Rabu, 11 Juli 2007

Dilarang Bicara dengan Sopir


Alkisah, sebuah rombongan wisata sedang mengadakan perjalanan ke luar kota dengan menggunakan bus. Bus dengan penyejuk udara itu sepi, hening. Tidak ada seorang pun yang saling bicara atau bercanda. Keheningan itu rupanya tetap berlanjut ketika rombongan telah sampai di tujuan. Semua anggota rombongan tetap membisu, diam, hening. Rombongan lain yang juga piknik di tempat itu heran. Bagaimana bisa sebuah rombongan wisata begitu diam dan membisu padahal mereka BUKAN penderita tuna wicara.

Fenomena ini menemukan jawabannya ketika seorang pedagang asongan masuk ke bus tersebut. Rupanya di atas spion yg terletak di depan pengemudi terdapat tulisan "Dilarang Bicara dengan Sopir". Dan rombongan yang sedang wisata tersebut semua berprofesi sebagai sopir. Pantas saja...

Cerita ini memang hanya rekaan. Saya tidak tahu dari mana cerita ini berasal. Yang saya tahu istri saya lah yang menceritakan kisah itu.

Cerita di atas hanya ingin menggambarkan bagaimana sekelompok orang yang begitu taat dengan peraturan tanpa tahu konteks peraturan tersebut. Tepatnya mereka menganut mazhab tekstual, bukan kontekstual. Mereka tidak mau pusing mempelajari mengapa peraturan itu bisa muncul, bagaimana sejarahnya, bagaimana "asbabul wurud" nya (meminjam istilah agama), dan sebagainya. "Kalau bunyinya seperti itu ya kita harus taat persis dengan bunyinya," kata mereka.

Mereka memang tidak salah. Mereka hanya malas untuk mempelajari sebab turunnya peraturan tersebut. Jadi di mana pun, kapan pun, kalau ketemu dengan sopir ya kita dilarang bicara dengannya. Kasihan orang yang profesinya sopir. :)

"Saya mau mudik selama seminggu," kata saya menjawab seorang teman ketika melihat saya bawa tas tidak seperti biasanya. Ternyata jawaban saya yang begitu jelas dan lugas bisa menimbulkan multi tafsir. Multi tafsir muncul ketika ada yang bertanya hari apa saya balik ke Jakarta.

Perjalanan Jakarta-Solo menggunakan bis malam memakan waktu sekitar 12 jam. Kalau saya berangkat Senin malam maka sampai Solo Selasa pagi. Begitu pula sebaliknya. Di sinilah muncul masalah. Seminggu itu total kepergian saya atau seminggu itu saya berada di Solo. Kalau seminggu saya berada di Solo berarti total perjalanan mencapai 9 hari. Kejadian yang sangat sederhana ini saja bisa menimbulkan multi tafsir apalagi menyangkut yang lebih serius, apakah itu peraturan hukum, adat, apalagi peraturan agama...

Maka langkah yg paling elegan adalah saling menghormati tafsir orang lain.

Masalah salah tafsir ini saya punya kisah nyata yang cukup unik. Kejadiannya sudah lama. Dialami oleh sahabat saya yang berprofesi sebagai dokter. Ketika itu dia sedang bertugas di Timtim ketika masih jadi provinsi ke-27.

"Suatu hari datang seorang pemuda 26 tahun ke tempat praktek saya minta disunat," kata sahabat saya. Teman saya ini sangat heran. Di sana jarang sekali orang minta disunat apalagi yang minta sudah dewasa. Belum habis keheranan sahabat saya, pemuda tersebut berkata, "Betul pak dokter, saya minta disunat. Saya tidak takut."

"Kamu sudah pikir-pikir. Kamu benar-benar ingin disunat?"

"Sudah pak dokter. Saya betul-betul ingin sunat."

Karena tidak ada alasan untuk menolak keinginan pemuda tersebut, sahabat saya pun menyuruh dia datang lagi besuk pagi.

"Begini saja ya. Kamu datang lagi besuk pagi. Dan jangan lupa dicukur yang bersih ya..."

"Baik pak dokter. Terima kasih."

Esoknya sang pemuda pagi-pagi sudah datang ke tempat praktek. Kali ini dengan kepala yang gundul plontos, licin... :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar