Rabu, 25 Juli 2007

Persepsi


Saya masih ingat beberapa tahun lalu ada teman yang sedikit curhat kepada saya. "Ayah saya belum bisa setuju dengan pilihan saya, gimana ya?"

"Apa alasannya ayahmu tidak setuju dengan calon istrimu?" tanya saya.

"Dia orang Jawa," jawab sahabat saya dengan muka tertunduk.

"Memangnya kenapa dengan perempuan Jawa?" tanya saya keheranan.

"Ayah saya pernah melihat mbok-mbok di Pasar Beringharjo kalau (maaf) buang air sambil berdiri," teman saya menjawab sambil matanya melihat ke arah lain

Meski saya sangat kaget dengan alasan sang ayah tapi saya mencoba untuk menguasai diri. Rupanya sebuah peristiwa yang cuma dilihat sekali cukup untuk membentuk sebuah persepsi di benak sang bapak tentang sosok perempuan Jawa.

Di lain kesempatan peristiwa yang hampir sama juga dialami famili jauh paman saya. Ayah calon mempelai perempuan sangat tidak setuju kalau anaknya dinikahi laki-laki Jawa. Selidik punya selidik ternyata sang ayah melihat sebuah sejarah. Salah seorang perempuan tetangganya menjadi janda karena ditinggal pergi begitu saja oleh suaminya yang asli Jawa...

Persepsi memang jauh lebih dahsyat dibanding realitas.

Salah seorang teman saya begitu tergila-gila dengan mobil Eropa, khususnya BMW. Dia "alergi" kalau harus memakai mobil Jepang. Ternyata ketika ditanya apa alasannya, jawabnya sungguh di luar dugaan. "Kalau memakai BMW kita lebih dihormati. Kalau berhenti di gedung perkantoran, atau di hotel pasti pintunya dibukakan," jawabnya.

"Coba kalau kamu pakai Kijang, buka sendiri pintunya," sambungnya dengan enteng. Setelah saya runut sejarahnya rupanya dia contoh sosok yang post power sindrome. Dia pernah kaya raya tapi kemudian bangkrut karena kesalahannya sendiri. Orang ini sering wanprestasi. Maka satu-satunya jalan biar dianggap orang kaya ya... pakai BMW. Padahal BMW yang dia beli adalah mobil bekas, mudah rusak, sering masuk bengkel. Dan kalau pun dilego bisa Rp 70 juta sudah sangat bagus.

Padahal semurah-murahnya Kijang Innova harganya sudah di atas Rp 150 juta. Kalau Innova V Luxury 2.0 A/T sudah tembus di atas Rp 240 juta. Rupanya teman saya ini memang pinter mampermainkan persepsi orang.

Sebuah persepsi bisa dibentuk oleh sebuah pengalaman yang dialami oleh satu atau sekelompok masyarakat. Persepsi kita tentang orang Padang, Madura, Sunda, Ambon biasanya tidak jauh berbeda. Padahal kalau dilakukan pendataan realitasnya saya yakin tidak seperti persepsi kita.

Apa persepsi kita kalau melihat kantong pakaian seseorang ada bolpen Mont Blanc-nya? Ah, paling itu bajakan yang dibeli sekitar 50-100 ribu-an. Untuk yang ini saya yakin persepsi kita 80% benar. Mengapa? Karena bolpen Mont Blanc Meisterstück 149 Fountain Pen original harga diskonnya Rp 5.130.000 (harga normal Rp 6.860.000). Mana ada orang kita buat bolpen saja sampai juta-an...

Jadi persepsi itu memang bisa benar, tapi lebih sering salah. Nah dalam komunitas TDA ini persepsi juga berperan penting. Kalau kita membaca postingan yang sangat aktif di milis ini, mayoritas adalah postingan winning, kesuksesan, kenaikan omset, dll. Juga banyak postingan seremonial, foto bersama tokoh, cerita kesuksesan, dll. Pokoknya jadi pengusaha itu enak banget. Postingan seperti ini memang amat bagus untuk menggugah dan membentuk positive thinking.

Sangat jarang postingan yang berisi pelajaran unwinning, bangkit, tersandung, tertipu, dll yang sifatnya antisipasi. Maka yang terjadi kemudian adalah kekagetan bahwa menjadi pengusaha itu ternyata lebih banyak jatuhnya dari pada berhasilnya.

Dan fenomena yang dialami pak Jassin dan pak Endar adalah sebuah pucuk dari gunung es realitas yang sebenarnya dialami para member... wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar