Orang bilang sih kualat. "Makanya kalau benci jangan benci-benci amat. Jadinya malah kepikiran terus," kami coba menggoda Ibu.
Ketika saya dan istri memulai hidup baru di Jakarta, tepatnya di Kranggan, Bekasi Selatan, kami punya tetangga dengan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tiap hari kami selalu mendengar tangisan anak itu. Kadang tangisan itu disebabkan karena mereka berantem, atau jatuh, bisa juga karena kena marah ibunya.
"Tetangga sebelah itu kasihan ya, punya anak kok umurnya deketan banget. Jadinya kan repot." Kami sering membicarakan insiden yang sering terjadi di rumah sebelah. "Harusnya kalau punya anak jaraknya yang ideal dong," gumam kami lagi. Kami sering menggoda mereka kalau anaknya ada yang menangis. Tetangga sering hanya tersenyum saja kalau kami godain. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka.
Ternyata ketika kami punya anak, jarak antara anak pertama dan kedua hanya 16 bulan. "Nha, sekarang rasain, repot lagi repot lagi," goda tetangga sebelah ketika melihat betapa kami cukup kelabakan menangani duo laki-laki kami. "Makanya kalau punya anak jangan deket-deket amat." Kali ini mereka punya 'amunisi' yang siap ditembakkan sewaktu-waktu.
Tidak berhenti di sini saja. Ternyata istri saya masih melahirkan lagi duo laki-laki lagi sebelum kami meninggalkan Kranggan. Ternyata kami lebih repot dibanding dengan tetangga sebelah.
Kali ini ada dua tetangga yang sering menggoda. Tetangga depan rumah punya dua anak laki-laki. Tetangga sebelah juga dua anak laki-laki. Mereka sering kompak 'bernyanyi' kalau melihat kami repot dengan empat 'pasukan'. Istri saya sering menjawab, "Paling-paling nanti sampeyan juga nggak kalah repot kalau punya anak lagi." "Kami sudah nggak ingin punya anak lagi tuh," jawab mereka sambil tertawa, hahaha...
Ajaib nggak ya. Dua tetangga kami ternyata, akhirnya, sama-sama 'menambah' dua anak lagi. Jadilah mereka masing-masing punya empat anak. Jadi lah tiga keluarga ini punya selusin anak: 11 laki-laki 1 perempuan.
Kami pun akhirnya pindah ke Bekasi. Di kompleks yang baru kami tentu saja mendapat sedikit perhatian.
Kami membawa 4 anak laki-laki. Tetangga sebelah baru satu anak laki-laki. Kedatangan kami ternyata menambah sedikit keramaian. Mereka sering mendengar saya atau istri saya yang repot menangani kalau 'pasukan' ini sedang 'berperang'. "Kasihan ibu sebelah. Tiap hari suaranya terdengar dari sini," katanya kepada pembantu kami. "Gimana nggak repot. Anaknya empat laki semua," tambahnya. Kami pun sering digoda.
"Ah, paling-paling nanti sampeyan juga banyak anak," kami tidak mau kalah kalau mendapat 'serangan' tetangga sebelah.
Apa yang terjadi sekarang... ?
Tetangga sebelah 'baru' punya 3 anak, semua laki-laki. Apa yang dulu kami alami: suara keras, tangisan, 'perang saudara', semua terdengar dari rumah kami. "Sekarang skornya satu-satu ya bu," goda istri saya kepada ibu sebelah. Dia hanya mesem-mesem saja...
Jumat, 09 November 2007
Rujukan Thesis
Beberapa waktu lalu saya diemail oleh 2 mahasiswi dari Malaysia. Mereka ingin Anin Rumah Batik menjadi salah satu referensi thesis mereka dalam rangka menyelesaikan S1. Tentu saja saya tidak keberatan.
Dua calon sarjana itu juga mengirim foto-foto mereka... ehm cantik juga, haha :))
Inilah hasilnya:
Dua calon sarjana itu juga mengirim foto-foto mereka... ehm cantik juga, haha :))
Inilah hasilnya:
Selasa, 06 November 2007
Apa Kegiatan Anda ketika TDA?
"Apa yang sampeyan lakukan di rumah ketika sudah full TDA?" tanya sahabat saya tiba-tiba ketika kami bertemu di sebuah acara.
Pertanyaan itu sebenarnya sangat simpel, sederhana, jelas, dan lugas. Tapi pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan tersebut cukup membuat saya kaget dan gelagapan untuk menjawabnya.
Saat itu saya tidak bisa langsung menjawabnya. Detik itu tidak ada kalimat yang bisa keluar dari mulut saya. Untuk menutupi kebingungan maka yang saya lakukan hanya tertawa dan mengatakan bahwa pertanyaan itu sangat bagus. Bagus sekali.
Kalau salah satu goal dari anggota komunitas ini adalah 100% menjadi TDA (Tangan Di Atas) alias jadi pengusaha, pemberi, dan bukan jadi orang gajian lagi, maka pertanyaan sederhana di atas sangat relevan.
Sebagai karyawan kegiatan kita sehari-hari sangat lah standar: Pagi buta sudah harus keluar rumah, berjibaku dengan pangguna jalan lain memperebutkan sejengkal aspal, menghabiskan 2-3 jam di jalanan, menghirup udara yang sangat polutif, kadang juga meneriakkan anggota Ragunan kalau kendaraannya 'digunting' orang lain. Di jalanan ini lah mungkin sebagian besar energi dihabiskan. Dan karena sering menyebut-nyebut 'saudara tua' yang tinggal di Ragunan tentu saja tingkat stres nya bertambah.
Sedangkan bagi yang naik kendaaan umum, mengejar Mayasari Bhakti jelas sekali memerlukan energi yang setara dengan olahragawan. Belum lagi di dalam bis kaki ini mesti hati-hati memilih pijakan. Salah-salah yang kita injak adalah kaki karyawati (ada untungnya sih, bisa kenalan), bukan lantai bis. Tentu saja energi kita makin terbuang kalau yang kita injak adalah kaki pengamen.
Tiba di tempat kerja langsung berhadapan dengan rutinitas. Ada memang yang pola kerjanya sangat dinamis tapi jumlahnya pasti lebih sedikit. Energi yang dipakai di tempat kerja adalah energi sisa yang sudah banyak terbuang di jalanan.
Jam 12 teng semua meninggalkan satu rutinitas menuju rutinitas lain, makan siang. Di tempat makan ini barangkali kita bisa refreshing. Di samping bisa istirahat kita juga bisa melihat 'pemandangan' lain yang tidak bisa dijumpai di tempat kerja.
Jam 13 menurut peraturan sudah harus kerja lagi, rutinitas lagi. Meski tidak jarang yang nambah jam istirahat atau bertemu rekan sejawat hingga jarum pendek jam bisa tiba-tiba mengarah ke angka 3. Dan jam 17 tepat kembali kita harus berjibaku berebut sejengkal aspal dalam rangka 'menengok' keluarga di rumah. Dikatakan 'menengok' karena waktu untuk orang yang kita cintai lebih sedikit dibanding dengan waktu buat bos.
Apakah kegiatan ini membosankan? Maybe yes maybe no. Bagi orang yang memandang dari kejauhan kegiatan ini sungguh membosankan dan menyiksa. Tapi bagi para pelaku bisa jadi ini adalah kegiatan yang menyenangkan. Bisa karena biasa. Tresno jalaran soko kulino. :)
Nah bagaimana kalau tiba-tiba kita memutuskan menjadi manusia merdeka. Manusia yang bisa mengatur diri sendiri. Yang hidupnya tidak dikendalikan pihak lain?
Pagi hari tiba-tiba kita tidak punya kesibukan super. Tiba-tiba kita bisa menyaksikan anak kita berangkat ke sekolah. Tiba-tiba kita bisa melihat tukang sayur, tukang sol sepatu, penjual ayam keliling, penjual beras, mobil menjajakan perabot, penjual remote control, tukang las, dan lain-lain.
Tiba-tiba pula ada tetangga yang bertanya, "Pak kok sekarang di rumah saja?". Barangkali kita mendengar tetangga yang ngobrol kalau kantor kita bangkrut. Atau kita dipecat karena berantem dengan bos yang tidak tahu persoalan perusahaan. Dan masih banyak lagi...
"Memang semuanya perlu transisi," jawab saya kepada sahabat yang masih penasaran dengan hari-hari jadi TDA. Dan transisi yang paling penting harus disiapkan dengan baik adalah menyiapkan mental keluarga kita sendiri. Apa yang harus dilakukan kalau tiba-tiba anak kita bertanya, "Kok bapak sekarang tidak ngantor lagi?"
Kalau mental keluarga sudah siap, sudah mendukung langkah kita, maka keputusan menjadi TDA adalah berkah. Berkah yang sangat besar.
Dan tiba-tiba tiap pagi saya selalu punya kesibukan sendiri. Kesibukan produktif. Menjadi 'aktivis' Jakarta adalah kesibukan yang (menurut saya) kurang produktif.
Pertanyaan itu sebenarnya sangat simpel, sederhana, jelas, dan lugas. Tapi pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan tersebut cukup membuat saya kaget dan gelagapan untuk menjawabnya.
Saat itu saya tidak bisa langsung menjawabnya. Detik itu tidak ada kalimat yang bisa keluar dari mulut saya. Untuk menutupi kebingungan maka yang saya lakukan hanya tertawa dan mengatakan bahwa pertanyaan itu sangat bagus. Bagus sekali.
Kalau salah satu goal dari anggota komunitas ini adalah 100% menjadi TDA (Tangan Di Atas) alias jadi pengusaha, pemberi, dan bukan jadi orang gajian lagi, maka pertanyaan sederhana di atas sangat relevan.
Sebagai karyawan kegiatan kita sehari-hari sangat lah standar: Pagi buta sudah harus keluar rumah, berjibaku dengan pangguna jalan lain memperebutkan sejengkal aspal, menghabiskan 2-3 jam di jalanan, menghirup udara yang sangat polutif, kadang juga meneriakkan anggota Ragunan kalau kendaraannya 'digunting' orang lain. Di jalanan ini lah mungkin sebagian besar energi dihabiskan. Dan karena sering menyebut-nyebut 'saudara tua' yang tinggal di Ragunan tentu saja tingkat stres nya bertambah.
Sedangkan bagi yang naik kendaaan umum, mengejar Mayasari Bhakti jelas sekali memerlukan energi yang setara dengan olahragawan. Belum lagi di dalam bis kaki ini mesti hati-hati memilih pijakan. Salah-salah yang kita injak adalah kaki karyawati (ada untungnya sih, bisa kenalan), bukan lantai bis. Tentu saja energi kita makin terbuang kalau yang kita injak adalah kaki pengamen.
Tiba di tempat kerja langsung berhadapan dengan rutinitas. Ada memang yang pola kerjanya sangat dinamis tapi jumlahnya pasti lebih sedikit. Energi yang dipakai di tempat kerja adalah energi sisa yang sudah banyak terbuang di jalanan.
Jam 12 teng semua meninggalkan satu rutinitas menuju rutinitas lain, makan siang. Di tempat makan ini barangkali kita bisa refreshing. Di samping bisa istirahat kita juga bisa melihat 'pemandangan' lain yang tidak bisa dijumpai di tempat kerja.
Jam 13 menurut peraturan sudah harus kerja lagi, rutinitas lagi. Meski tidak jarang yang nambah jam istirahat atau bertemu rekan sejawat hingga jarum pendek jam bisa tiba-tiba mengarah ke angka 3. Dan jam 17 tepat kembali kita harus berjibaku berebut sejengkal aspal dalam rangka 'menengok' keluarga di rumah. Dikatakan 'menengok' karena waktu untuk orang yang kita cintai lebih sedikit dibanding dengan waktu buat bos.
Apakah kegiatan ini membosankan? Maybe yes maybe no. Bagi orang yang memandang dari kejauhan kegiatan ini sungguh membosankan dan menyiksa. Tapi bagi para pelaku bisa jadi ini adalah kegiatan yang menyenangkan. Bisa karena biasa. Tresno jalaran soko kulino. :)
Nah bagaimana kalau tiba-tiba kita memutuskan menjadi manusia merdeka. Manusia yang bisa mengatur diri sendiri. Yang hidupnya tidak dikendalikan pihak lain?
Pagi hari tiba-tiba kita tidak punya kesibukan super. Tiba-tiba kita bisa menyaksikan anak kita berangkat ke sekolah. Tiba-tiba kita bisa melihat tukang sayur, tukang sol sepatu, penjual ayam keliling, penjual beras, mobil menjajakan perabot, penjual remote control, tukang las, dan lain-lain.
Tiba-tiba pula ada tetangga yang bertanya, "Pak kok sekarang di rumah saja?". Barangkali kita mendengar tetangga yang ngobrol kalau kantor kita bangkrut. Atau kita dipecat karena berantem dengan bos yang tidak tahu persoalan perusahaan. Dan masih banyak lagi...
"Memang semuanya perlu transisi," jawab saya kepada sahabat yang masih penasaran dengan hari-hari jadi TDA. Dan transisi yang paling penting harus disiapkan dengan baik adalah menyiapkan mental keluarga kita sendiri. Apa yang harus dilakukan kalau tiba-tiba anak kita bertanya, "Kok bapak sekarang tidak ngantor lagi?"
Kalau mental keluarga sudah siap, sudah mendukung langkah kita, maka keputusan menjadi TDA adalah berkah. Berkah yang sangat besar.
Dan tiba-tiba tiap pagi saya selalu punya kesibukan sendiri. Kesibukan produktif. Menjadi 'aktivis' Jakarta adalah kesibukan yang (menurut saya) kurang produktif.
Langganan:
Postingan (Atom)