Cukup sulit mencari padanan gragas, sebuah kata berbahasa Jawa, ke dalam bahasa Indonesia. Barangkali rakus adalah kata yang cukup bisa mendekati makna gragas tersebut, meski sebenarnya mempunyai arti yang berbeda.
Tadi pagi sekitar jam 8.00 ada sms yang masuk, "Dengan hormat kami undang rekan2 alumni... (sebuah perguruan tinggi) dalam acara buka puasa bersama, Jumat 21 Sept 2007 jam 17.00 di rumah kami Jl... (komp perumahan pejabat tinggi). Besar harapan kami rekan2 dapat hadir. Terima kasih."
Membaca undangan buka bersama tersebut mengingatkan saya dengan beberapa undangan buka bersama yang pernah saya terima. Ternyata dalam acara buka bersama ada fenomena yang cukup menarik. Fenomena ini tidak sempat saya cermati. Baru tahun kemarin saya melihat ada fenomena yang cukup seragam pada setiap acara buka bersama.
Undangan buka bersama secara resmi pertama kali saya terima beberapa tahun lalu. Ceritanya sebuah bank milik Pemerinta yang cukup besar mengundang kantor saya untuk menghadiri buka bersama. Karena yang mengundang sebuah bank papan atas, di kantor pusat mereka, maka saya dan teman-teman datang dengan pakaian resmi, dan sedikit wangi. :)
Datang di tempat acara suasana masih sepi, padahal kami datang sudah pada jam yang pas, sesuai undangan. Ketika kemudian para tamu mulai berdatangan acara pun dimulai. Menjelang Maghrib ada sedikit wejangan dari Ustad tentang makna puasa.
Ternyata apa yang pernah dikatakan Emha Ainun Najib menunjukkan faktanya. "Perut yang lapar tidak cocok kalau diceramahi. Kalau sudah kenyang baru pas diberi petuah-petuah," demikian kurang lebih kata Cak Nun.
Suasana pengajian menurut saya tidak kondusif. Mungkin hanya 5% dari hadirin yang benar-benar mendengarkan ceramah. Mayoritas tamu asik sendiri dengan kegiatan mereka. Hampir semuanya ngobrol dengan sesama kawan. Ada juga yang memilih duduk di pojok belakang, lelap.
Yang menarik, begitu bedug Maghrib berkumandang, serentak tanpa komando semua tamu menyerbu makanan yang tersedia. Saya katakan menyerbu karena betul-betul menyerbu. Para tamu undangan yang terhormat berlarian berebut makanan. Saya cukup shock melihat kejadian tersebut. Sama sekali tidak menyangka kalau para dasiwan (orang berdasi) berebut makanan seperti itu. Karena saya masih katro, saya cuma dapat air putih, alhamdulillah.
Ada acara serupa yang diadakan di rumah pejabat legislatif, Dia juga pebisnis besar. Mayoritas undangannya adalah ibu-ibu yang anggun, elegan, fashionable. Sama dengan kejadian di atas. Pengajiannya nyaris tak terdengar. Yang terlihat adalah banyaknya undangan yang bergerombol di dekat meja jamuan. Dan, begitu adzan berkumandang... wusss, tiba-tiba tinggal aqua gelas dan satu-dua snack yang masih bisa saya temukan.
Mengajak tamu undangan untuk shalat Maghrib juga bukan perkara mudah. Jauh lebih mudah berkata, "di meja sebelah satenya masih ada...."
Saya sudah lupa ada berapa undangan buka bersama yang sempat saya datangi. Terakhir adalah undangan buka bersama di rumah salah seorang Pak Menteri. Sebenarnya saya agak malas datang di acara tersebut. Saya yakin fenomenanya tidak jauh berbeda. Tapi karena didesak teman kantor akhirnya saya datang juga.
Tiba di tempat acara saya merasa agak asing. Wajah-wajah yang tidak kami kenal sudah banyak yang berkumpul di tempat acara. Saya baru tahu kalau mereka ternyata aktivis parpol pendukung pak Menteri. Sama, pengajiannya tidak efektif. Dan penyerbuan ke meja jamuan juga berlangsung singkat, cepat, lenyap. Hampir sama dengan mottonya Kopaska (Komando Pasukan Katak), pasukan elitnya TNI-AL: Singkat, cepat, senyap. Bedanya, Kopaska operasinya senyap kalau buka bersama operasinya lenyap... makanannya. :)
Dari fenomena buka bersama kita bisa melihat bagaimana sebenarnya puasa kita. Apakah kita berpuasa merupakan ajang melatih hawa nafsu atau hanya menunda makan karena perintah keyakinan. Dari fenomena buka bersama terlihat sifat gragas memang tidak mengenal kelas. Kalau perut sudah lapar orang mudah lupa dengan sekitar.
Yang paling parah adalah kalau jiwanya yang lapar. Maka ketika M. Fadjroel Rachman menulis di Kompas hari ini bahwa StAR (Stolen Asset Recovery), badan di bawah PBB, mengeluarkan daftar pemimpin paling korup di dunia saya tidak kaget. Dari 10 pemimpin dunia paling korup ternyata urutan pertama dipegang oleh Pak Harto dengan jumlah harta yang dicuri antara 15 miliar-35 miliar dollar AS....
Jadi apa arti puasa kita selama ini kalau hasilnya adalah pemimpin paling korup?
Yang unik adalah ketika saya datang di acara buka bersama TDA tahun lalu. Meski pengajiannya menurut saya kurang efektif tapi saya TIDAK melihat ada "penyerbuan" jamuan, sebuah "ritual" yang menunjukkan betapa gragas nya kita.
Semoga TDA memang bersama menebar rahmat, tidak gragas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar