Senin, 02 Juli 2007
Fratelli D'Italia
Ternyata selama ini lagu kebangsaan yang paling sering saya dengar bukan Indonesia Raya tetapi Fratelli D'Italia, lagu kebangsaan Italia. Setelah itu menyusul God Save The King, lagu kebangsaan Inggris. Khusus untuk tahun ini God Save The King masih menempati peringkat pertama lagu kebangsaan yang paling sering saya dengar. Mudah-mudahan nanti Fratelli D'Italia bisa menggeser God Save The king. :)
Lho, kok bisa? Apakah saya orang yang tidak nasionalis? Tidak juga. Fratelli D'Italia terdengar di telinga saya adalah konsekwensi saya seorang penggemar nonton balap mobil F-1. Bahkan di televisi mungkin Indonesia Raya terdengar tidak sebanyak Fratelli D'Italia.
Menurut saya balap mobil Formula-1 tidak hanya menyajikan adu kecepatan antar para pembalap tapi lebih kepada bagaimana sebuah tim menunjukkan kinerjanya. F1 menunjukkan bagaimana sebuah tim selalu bekerja dalam kondisi kritis. Setiap elemen tim TIDAK boleh membuat kesalahan, bahkan kesalahan yg sangat kecil. Bahkan "hanya" tukang bawa ban pun punya pengaruh terhadap hasil akhir setiap balapan. Seorang yang "hanya" membawa ban terlambat menyerahkan ban kepada pemasang ban ketika pitstop bisa menghancurkan semua skenario tim yang disusun sejak awal. Keterlambatan satu detik saja bisa berakibat sangat fatal.
Bekerja dalam kondisi kritis inilah yang menarik. Semua elemen tim harus bekerja dengan konsentrasi 100%. Bagaimana pun hebatnya seorang pembalap tapi kalau lolipop-man terlambat mengangkat tanda "go" maka nasib pembalap dan seluruh tim menjadi taruhannya.
Yang juga menarik adalah begitu sebuah tim berhasil dengan kemenangannya, maka yang diingat orang hanya lah sang pembalap. Saat ini yang paling saya ingat adalah Raikkonen, Massa, Hamilton, Alonso. Saya juga ingat sedikit Jean Todt (bos tim Ferrari) atau Ron Dennis (bos McLaren).
Bekerja dalam sebuah tim adalah juga bekerja dengan konsekwensi. Dalam sebuah tim memang ada orang yang harus ditonjolkan sebagai ujung tombak. Ujung tombak inilah yang akan diingat orang. Tetapi ingat, ujung tombak tidak ada artinya apa-apa kalau tidak ada badan tombak. Ujungnya saja tidak mungkin bisa melesat kencang kalau tidak ada yang memegang (badan tombak).
Yang sering jadi masalah adalah kebanyakan orang menginginkan kedudukan sebagai ujung tombak. Posisi ujung tombak memang posisi yang paling nyaman. Namun juga perlu diingat bahwa setiap orang punya potensi diri masing-masing. Menurut Roger Hamilton ada delapan tipe manusia (di kesempatan lain aja ya saya bahas). Nah kalau masing-masing kita mengenali karakter diri dan berjuang sesuai dengan karakternya, DIJAMIN pasti sampai pada posisi puncak.
Setiap organisai atau komunitas juga diperlukan ujung tombak. Ujung tombak inilah yang akan selalu menembus dan berhubungan dengan pihak lain. Dan konsekwensinya ujung tombak inilah yang paling dikenal. Tidak terkecuali dengan TDA. Tidak dapat dipungkiri TDA adalah sebuah komunitas dengan potensi yang sangat besar. Menurut saya saat ini sudah selayaknya ada ujung tombak yang harus disiapkan. Pertanyaannya mana yang didulukan, ujung tombaknya atau badan tombaknya?
Kerendahan hati untuk tidak terkenal dari "badan tombak" sangat diperlukan. Begitu pula sifat tidak sombong dari "ujung tombak" juga harus dijaga. Sampai saat ini saya masih terkesan dengan semboyan Korp Suply TNI-AD:
"Logistik memang tidak memenangkan peperangan tapi tanpa logistik perang tidak akan bisa dimenangkan."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar