Selasa, 17 Juli 2007

Religiusitas tanpa Ayat


"Film-film Islam biasanya kan menampilkan kemiskinan, kekerasan, peran wanita, dll. Nah dalam film Rindu Kami pada Mu, saya menyajikan Islam yang tertawa, bahagia, ceria. Saya sendiri tidak pernah mengatakan bahwa film ini bertema keagamaan tapi ternyata penghargaan yang saya terima semuanya memasukkan film ini ke dalam kategori film religius. Saya sendiri lebih suka menyebut religiusitas tanpa ayat."

Demikian kurang lebih kata Garin Nugroho dalam acara Beyond Marketing di JakTV tadi malam. "Pada dasarnya agama itu memberi manfaat, aplikatif di masyarakat meskipun tidak harus memakai ayat-ayat dalam penyampaiannya. Bahkan Romo Mudji Sutrisno juga memuji keindahan film ini. "Film ini mengisahkan tentang kesalehan yang sesungguhnya, kesalehan di pasar, di masyarakat," kata Romo Mudji. Memang, kesalehan di tempat ibadah sudah sangat biasa. Padahal kesalehan sesungguhnya adalah bagaimana seseorang mengaplikasikan religiusitasnya di tengah masyarakat, di dalam bisnisnya.

Betapa banyak orang yg taat ritual agama tetapi mereka tidak religius. Tidak cerdas spiritual.

"Saya memilih film sebagai karya seni yang harus digarap dengan sungguh-sungguh. Karena film saya sangat menonjolkan karya apik, maka segmen pasarnya juga terbatas," kata Garin. "Tiap produk itu ada pasarnya. Kalau ada sutradara "gila" maka pasti ada produser yang juga "gila". Begitu pula pasti ada segmen penonton yang "gila". Jadi saya tidak pernah khawatir bahwa film saya tidak laku," tambah pria kelahiran 1961 ini.

Film Rindu Kami PadaMu (Love and Eggs), meraih penghargaan sebagai film terbaik Asia pada Osian’s Cinefan Festival ketujuh di New Delhi, India, yang dilangsungkan pada 16-24 Juli 2005. Festival itu merupakan festival film terbesar di India yang diselenggarakan oleh majalah film tertua dan terkemuka di sana, Sinemaya, yang khusus mengulas film di Asia. Festival itu diikuti oleh 30 negara Asia dan dalam seksi kompetisinya antara lain menyertakan karya para sutradara dari Cina, Korea, Iran, dan Jepang.

Penghargaan sebagai The Best Film disampaikan dalam acara yang digelar di auditorium Sirifort, yang berkapasitas 5.000 tempat duduk, di New Delhi, Minggu (24/7).

Mengutip Kompas 25 juli 2005, Rindu kami PadaMu berkisah tentang kehidupan tiga orang anak di pasar kecil dengan berbagai persoalan orangtua. Masing-masing anak tersebut berusaha mencari orang-orang yang mereka cintai lewat telur, sajadah, dan kubah masjid.

Dalam berbagai kritik diberbagai media cetak, film itu dianggap sebagai film yang menggabungkan aspek seni dan hiburan yang terbaik yang dibuat Garin, yang selama ini berkonsentrasi ke film seni.

“Secara tematik, Rindu Kami PadaMu dipilih sebagai film terbaik karena aspek humanisme dan religiusitas sehari-hari yang menawarkan toleransi dengan bersahaja lewat kisah sederhana serta penuh humor yang langka dalam sinema dengan tema Islam,” demikian antara lain alasan dewan juri.

“Saya membuat Rindu Kami PadaMu dengan kisah humor bersahaja, karena film bertema Islam dalam 10 tahun terakhir yang muncul di festival-festival international selalu tentang kekerasan, kemiskinan, peran wanita, pengungsian, dan kehidupan generasi Islam di Eropa, disajikan tanpa humor. Islam menjadi keras dan tanpa humor,” kata Garin mengenai filmnya tersebut.

Karena sifat film-filmnya, segmen yang disasar Garin pun menjadi limited. Bedanya dengan Rumah Batik adalah kalau Garin sudah menemukan "lokasi" segmennya, Rumah Batik sampai sekarang masih dalam proses pencarian yang terus menerus. Ingat, "Semua produk itu ada pasarnya," kata Garin.

1 komentar:

  1. salam kenal, mas. film nya garin rindukami pada Mu memang hebat ya?

    BalasHapus