Untung, beruntung, atau keberuntungan adalah kata yang biasanya lekat dengan sebuah nasib yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Dan karena tidak bisa diprediksi maka orang yang mengalami keberuntungan biasanya cuma dikomentari, "Yah, dia memang lagi beruntung."
Bagi kalangan yang sedang mengalami jalan buntu maka kata keberuntungan merupakan asa terakhir yang sangat dinanti, meski biasanya tak kunjung datang jua .
Semua orang berharap menjadi orang yang beruntung. "Paling enak jadi orang yang untung." kata teman saya di kampung. Jadi orang pinter nggak jaminan bisa kaya. Jadi orang kaya nggak jaminan bisa tenteram, jadi mudah was-was memikirkan hartanya. Yang paling menyedihkan adalah sudah miskin tidak tenteram pula. Maka yang paling enak memang jadi orang beruntung. Maka tidak heran kalau ada tokoh kartun yang diberi nama Si Untung. Apa yang dilakukannya selalu mendatangkan keberuntungan. Bahkan bencana yang seharusnya menimpa dirinya bisa berubah menjadi keberuntungan. Dia lah temannya Donald bebek.
Tetapi apakah keberuntungan memang tidak bisa di-create?
Ternyata dalam seminar Luck Factor yang diadakan oleh TDA pada 2 April 2007 lalu terungkap bahwa kita bisa merekayasa keberuntungan. Keberuntungan bisa dibikin. Pak Ahmad Faiz Zainuddin, sang
Di sini saya tidak akan mengulangi materi seminar tersebut karena saya yakin rekan-rekan TDA sudah mengerti betul dengan materi itu.
Saya hanya akan menceritakan sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh Ustad Abdul Aziz. Pak Abdul Aziz adalah salah seorang pengajar di pesantren Wisata Hati milik Ustad Yusuf mansur.
Pada suatu hari datang seorang ibu dengan anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun. Dari raut mukanya sudah tampak bahwa tamu ini sedang ada masalah berat. Meski dengan penampilan trendy dan fashionable karena mantan pramugari, sang ibu tidak dapat menyembunyikan kegundahan hatinya memikirkan masa depan sang buah hati.
"Anak saya menderita leukemia (kanker darah). Tiap bulan kami harus mengeluarkan Rp 8 juta untuk terapi dan pengobatannya," kata sang ibu membuka pembicaraan.
"Menurut dokter untuk mengatasi penyakit tersebut minimal dibutuhkan waktu 2 tahun. Kami sangat berat dengan kondisi ini. Saya datang ke sini berharap mudah-mudahan masalah kami menemukan solusinya," sang ibu menambahkan.
Semua terdiam. Hening.
"Berapa biaya total yang dibutuhkan untuk terapi selama 2 tahun itu?"
"Tentu saja Rp 8 juta x 24 bulan atau Rp 192 juta, ustad"
"Begini saja, ambil 10%-nya (Rp 19,2 juta)... dan sedekahkan kepada yang berhak"
Sang ibu terdiam sejenak. Semua ikut terdiam.
"Ibu masih punya harta kan yang bisa dijual untuk shodaqoh Rp 19,2 juta?" tanya pengasuh Wisata Hati.
"Masih ada sih tapi kalau harus shodaqoh sebesar itu berat, ustad," jawabnya.
"Semua pilihan terserah pada ibu, memilih 'hanya' Rp 19,2 juta atau Rp 8 juta/bulan selama 2 tahun... "
Cukup lama sang ibu mengambil keputusan meski akhirnya tidak ada pilihan lain, dia setuju dengan usulan sedekah Rp 19,2 juta.
"Selain sedekah perlu juga perbaiki ibadahnya. Terus lah berdoa. Juga tidak kalah penting minta lah untuk didoakan oleh anak-anak yatim yang banyak terdapat di sini," pesan sang ustad.
Beberapa bulan kemudian sang ibu datang lagi ke Wisata Hati bersama sang buah hati. Kali ini wajahnya cerah, bersinar, penuh kebahagiaan.
"Dari pemeriksaan terakhir diketahui bahwa anak saya sudah sembuh 100%, ustad. Tim dokter juga heran dengan kondisi anak saya yang bisa sembuh secepat ini," kata sang ibu menceritakan rasa bahagianya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar