Kamis, 30 Agustus 2007

Significant Others


Beberapa tahun lalu saya pernah mendengar ceramah dari Dr. Jalaluddin Rakhmat, seorang pakar komunikasi massa dari Unpad. Di ceramahnya dia menceritakan sebuah kisah nyata, yaitu percobaan yang dilakukan beberapa psikolog.

Dalam percobaan tersebut seorang yang sebenarnya sehat wal afiat "dikerjai" oleh beberapa orang yang mengatakan sebaliknya.

Ketika bertemu dengan seseorang di pintu masuk gerbang kampus, si manusia sehat tersebut ditanya, "Kamu sakit ya, matamu kok merah?" tanya orang pertama. Tentu saja dia menjawab "Nggak ah."

Ketika bertemu dengan orang kedua dia kembali ditanya, "Hidung kamu kenapa, kok berair. Kamu lagi flu ya?" Tentu saja orang ini menyangkal kalau dirinya sakit.

Begitu seterusnya ketika bertemu dengan beberapa orang dia selalu ditanya apakah sedang sakit. Akhirnya ketika banyak orang menanyakan apakah dirinya sakit, sugestinya mengatakan, jangan-jangan saya memang sakit. Keesokan harinya dia tidak datang ke kampus karena sedang sakit. Ya, dia benar-benar sakit. Sakit beneran.

Sahabat saya, seorang karyawan sebuah perusahaan kontraktor besar pernah ingin check up kesehatan jantungnya. Sebelum check up beberapa temannya sudah memperingatkan. Check up ini bisa baik tapi bisa juga berakibat buruk kalau sugesti kita tidak cukup pede. "Justru karena saya sehat gini saya pingin tahu kesehatan jantung saya. Siapa tahu sebenarnya ada masalah," jawabnya.

Sahabat saya ini memang pantas pede dengan jantungnya. Badannya atletis, dia sering olah raga, makanannya cukup bergizi. Namun hasil check up mengatakan sebaliknya. Ada sedikit sekali ganggung di jantungnya.

Ternyata gangguan kecil ini berakibat sangat fatal terhadap sugestinya. Dia sangat kaget dengan hasil pemeriksaan lab. Jantungnya tiba-tiba jadi berdebar-debar kencang. Dan tanpa tahu penyebab yang sebenarnya sahabat saya ini akhirnya benar-benar mengalami gangguan jantung. Dia drop. Keluar masuk rumah sakit, dan tidak ngantor selama berbulan-bulan. "Coba kalau dia tidak check up, pasti tidak begini jadinya," kata teman-temannya.

Pak Steve Sudjatmiko, Managing Partner Red Pyramid, konsultan HRD, pernah mengatakan di radio. "Ternyata 90% narapidana ketika ditanya apakah ketika kecil pernah ditakut-takuti tentang masuk penjara, jawabnya, YA."

"Kalau kamu berbuat ini dan itu kamu bisa masuk penjara lho. Kalau kamu nggak begini dan begitu kamu bisa masuk penjara," adalah penggalan kalimat yang sering didengar para narapidana. Dan yang mengucapkan kalimat tersebut adalah para Significant Others, orang-orang terdekat yang paling berpengaruh: Orang tua, kakak, adik. Kalimat yang sering diucapkan para Significant Others rupanya sangat berpengaruh dan masuk ke alam bawah sadar.

Jadi intinya kita mesti hati-hati dan memilih dengan siapa kita mesti bergaul. Supaya kalimat yang masuk telinga dan mengendap ke alam bawah sadar kita adalah kalimat positif yang mendukung sugesti kita, believe kita.

Mudah-mudahan Bu Doris bisa menemukan komunitas yang selalu mendukung langkahnya. Selamat memasuki "Hidup yang Lebih Baru"...

Selasa, 28 Agustus 2007

Sosialisasi


Beberapa waktu lalu Dirut Pertamina berbicara di depan kamera. Intinya masyarakat harus faham bahwa kalau dihitung per bulan pemakaian gas untuk memasak jauh lebih murah dari pada minyak tanah. Pemerintah juga faham bahwa membeli gas tidak bisa ngecer tiap hari sehingga masyarakat luas masih merasakan kalau memakai minyak tanah lebih murah dari pada gas. Tapi masyarakat diminta faham bahwa program konversi minyak tanah ke gas elpiji harus jalan terus.

Wah... wah, saya sempat sewot dengan pernyataan itu. Kok rakyat terus menerus diminta faham sih. Mbok ya sekali-sekali pemerintah yang faham kalau beban rakyat tiap hari kian sulit. Tiap hari harga susu naik. Minyak goreng tidak mau kalah tiap hari ikut merangkak naik. Gula idem dito.

"Wajar saja dirut Pertamina bicara seperti itu, wong gajinya mencapai ratusan jut per bulan. Tapi bayangkan rakyat yang nyari Rp 20.000 perhari saja ngos-ngosan. Gimana sih logika pejabat kita?" kata saya sambil marah-marah.

"Sabar mas. Sampeyan jangan sewot gitu dong. Wajar saja mereka seperti itu. Logika mereka nggak nyampe kalau diajak berfikir susahnya nyari Rp 20.000 perhari. Jadi kita mesti kasihan kepada pejabat kita yang cara berfikirnya sempit banget," teman saya mencoba menenangkan.

"Tapi kalau logika mereka nggak nyampe gimana bisa ngurus dan merasakan apa yang dirasakan mayarakat?" balas saya. "Itulah, mereka itu harus kita kasihani. Udah sekolahnya tinggi tapi berfikirnya.... " teman saya tidak jadi meneruskan argumennya karena hape-nya berbunyi.

Obrolan kami pun terhenti. Sampai disitu saya jadi benci dengan iklan layanan masyarakat tentang konversi ke gas elpiji. Apalagi dalam iklan itu ada testimoni dari masyarakat bawah kalau harga elpiji terjangkau masyarakat bawah. "Wah kita diapusi lagi," gumam saya dalam hati. Karena tayangan realita yang tersaji adalah makin panjangnya antraen minyak tanah. rakyat makin susah.

Hingga pada suatu pagi secara nggak sengaja dan sambil ngatuk-ngantuk saya mendengar talkshow di radio. Talkshow yang digawangi oleh mas Arif (kalau tidak salah) dengan nara sumber mbak Aviliani ini sangat menarik. Dengan sangat gamblang Mbak Aviliani menerangkan mengapa konversi minyak tanah ke elpiji adalah suatu keharusan.

Makasih ya Mbak Aviliani ...

Pemakaian minyak makin hari makin meningkat. Oleh para ahli diperkirakan cadangan minyak Indonesia paling lama cuma cukup untuk 10 tahun lagi. Sedangkan cadangan gas yang ada di Bumi Pertiwi masih bisa dipakai sampai 30 tahun lagi. Untuk BBM kita mesti impor jadi kalau harga minyak dunia naik maka BBM dalam negeri juga mestinya naik tapi pemerintah yang mensubsidi sehingga harga dalam negeri jadi "stabil". Kalau gas, Indonesia tidak perlu impor jadi cadangan devisa bisa dipakai untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat.

Harga minyak tanah yang wajar sebenarnya Rp 6.600/liter tapi pemerintah mampu mempertahankan hanya Rp 2.600/liter (kalau tidak salah). Jadi tiap liter pemerintah mesti subsidi Rp 4000. Bayangkan berapa triliun uang negara dihabiskan hanya untuk mensubsidi minyak tanah saja. Kalau biaya itu dipakai untuk pendidikan kan labih manfaat.

Penjelasan yang sederhana itu membuka pikiran saya, pemerintah sebenarnya benar. Tapi mengapa gerakan konversi ditolak rakyat? "Sampeyan saja baru faham sekarang, jadi wajar kalau rakyat juga tidak faham," kata Om Agung, tetangga saya yang biasa saya panggil "om" karena terbawa anak-anak saya yang memanggilnya "om".

"Masalahnya memang di sosialisasi," kata mbak Aviliani. Pemerintah kurang cakap dalam mensosialisasikan program konversi ini. Jadi wajar kalau ada penolakan di mana-mana. Bagaimana tidak protes kalau tiba-tiba disuruh ganti ke elpiji padahal sehari-hari sudah nyaman dengan minyak tanah. Alasan harus ganti ke elpiji tidak diterangkan. "Eh, jangan-jangan yang nyuruh ganti ke elpiji juga nggak faham mengapa mesti ganti ke elpiji," kata om Agung.

Menurut James Gwee, Jack Welch bilang, tidak sulit mengajak orang untuk berubah. Syaratnya kemukakan fakta dengan jujur. Beri mereka gambaran apa yang terjadi kalau tidak berubah. Dan beri proyeksi yang jelas apa yang akan diraih kalau mereka mau berubah. Kalau ini dilaksanakan maka mengajak orang lain untuk mengubah kebiasaan tidak lah sulit.

Senin, 27 Agustus 2007

Enaknya Tahu Pasar


Minggu kemarin kami meramaikan bazar yang diadakan RW dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan RI ke 62. Ceritanya dua minggu lalu pak RT datang ke rumah. Beliau minta saya ikut memeriahkan bazar RW dengan memajang produk busana yang semuanya Limited Edition. Pak RT meminta kami karena dari RT 06 baru satu orang yang sudah menyatakan bersedia memeriahkan bazar tersebut. "Dari RT kita masih kurang pesertanya pak," alasan pak RT meminta kesediaan kami.

Apa boleh buat. Kami tidak mungkin menolak permintaan pak RT. Disamping karena Beliau sudah kenal baik dengan saya, di RT 06 kami kan sudah dikenal buka toko busana. Jadi permintaan pak RT sangat logis.

Tetapi persoalan kemudian muncul. Menurut pengalaman saya, acara bazar yang diadakan di tempat terbuka, apakah kelasnya RW, kelurahan, kecamatan, bahkan tingkat kota sekali pun, biasanya punya kekhasan. Kalau EO-nya kurang berorientasi komersial, biasanya produk yang pas untuk bazar di tempat terbuka adalah makanan, minuman, dan permainan anak. Kalau ada produk non makanan maka yang bisa "masuk" adalah yang punya kisaran harga sepuluh ribu-an rupiah pas. Kalau pun lebih mahal kira-kira Rp 15.000 masih bisa masuk lah.

Wah, itu berarti produk saya sama sekali tidak madolke kalau untuk acara bazar. Padahal kami sudah terlanjur bersedia ikut serta. Tidak mungkin kami datang ke pak RT dan bilang kalau produk kami tidak cocok.

Beruntung istri saya punya "masa lalu" yang ternyata masih bisa diberdayakan untuk saat ini. Dia punya ide untuk menjual saja produk makanan yang diyakini disukai pengunjung. Setelah berembug dengan tetangga yang sehari-hari jualan makanan-minuman, istri saya memutuskan memajang rujak khas Solo, es buah, dan es jus. Supaya tidak repot dan tidak "kotor" ketika melayani pembeli, semua makanan tersebut dikemas ke dalam gelas plastik. Praktis.

Benar saja, produk yang kami pajang ludes dibeli. Rujak khas Solo adalah makanan yang termasuk paling digemari karena jarang ada di Jakarta. Bahkan ada tetangga yang sampai datang ke rumah karena yang mereka cari sudah habis.

Hampir semua produk makanan laris manis. Produk non makanan ada juga yang laris manis, yaitu kerudung yang dibandrol lima ribu perak pas. Seorang warga RT 04 yang nekat memajang busana muslim dengan indahnya akhirnya harus nyerah karena meski sudah dibanting Rp 50.000 per biji, tetapi untuk bazar kurang "kena".

Enak memang kalau kita tahu pasar yang akan dihadapi. Yah, itu semua memang perlu fly watch (kata Thukul).... :)

Jumat, 24 Agustus 2007

Kebiasaan


Beberapa waktu lalu di sebuah stasiun tv ditayangkan mengenai sekelompok pecinta alam yang bersiap mendaki gunung. Sebagai pendaki yang baik mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Semua kebutuhan penopang hidup mereka bawa serta. Dari mulai alat untuk tidur di alam terbuka sampai peralatan memasak yang cukup moderen tidak ketinggalan. Begitu pula dengan pakaian dan sepatu khusus untuk mendaki mereka kenakan. Alhasil semua anggota tim kelihatan cukup siap dengan kegiatan mereka. Punggung semua orang tampak berat dengan ransel besar yang bertengger.
Dengan langkah berat karena beban yang besar di punggung mereka pun mulai melangkah untuk menaklukkan impian mereka sampai ke puncak. Jalan setapak pun mereka lewati satu persatu. Semua sempurna, sesuai dengan rencana.
Tiba-tiba di tengah tayangan ada sebuah pemandangan yang cukup menggelitik. Sang kamerawan menangkap sebuah pemandangan eksotis yang kontras dengan kegiatan pendakian. Di tengah-tengah rombongan yang berjalan gontai karena beban di punggung yang mungkin kelewat berat, menyeruak seorang petani dengan gagahnya. Saya katakan gagah karena petani ini sangat "polos". Dengan berbagai hasil hutan yang sangat banyak dia sunggi di kepala, petani ini melangkah dengan cepatnya tanpa alas kaki. Dia juga tanpa pakaian pelindung, tanpa bekal, tanpa makanan, dan tanpa "beban". Dia melangkah seakan-akan tidak membawa apa-apa. Padahal saya sangat yakin kalau yang dibawa petani ini mungkin lebih berat dari pada yang dibawa sang pendaki.
Hanya satu kata yang bisa menerangkan fenomena ini, yaitu kebiasaan. Petani ini mungkin melakukan kegiatan ini tiap hari selama bertahun-tahun. Karena dilakukan berulang-ulang dan ajeg, maka perbuatan ini menjadi kebiasaan. Ketika sudah menjadi kebiasaan maka apa yang dilakukan sama sekali menjadi ringan dan "tanpa beban".
Apapun perbuatannya kalau dilakukan berulang-ulang dan terus menerus hal itu berubah menjadi kebiasaan. Dan perbuatan itu menjadi ringan.
Dalam bisnis juga demikian. Kalau kita melakukan penjualan produk dengan rutin dan berulang-ulang secara teratur maka apa yang kita lakukan menjadi ringan. Kalau kita secara rutin mengadakan silaturahmi maka melakukan kontak kepada teman-teman adalah sesuatu yang ringan dan tanpa beban.
Jadi yang perlu kita lakukan adalah membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik secara berulang-ulang, rutin, ajeg. Ingat, hal-hal yang baik. Kalau sudah menjadi kebiasaan maka susah untuk dihilangkan.
Maka sangat bisa dimaklumi mengapa berhenti merokok adalah sesuatu hal yang sangaaattt sulit... :)

Kamis, 23 Agustus 2007

Sensational


Pagi tadi saya tergelitik dengan sebuah iklan di radio. Menurut saya iklan ini sungguh sensasional. Mereka mengerti betul apa yang dibutuhkan calon konsumennya dan "menembak" konsumennya tepat di jantung pikirannya.

Apa yang mereka lakukan, menurut Hermawan Kartajaya, mirip dengan seorang sniper. Untuk sebuah peluru harus tepat sasaran. Bukan menembak dengan senapan otomatis yang obral peluru tanpa tahu dengan pasti musuh sebenarnya ada di mana.

Iklan itu berbunyi, yang intinya (karena saya tidak hafal teksnya), kalau Anda menginginkan sebuah pendidikan yang menjamin mahasiswanya pasti mendapat pekerjaan sesuai bidangnya, kami ahlinya.

"Buat apa kuliah biasa-biasa saja. Di tempat kami dijamin semua mahasiswa mendapat pekerjaan yang sesuai. Jaminan ini bukan hanya jaminan biasa. Jaminan kami disahkan di depan notaris. Setiap mahasiswa dan pihak sekolah akan menanda tangani surat perjanjian yang disahkan notaris. Kalau mahasiswa tidak mendapat pekerjaan setelah lulus, maka semua uang kuliah yang sudah dibayarkan dikembalikan 100%."

Luar biasa. Baru kali ini ada penawaran yang begitu berani, sensasional. Saya sangat yakin Sekolah Tinggi ini pasti dibanjiri mahasiswa.

Saya pernah membuat iklan yg menurut saya cukup sensasional, dan cukup berhasil. Sekarang iklan saya mulai kurang optimal. Saya harus bikin sensasional lain lagi. Minggu kemarin ada teman yang menawari saya untuk memasarkan busana eksklusif. Saya tertantang untuk membuat iklan sensasional lagi....

Selasa, 21 Agustus 2007

Owner, Leader, Manager


Tadi pagi di Smart FM James Gwee menerangkan perihal Owner, Leader, dan Manager. Menurut James ada perbedaan mendasar antara ketiga kategori tersebut. Tetapi seseorang bisa melakoni dua peran sekaligus. Dua peran yang bisa dilakoni seseorang adalah owner dan leader. Nah kalau sampai manager dilakoni juga, wah... kebangetan. Orang tidak akan bisa freedom kalau dia juga memerankan manager sekaligus.

Owner adalah pemilik dana yang menanamkan uangnya pada sebuah usaha. Sebagai pemilik dana maka sangat wajar kalau dia mengharapkan return yang lebih baik dari rate perbankan. Kalau bagi hasilnya sama dengan bank buat apa capek-capek investasi. Lebih baik taruh aja di bank, dia bisa tidur nyenyak tidak memikirkan resiko apa-apa.

Maka kalau ada owner yang cerewet tiap hari selalu menanyakan omset, profit, pertumbuhan usaha adalah sangat wajar karena dia pemilik uang. Sebagai pemilik modal wajar kalau dia mengharapkan bisnisnya cepat-cepat balik modal. Dananya kembali plus keuntungan yang jauh lebih baik dari bunga bank.

Leader adalah orang yang mempunyai visi kemana bisnis ini mau dibawa. Dalam 10 tahun mendatang apa yang harus terjadi dengan perusahaan ini, mau berkembang atau kembang-kempis. Perubahan-perubahan apa yang harus dilakukan di tengah jalan supaya bisnis tidak ketinggalan zaman. Seorang leader haruslah orang yang visioner, mampu melihat lima-sepuluh tahun ke depan.

Adapun manager adalah orang yang memimpin tim, membawa karyawan menuju arah yang sudah digariskan leader. Ibarat tentara manager adalah komandan yang berada di tengah-tengah pasukan. Dia harus membawa pasukan meniti jalan yang sudah digariskan panglima. Manager day-to-day harus selalu berada di lapangan, berada di kantor. Dia harus bisa menerjemahkan visi sang leader. Kalau dalam dunia perfilman, manager adalah sutradara yang harus mampu menerjemahkan skenario yang dibuat penulis naskah menjadi sebuah karya elok nan memikat.

Nah, kita sebagai sebagai owner sering juga merangkap sebagai leader. Maka tidak heran kalau sang owner di tengah jalan mengubah settingan bisnisnya padahal settingan yang sekarang sebenarnya masih sangat available. Dia mengubah karena sebagai leader bisa melihat dalam waktu tidak lama lagi settingan yang sekarang sudah tidak bisa lagi menjawab tantangan pasar.

Yang tidak direkomendasikan adalah kalau tiga peran itu dipegang sekaligus. Kalau sampai owner juga berperan sebagai manager, biasanya pengetahuannya akan mandeg. Dia terlalu sibuk dengan urusan harian sampai-sampai tidak sempat memikirkan apa yang akan terjadi dengan bisnisnya 5 tahun ke depan.

Masalahnya, kalau bisnisnya baru mulai jalan, belum sanggup manggaji manager, apakah harus dipaksakan merekrut manager? Ah, bagi saya sih nggak masalah semua peran dipegang sekaligus asal jangan lama-lama. Kalau sekarang sih saya sudah bukan manager lagi. Lho, berarti saya sudah bisa menggaji manager? maybe, karena yang jadi manager adalah... istri saya. :)

Senin, 20 Agustus 2007

My Team

You Are
by Dolly Parton

........... dihapus

You are my inspiration,
you are the song I sing
You are what makes me happy,
you are my everything
You are my daily sunshine,
you are my ev'ning star

Ev'rything I'll ever need or want, that's what you are
Ev'rything I'll ever need or want is what you are

You are my thoughts when I'm awake, my dreams when I'm asleep
You are the reason for my smile, you are the words I speak

Every role I play in life you play the leading part
Ev'rything I'd ever hope to find is what you are
Ev'rything I'd ever hope to find is what you are

...............



Dari kiri: Adi (9), Ridwan (10), Salman (5), Faqih (7)

Kamis, 16 Agustus 2007

Rumput Tetangga


"Wah enak ya jadi guru di Jakarta. Gubernurnya peduli pendidikan, sehingga tiap guru di DKI diberi tunjangan di luar gaji Rp 2 juta per bulan," kata tetangga saya, seorang guru di Bekasi yang gajinya hanya standar guru.

"Enak gimana? Memang sih pemerintah sudah baik hati. Tapi kami jadi dituntut harus serius jadi guru. Coba hitung, rumah di Bekasi, ayam belum berkokok kami sudah harus berkemas. Transport, makan, beli buku-buku, dan lain-lain. Malam hari baru sampai rumah lagi. Di rumah mesti periksa pekerjaan murid-murid dan baca buku guna meningkatkan ilmu. Lalu kapan kami bisa istirahat? Kalau sekolahan di Bekasi sih enak..."

"Kalau gitu enak jadi karyawan. Pagi berangkat malam sampai rumah lagi. Di rumah bisa langsung istirahat, nggak perlu periksa pekerjaan murid-murid dan belajar buat materi esok pagi. Akhir bulan tingga terima gaji."

"Kelihatannya sih enak tapi masa depan perusahaan kan tidak pasti. Tiap saat bisa di golden shake hand kan. Yang parah kalau golden-nya tidak ada seperti yang sering terlihat di televisi, ada ribuan karyawan yang harus demo menuntut hak-haknya. Kalau jadi PNS kan enak. Tidak ada pengurangan pegawai. Apalagi saat ini dunia perekonomian sedang guncang, IHSG merosot tajam karena kena pengaruh The Fed dan bursa di Amerika sana." kata seseorang di sebuah kantin yang kelihatannya fasih bicara The Fed segala. Padahal lebih banyak yang bingung apa sih pengaruh Fed terhadap harga minyak goreng di sini yang terus meroket.

"Lebih enak jadi rekanan. Kalau sudah "akrab" dengan orang dalam orderan tidak pernah berhenti. Keuntungan sudah kelihatan di depan mata. Tidak perlu capek-capek cari pekerjaan. Yang dilakukan cuma jalan-jalan, makan-makan di cafe, lobby sana-sini. Menemani clubbing, meng-entertain orang kunci. Pokoknya kerjaannya cuma senang-senang, dapat uang."

"Apanya yang enak? Bertahun-tahun saya pernah jadi rekanan, stres. Bayangkan saja sendiri, kita harus rutin menyediakan "oli" (maksudnya pelicin lho) supaya selalu dapat info terbaru proyek-proyek apa saja yang bakal "ditawarkan". Meski kita sudah rutin mengirim "pelumas" tidak ada jaminan kita mendapat rezeki karena yang mengirim "upeti" itu buanyak. Jadi ya ada unsur untung-untungan. memang sih kalau kita sudah lebih akrab, kans buat menang lebih besar," kata tetangga saya yang sudah lama jadi rekanan sebuah kantor gubernuran.

"Kalau akhirnya kita yang memenangi sebuah proyek, kita harus memberi "hadiah" di depan. Jadi kita mesti keluar dulu "fee". Nilai "fee" itu bisa sangat signifikan dengan nilai pekerjaannya. Kalau pekerjaan sudah klar pembayarannya bisa makan waktu bulanan. Nah ketika pembayaran mau cair kita diminta datang sambil jangan lupa memberi ucapan "terima kasih". Ini kalau lancar. Tapi kalau tiba-tiba pemegang wewenangnya diganti mendadak... wah capek deh. "Hadiah" yang sudah keluar di depan, proyek bisa tiba-tiba beralih kepada orang yang lebih akrab dengan pejabat baru. Hilang semuanya. Saya pernah mengalami itu." tambah tetangga saya.

Paling enak jadi pengusaha. Dia bisa masuk kantor sesuka hati. Seharian baca koran juga nggak ada yang melarang. Tinggal perintah sana-sini. Tidak ada yang memerintah dia. Ke luar kota kapan saja tidak perlu izin. Seharian main tenis juga oke. Meski cuma ongkang-ongkang, pendapatannya paling banyak. Fasilitasnya paling wah. Pokoknya pede banget deh.

"Kalau jadi pengusaha paling enak mengapa rasio pengusaha dibanding penduduk sangaaattt sedikit. Mengapa lebih banyak yang enggan jadi pengusaha?" kata... temannya teman saya

Dari tadi yang dibicarakan kok tidak ada rasa sukurnya...

Bicara rasa sukur saya kok jadi ingat dengan kecantikan perempuan. Di televisi, alam bawah sadar kita selalu digempur dengan pernyataan bahwa perempuan yang paling cantik adalah kulitnya paling putih. Semakin putih semakin cantik.

Yang kemudian terjadi adalah banyak yang berusaha membuat seputih mungkin wajahnya. Banyak produk pemutih digelontorkan ke pasar. Aneka trik pemasaran jadi menarik untuk disimak dan dikaji. Bahkan sebuah produk sengaja memajang perempuan Jepang sebagai tolok ukur putih yang cantik. "Memangnya yang putih cuma Jepang," kata produk sabun pemutih.

Ternyata di Jepang sendiri ukuran kecantikan perempuan adalah semakin sawo matang semakin cantik. Perempuan Jepang paling bangga kalau kulitnya sawo matang. Mereka beramai-ramai berjemur demi mendapatkan warna sawo matang.

Lho.............???

Selasa, 14 Agustus 2007

Seandainya Kita Siap


Minggu lalu ada pengumuman lewat pengeras suara dari masjid di kompleks tempat tinggal saya. "Dalam rangka pemeliharaan rutin gardu PLN maka besuk pagi mulai jam 8.00 hingga 16.00 akan diadakan pemadaman aliran listrik. Harap menjadi maklum dan maaf atas ketidak nyamanan ini."

Kontan saja pengumuman ini membikin ribut semua penghuni di RW 9 tempat kami tinggal. Meski banyak yang protes dan nggrundel tapi seluruh penghuni mengadakan persiapan untuk "menyambut" kondisi tidak enak yang akan datang esok pagi. Semua benda yang tidak bocor dan bisa menampung air kami maksimalkan untuk menyimpan kebutuhan pokok setiap makhluk hidup ini. Tidak hanya penampungan air yang kami penuhi tapi juga semua ember baik plastik maupun berbahan seng semua diisi. Beberapa ember bekas yang sudah lama tidak terpakai, kotor, sobek bagian atasnya tidak disia-siakan. Pokoknya semua bejana dipenuhi air.

Anak-anak saya pun diminta untuk tidur lebih awal supaya besuk bisa lebih mudah dibangunkan. "Besuk ada apa sih Bu?" tanya anak saya ketika kami suruh mereka untuk tidur tidak seperti biasanya. "Besuk kita mau jalan-jalan ya?" tanya yang lain. "Asyik, besuk kita jalan-jalan," adiknya langsung menyimpulkan tanpa konfirmasi dulu. Tentu saja jawabannya adalah besuk pagi listrik mati, kita harus cepat mandi, semua baju cepat dicuci, dst. Kalau semua sudah selesai kita bisa langsung penuhi lagi bak air supaya kita siap kalau sewaktu-waktu memerlukannya.

Upaya kami dalam rangka menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan ini membuahkan hasil. Semua anak-anak dengan mudah bisa dibangunkan subuh. Semua keperluan rutin kami bisa diselesaikan labih pagi dari biasanya. Alhasil ketika jarum jam mulai merambat ke angka delapan kami pun tidak khawatir. Dengan persiapan yang sudah dilakukan kami pun siap dengan kondisi "buruk". "Silahkan kalau sekarang listrik mau padam," gumam kami.

Ketika waktunya tiba ternyata listrik tetap menyala. "Ah biasa, ngaret," kata tetangga mengomentari mengapa televisi masih bisa dinyalakan. Ketika jarum jam menunjukkan angka 10 ternyata kulkas masih juga menyala. Kami pun heran dan mulai menyalahkan pengumuman kemarin. "Kalau meyangkut hajat hidup orang banyak jangan main-main dong," gumam saya kepada istri. "Gimana sih, listrik tidak mati kok malah sewot," jawab istri saya. Betul juga istri saya ya...

Ketika Matahari pelan-pelan mulai codong ke barat ternyata apa yang kami tunggu tidak juga tiba. Listrik tetap saja berfungsi normal. Tidak ada kejadian apa-apa. Meski kami senang tapi ada kekhawatiran jangan-jangan matinya besuk, bukan sekarang, atau aliran dimatikan esok lusa. Terserah saja ah, kami pun pasrah.

Ketika kejadian ini saya ceritakan kepada teman dia malah bertutur. Kita harusnya sangat bersyukur kalau kita tahu kapan akan mengalami kejadian yang tidak diharapkan. Bahwasanya kejadian itu batal terjadi itu adalah anugerah. Kita bisa bayangkan apa yang dirasakan saudara-saudara kita ketika tiba-tiba rumah mereka hilang terkena banjir. Kita juga bisa membayangkan perasaan mereka tatkala melihat anggota keluarganya tiba-tiba "dipanggil" Sang Khalik. Semuanya mendadak, tanpa persiapan sama sekali...

Tiba-tiba saya teringat oleh penggalan syair Masih Ada Waktu-nya Ediet G Ade yang dibuat pada 1988
.......
Yang terbaik hanyalah
Segera lah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu.....

Senin, 13 Agustus 2007

Masa Sulit itu Tidak Ada


Apakah judul tulisan ini tidak realistis? Barangkali, ya. Mana mungkin masa sulit itu tidak ada. Bagaimana kalau kita melihat pertumbuhan negatif, kesulitan keuangan yang semakin dalam, pasar yang menciut, kehilangan kepercayaan karyawan, pemegang saham, dan masyarakat luas. Ini kan tanda kalau sebuah usaha sedang mengalami masa sulit dan terancam gulung tikar kalau tidak segeran dibenahi?

Memang harus segera dibenahi kalau tidak ingin kondisi seperti di atas terus berlarut-larut. Tapi bagaimana kita bisa membenahi kalau "amunisi" yang diperlukan untuk membenahi tidak ada? Apakah hanya cukup dengan mengutak atik angka?

Roy Sembel punya resep untuk mengatasi masa sulit itu. Mengapa tidak belajar dari keputusan-keputusan besar para CEO handal untuk membawa perusahaan yang mereka pimpin keluar dari masa sulit? Ingin tahu rahasianya?

Perusahaan yang sakit umumnya ditandai dengan "pendarahan" hebat dalam bidang keuangan. Berikut adalah strategi yang bisa kita teladani dari Elaine Chao dari United Way of America.

Elaine Chao yang ditugaskan untuk menyelamatkan United Way of America dari keterpurukan menempatkan reformasi keuangan sebagai prioritas utamanya. Tindakan yang dia lakukan untuk mereformasi keuangan organisasi yang pada waktu itu bermasalah antara lain dengan cara memangkas biaya tanpa membuat organisasi ini menjadi kelaparan dan makin terpuruk. Elaine Chao memberlakukan reformasi ini tidak saja terbatas pada jajaran di bawahnya tetapi juga pada dirinya sendiri.

Misalnya, Chao memangkas sepertiga staf kantor pusat yang membengkak dan mewajibkan penggunaan tiket kelas ekonomi untuk semua perjalanan dinas (termasuk untuk dia sendiri). Dia juga memperkenalkan sistem anggaran baru dengan prosedur pertanggung jawaban yang jelas yang belum pernah diterapkan sebelumnya. Langkah selanjutnya adalah memangkas unit-unit bisnis yang tidak berprestasi sehingga bisa memfokuskan diri pada pengembangan unit-unit binis yang sehat. Fokus pada bisnis inti dan divestasikan bisnis yang tidak berhubungan.

Hakekat dasar dari setiap jenis usaha adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan tidak ada yang akan mendukung bisnis tersebut. Michael Teng, pebisnis yang dijuluki sebagai penyelamat perusahaan sakit, bahkan menekankan bahwa seorang pemimpin bisnis perlu berkomunikasi secara teratur dengan karyawan, pelanggan, pemegang saham, pemasok, bangkir, dan semua pihak terkait.

Upaya menghentikan pendarahan dan membangun kepercayaan tidaklah cukup. Kedua strategi ini perlu ditunjang dengan upaya penyusunan kekuatan yang bisa membawa perusahaan untuk tinggal landas meraih kemenangan. Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengungkapkan bahwa untuk membawa perusahaan menjadi perusahaan pemenang, seorang pimpinan perlu memilih dengan hati-hati tim inti yang akan menjadi pendukungnya. Setelah itu barulah bisa ditentukan bersama langkah strategis yang bisa diambil sebagai upaya pemulihan.

Perusahaan akan kuat jika didukung oleh orang-orang yang kuat karena orang-orang seperti ini sesuai dengan kualitasnya bisa lebih mudah menerjemahkan visi yang telah ditentukan, dan umumnya telah memiliki motivasi internal untuk sukses.

Anda masih bingung dengan tulisan Roy Sembel yang saya cuplik secara acak-acakan ini? Kalau begitu sama dengan saya. Tapi ada yang membuat saya sangat terkesan dengan kiat menghadapi masa sulit.

Mario Teguh di JakTV mengatakan, "Masa sulit itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah kita masih memakai cara lama untuk menghadapi situasi yang kondisinya sudah berbeda. Cara lama yang kita anggap sukses ternyata sudah tidak manjur lagi, maka kita mengatakan itu masa sulit."

"Itu sebenarnya bukan masa sulit. Itu hanya menyangkut cara menghadapi kondisi yang berbeda. Maka untuk kondisi yang berbeda, gunakan cara yang berbeda pula. Maka masa sulit itu otomatis menjadi tidak ada." Bagi saya ini adalah jawaban singkat yang sangat akurat. Langsung nyantol di kepala saya...

Kamis, 09 Agustus 2007

Puskesmas Pro Anak


Anda masih ingat dengan kalimat, "Awas jangan nakal ya. Kalau nakal nanti disuntik pak dokter." Kalimat yang dulu sering terdengar di telinga anak-anak membuat banyak anak sering ketakutan kalau harus ke dokter. Dokter adalah musuh anak. Dokter adalah memedi.

Tadi pagi di acara Good Morning TransTV ada satu tayangan menarik tentang dokter dan tempat prakteknya. Di Pasuruan para tenaga medis Puskesmas Kandang Sapi (ini nama kampung) Pasuruan punya kiat menarik membuat puskesmas jadi sahabat anak-anak.

Kalau anak-anak biasanya cenderung rewel dan takut kalau harus ke puskesmas maka anak-anak di Kandang Sapi cenderung senang berlama-lama di puskesmas. Di tempat kesehatan bagi masyarakat tersebut disediakan berbagai mainan anak-anak. Jadi baik anak yang masih harus menunggu dipanggil dokter maupun anak yang sudah selesai diperiksa tapi masih harus menunggu obat dibuat senang. Mereka tidak bosan kalau harus menunggu.

Para orang tua juga sangat senang dengan kiat para pengelola puskesmas. Upaya kreatif mereka telah membuahkan hasil. Mereka jadi dicintai masyarakat. Ibarat bisnis upaya marketing tenaga medis telah menemukan hasilnya. Dan puskesmas dengan "hanya" ditambah mainan anak ini ternyata baru satu-satunya di Indonesia... Luar biasa. Mengapa yang lain tidak terfikir ya untuk berkreasi seperti itu.

Ternyata kreatifitas puskesmas Kandang Sapi tidak hanya pro anak tapi juga pro akupunktur.
Teknik pengobatan akupunktur dikenal mahal. Hanya kelompok masyarakat tertentu yang mau memanfaatkan model pengobatan ini. Tapi Puskesmas Kandang Sapi, Pasuruan menawarkan akupunktur dalam salah satu pelayanan poli klinik mereka.

Puskesmas Kandang Sapi di Pasuruan ini tidak hanya berani menyediakan layanan akupunktur. Puskesmas ini juga berusaha menepis anggapan bahwa akupunktur selalu mahal. Caranya, biaya pengobatan dengan metode akupuntur ditetapkan dengan standar tarif puskesmas.

Menurut Nur Layla, Kali pertama didirikan, pasien poli akupuntur bisa dihitung dengan jari. Bahkan pernah dalam sehari tidak ada satupun pasien yang datang. Tapi keinginan Puskesmas Kandang Sapi memasyarakatkan model pengobatan akunpunktur tidak pernah kendor. Sebab, mereka memaklumi jika masyarakat masih dihantui dengan animo tentang mahalnya biaya yang harus dikeluarkan jika mereka memilih berobat dengan akupunktur.

Setahun berjalan, pengobatan akupunktur mulai dikenal. Tarif bertaraf Puskesmas yang diterapkan di Puskesmas Kandang Sapi ini mulai digemari dan menjadi jujugan pasien. Utamanya mereka yang ingin melakukan perawatan kecantikan. Mulai dari perampingan, kecantikan wajah, mencegah kekeriputan, uban, ataupun kerontokan.

Saking besarnya antusias masyarakat terhadap pengobatan akupunktur di Puskesmas Kandang Sapi, dokter spesialis akupunktur harus rela lembur. Bahkan jika jumlah pasien sehari mencapai 20-30 orang, kepulangannya mundur hingga pukul 15.00.

Hanif, salah seorang pasien langganan yang aktif terapi pengobatan di poli akupunktur Puskesmas Kandang Sapi mengaku sudah merasakan kelebihannya. Itu sebabnya, dia sudah tidak bisa meninggalkan terapi yang didampingi oleh dr Retno. Mulai dari pengobatan penyakit, hingga kecantikan.

"Hasil akupunktur sudah banyak yang saya rasakan. Ternyata tidak harus bayar mahal untuk bisa mengikuti terapi akupunktur. Di puskesmas, atau di klinik luar model terapinya sama. Saya tidak pernah meragukannya," terang Hanif dengan mimik puas.

Kreatif, memberi solusi, membuka peluang...

Rabu, 08 Agustus 2007

Torakur

Anda masih ingat dengan Buah Semangka Berdaun Sirih? Penggalan syair lagu berjudul Aku Begini Engkau Begitu itu memang sangat populer di tahun 80-an. Ya, lagu ciptaan Rinto Harahap itu dipopulerkan oleh mendiang Broery Pesolima atau Broery Marantika.

Lagu itu pada masanya menginspirasi banyak orang. Kalau ada yang berselisih pendapat tentang suatu masalah dengan mudah mereka mengatakan, "Mana mungkin Buah Semangka Berdaun Sirih," untuk menunjukkan bahwa argumen lawan bicaranya tidak masuk akal.

Begitu juga kalau argumen sang suami di mata istrinya sama sekali tidak logis, maka ungkapan mana mungkin
Buah Semangka Berdaun Sirih kerap terdengar oleh tetangga sebelah. Begitu pula kalau ada cowok yang cintanya ditolak oleh cewek, maka temen sang cowok suka menggoda dengan ucapan Buah Semangka Berdaun Sirih. Nggak mungkin bisa mendapatkan cinta dari sang pujaan. Kasihan...

Tapi apakah benar bahwa
Buah Semangka Berdaun Sirih tidak mungkin terjadi? Bagi kebanyakan orang memang mustahil. Tapi bagi orang yang berpikiran "gila" hal itu bisa saja terwujud. Minimal bukan dalam arti harfiah tapi secara substansi.

Kira-kira dua hari lalu saya melihat berita siang di Trans7 (kerjaan saya kok banyak nonton TV ya, hehe). Ada yang sangat menarik di liputan itu. Di Banyumas Bu Ngesti dkk memproduksi makanan yang disebut Torakur. Torakur adalah singkatan dari Tomat Rasa Kurma. Ya, di kota itu ada home industry kreatif yang mampu menciptakan hal baru. Buah tomat asli bisa disulap jadi buah yang rasanya seperti kurma. Tidak hanya rasanya saja tapi penampilannya juga persis dengan kurma yang asli Arab sana.

Setelah saya telusuri ternyata usaha itu bukan baru dimulai tapi sudah ada sejak 1998. Jadi sudah hampir 10 tahun ada produk kreatif yang luput dari hingar bingar liputan kegiatan bisnis. Inilah salah satu kelemahan kita.

Di harian Suara Merdeka 4 Maret 2005 ditulis, makanan ini mulai dikenal sejak puasa 1998. Pada saat itu harga kurma melambung tinggi.

Oleh karena itu, sejumlah pembuat makanan melakukan improvisasi dengan membuat torakur. Salah satu pusat pembuatan torakur adalah Desa Kradenan, Kecamatan Mrebet. Di desa tersebut produsen torakur tergabung dalam Kelompok Petani Kecil (KPK) Sumber Sri Rejeki yang berada di wilayah RT 3 RW 1.

"Makanan ini cukup digemari apalagi pada bulan Puasa karena rasanya hampir sama dengan buah kurma,'' kata Ny Murtinah, ketua kelompok tersebut. Satu buah Tomat bisa menjadi satu Torakur. Proses pembuatannya juga sederhana.

Produk torakur tidak hanya dijual di pasaran lokal. Bahkan produk itu juga sudah dijual hingga ke Medan, Lampung, dan Sulawesi. Belakangan sejumlah pedagang dari Bumiayu dan Tegal juga ingin memasarkan produk makanan itu. ''Saya jamin rasanya sama dengan kurma,'' katanya.

Luar biasa, kreatif, memberi solusi. Foto Torakur yang ada di tulisan ini saya ambil dari Tabloid Nova yang ternyata juga tertarik untuk mencoba resep Torakur...

Senin, 06 Agustus 2007

Hitung Mundur

Bagi banyak TDAers bulan Puasa dan Lebaran adalah masa-masa panen. Betapa tidak, banyak rekan-rekan TDAers yang bidang geraknya adalah garmen. Dan garmen ini memang mencapai puncaknya pada bulan Puasa-Lebaran. Tidak jarang, omset pada satu bulan ini bisa dipakai untuk membiayai kelangsungan usaha selama satu tahun ke depan. Wow... dahsyat.

Omset satu bulan yang bisa dipakai untuk hidup satu tahun ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pedagang Tanah Abang. Selama puluhan tahun siklus ini terus berulang terus menerus. Jadi bagi para saudagar yang settingan usahanya sudah pas, mereka sudah bisa menghitung berapa laba yang akan dituai pada bulan keemasan ini.

Tapi yang namanya bisnis, siklus yang sudah teratur selama puluhan tahun ini ternyata tidak selalu pas dengan hitungan. Selalu ada deviasi antara target dengan realitas. Dan biasanya realitas lebih tinggi dibanding target. Jadi, betapa enaknya bisnis garmen.

Namun, seperti yang diucapkan Bob Sadino, bisnis itu tidak linier. Pola perubahannya cukup tinggi. Tidak seperti hitungan akuntansi atau perkiraan para pengamat. Kadang perkiraan bisa bertolak belakang dengan kenyataan. Jadi mirip dengan ramalan cuaca. Ahli cuaca mana pun tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi 10 jam ke depan. Yang bisa mereka sampaikan hanya perkiraan saja. Jadi kalau salah ya wajar, wong namanya perkiraan.

Bisnis dan ramalan cuaca, kok jadi mirip ya. Tidak ada kepastian yang bisa dihitung di depan. Orang sekaliber pak Haji Alay saja sampai sekarang juga tidak bisa menghitung dengan pasti berapa omsetnya pada Puasa-Lebaran nanti. Yang bisa dilakukan hanya memperkirakan keadaan berdasarkan kecenderungan saat ini. Jadi ya tetap saja perkiraan yang linier. Kalau dalam grafik yang dilakukan adalah meng-ekstrapolasi titik-titik informasi yang didapat.

Tapi bagi orang yang bergerak di ilmu-ilmu dasar, seperti Fisika Teori, segala kejadian di dunia ini sebenarnya bisa dihitung dengan pasti, fixed. Hanya saja, masalahnya, sangat banyak variabel di dunia ini yang saling mempengaruhi, saling berinteraksi. Saking banyaknya kita tidak bisa menghitung ada berapa banyak variabel yang terlibat. Artinya kalau jumlah variabel saja tidak tahu dengan pasti, bagaimana itu bisa dihitung? Jadi ya sami mawon. Realitasnya bisnis dan ramalan cuaca ada kemiripan pola. Tidak linier dan fluktuatif.

Untuk kasus bulan Puasa dan Lebaran tahun kemarin, pasar garmen di Indonesia, kata Pak Haji, berada pada titik nadir, terendah yang dialami Indonesia selama seperempat abad ini. Saya sama sekali tidak menakut-nakuti lho. Saya hanya mengatakan berarti tahun ini "roda" garmen sudah bergerak ke atas kembali.

Tulisan saya yang nggak ada juntrungannya ini sebenarnya maunya apa sih? Saya sendiri juga bingung mau nulis apa. Saya hanya ingat Kamis minggu lalu di acara The Art of Business with Mario Teguh dikatakan, apa yang kita inginkan harus diimbangi dengan hitung mundur.

"Kalau kita ingin punya laba Rp 100 juta pada Desember 2007, kita harus bisa hitung mundur, berapa laba perbulan kita sekarang supaya pada Des 2007 bisa mencapai 100 juta. Jangan pernah menurunkan target karena melihat yang kita hasilkan sekarang. Tapi naikkan terus income saat ini supaya bisa tembus Rp 100 juta pada Des 2007."

Wah kalau berdasarkan grafik ekstrapolasi yg linier, kayaknya tidak mungkin bisa mendapat laba Rp 100 juta pada Desember 2007. Lebih baik saya menganut grafik eksponensial saja. Grafik seperti ini, kalau mencapai titik kritis... wusssh

Anda bingung? Sama dong :)

Kamis, 02 Agustus 2007

Di Balik Logika Terbalik

Ada yang menarik di MetroTV Kamis siang kemarin. Polisi baru saja menggrebek pesta shabu-shabu di kantor LSM Gencar. Kalau polisi menangkap pelaku pesta narkoba mungkin sudah biasa. Tapi kalau yang ditangkap adalah aktivis Gencar memang luar biasa. Ini baru berita. News ini mungkin bisa masuk kategori yang di kalangan wartawan suka disebut "orang menggigit anjing". Artinya, masuk kategori sangat menarik dan layak diberitakan.

Anda baru tahu LSM Gencar? Sama dengan saya. Mudah-mudahan saya tidak salah dengar bahwa nama LSM itu memang Gencar. Gencar merupakan singkatan dari Gerakan Cirebon Anti Narkoba. LSM itu memang berkantor di Cirebon dan bidang geraknya adalah memberantas narkoba. Tapi di kantor itulah pesta shabu-shabu berlangsung. Selain aktivis LSM yang ditangkap, ada mantan anggota DPRD dan aktivis salah satu parpol besar juga ikut diringkus oleh penegak hukum.

Anda termasuk manusia normal kalau heran dengan kejadian ini. Saya juga heran dan tidak habis mengerti dengan perilaku mereka. Tapi keheranan saya tidak berlangsung lama. Saya tiba-tiba teringat dengan The Devil's Own, sebuah film produksi tahun 1997 yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Harrison Ford.

Dalam film itu dikisahkan seorang anggota gerilyawan IRA bermaksud membeli senjata di pasar gelap Amerika. Supaya tidak mengundang kecurigaan maka Frankie McGuire (Brad Pitt), sang gerilyawan, menyamar sebagai seorang pekerja dan memilih tinggal di rumah Tom O'Meara (Harrison Ford), seorang polisi New York. Penyamaran ini memang cukup sempurna. Tidak ada tetangga yang mencurigai Frankie, orang asing yang tinggal di lingkungan mereka. Wajar, karena dia tingal di rumah seorang polisi. Jangankan tetangga, Tom sendiri juga tidak tahu kalau Frankie adalah seorang aktivis IRA.

Sebuah pemikiran cerdik. Ketika semua orang mengira tidak mungkin orang yang berbahaya tinggal di rumah polisi, maka dia memilih rumah polisi sebagai "base camp"nya. Begitu pula dalam kasus Gencar. Ketika semua orang berfikir tidak mungkin ada narkoba di kantor Gencar, maka para pengedar dan pemakai narkoba memilih tempat itu sebagai arena pesta barang haram tersebut. Membalik logika linier.

Teh Sosro juga punya kisah sendiri. Ketika perusahaan ini memutuskan memasukkan jin... eh teh ke dalam botol tidak ada seorang pun yang menanggapi positif. "Mana mungkin teh dijual dalam botol. Orang Indonesia selalu minum teh panas. Nggak mungkin lah," adalah komentar yang paling sering terdengar.

Sekarang kita bisa melihat. Hanya teh Sosro yang tingkat penjualannya paling tinggi dibanding minuman lainnya. Semua pedagang minuman, baik yang di warung maupun pinggir jalan, omset terbesar mereka disumbang oleh Teh Sosro.

Bahkan raksasa dunia seperti Coca Cola, Pepsi, Unilever tidak mampu menggoyang Sosro. Meski digempur oleh Lipton (Unilever), Tekita (Pepsi), Hi-C & Frestea (Coca Cola) semua orang tetap selalu minta Sosro. Hasilnya, Lipton sudah lempar handuk, Hi-C grounded. Untuk mencegat Tekita yang berbadan besar Sosro mengeluarkan S Tea yang badannya juga besar. Alhasil yang bertarung akhirnya Tekita dan S Tea. Sosro sendiri tetap nyaman. Bagaimana dengan "tusukan" Frestea? Sosro mengeluarkan Fruit-tea. Jadinya yang bertarung di jalanan adalah Frestea dan Fruit-tea. Sosro sekali lagi tetap nyaman.

Memainkan logika terbalik barangkali bisa memecahkan banyak masalah dan bisa membuat lompatan besar. Ketika semua mobil berjuang keras menembus kemacetan menuju Jakarta di pagi hari, maka kalau kita berjalan ke arah Bekasi atau Tangerang jalanan menjadi sangat nyaman. Ketika semua orang memilih garmen sebagai usahanya maka memilih.... maaf nggak berani nerusin. Just kidding lho... :)

Dengan logika terbalik sebenarnya sangat mudah untuk menyisir para pelaku korupsi di negeri ini. Telusuri saja bagaimana seorang yang bergaji Rp 5 juta bisa mempunyai rumah senilai Rp 5 milyar, menyekolahkan anak ke luar negeri, punya beberapa vila di luar kota, dan bisa membiayai "simpenan" mereka di apartemen. Tapi orang-orang "pinter" selalu bilang hukum kita tidak menganut asas logika terbalik. Bersyukurlah para koruptor. Memang paling enak korupsi di Negeri ini.

"Goblok kamu," adalah contoh menarik dari logika terbalik nya Om Bob Sadino. Kalimat yang diucapkan di depan Pak Joe dkk ini menunjukkan bahwa pemikiran sebagian besar orang Indonesia memang linier.

"Rencana itu buat orang yang belajar manajemen," katanya. Menurutnya, rencana itu linier, dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan dalam hidup atau bisnis, jalannya berkelok-kelok, tidak ada yang lurus dan terlalu urut. Sayangnya, rencana-rencana itulah yang diajarkan di sekolah. Padahal dalam pandangannya, rencana adalah racun. "Jadi, sekolah itu meracuni otak Anda," ujarnya bikin kaget di depan reporter CyberMQ

"Saya adalah orang yang tidak pernah buat perencanaan dalam hidup saya. Dan saya juga tidak pernah buat perencanaan dalam bisnis saya. Itu (business plan) buat orang yang belajar manajemen. Saya tidak pernah belajar manajemen. (Tidak pernah) ngomong bussines plan, marketing, planning, targeting ngomong goals dan lain-lain. Karena saya tidak pernah buat rencana, saya juga tidak pernah punya tujuan. Otomatis, tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Otomatis, mengalir saja." tambah pemilik perusahaan yang mengayomi 1600 karyawan.

"Saya pengambil risiko. Dan ketika saya mengambil risiko, saya ambil risiko sebesar-besarnya. Saya tidak mau resiko yang kecil. Di saat orang memperkecil risiko, bebas dong, kalo dia mengambil resiko kecil, apa yang dia dapet juga kecil. Semakin kecil risikonya semakin kecil yang ia dapat."

"Jadi entrepreneur itu sederhana, karena kesederhanaan itulah orang kadang bingung. Jadi apa, untuk mengerti saya, Anda harus memproses racun di otak Anda. Harus dibuang dulu. Namanya deschooling process. Anda sekolah kan? Sekarang bagaimana anda menghilangkan apa yang Anda dapatkan di sekolah, itulah deschooling process. Dan itu hampir tidak mungkin. Susah sekali."

"Saya pakai bahasa orang yang tidak sekolah. Saya salah karena tidak punya rencana, itu kacamata Anda. Anda bisa bayangkan ketika saya jualan telor 5 kilo, saya sudah punya rumah sebesar sekarang? Tidak, kan? Jadi buat apa saya punya tujuan. Pertanyaan berikutnya, sekarang ada rumah sebesar ini, mobil di depan, apa dong ini semua? Ini adalah sebuah akibat dari apa yang saya lakukan."

"Sedangkan yang Anda lakukan hanya menghitung. Akibatnya orang bingung karena yang mereka lakukan hanyalah menghitung, bukan berbuat. Karena orang punya tujuan, orang punya rencana. Tapi ketika tujuan Anda tidak tercapai, rencana Anda juga berantakan. Rencana itu jalannya linier. Dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan mana ada hidup yang bentuknya linier gitu? Dalam hidup bentuknya berkelok-kelok, jarang ada yang lempeng."

Anda setuju dengan Om Bob? Kalau mau tahu wawancara lengkapnya silahkan baca di sini...

Rabu, 01 Agustus 2007

Mindset

Arswendo saat itu sangat cemas. Mendung sudah menggelayut kelam di angkasa. Sebentar lagi hujan besar pasti turun. Bersama istrinya dia bergegas menginjak pedal gas mobilnya. Dengan kencang dia geber kendaraannya supaya terhindar dari ancaman guyuran hujan.

Akhirnya mereka berdua berhasil "selamat" dari guyuran hujan. Mereka berhasil menemukan tempat berteduh seadanya di pinggir jalan. Begitu hujan deras benar-benar terjadi Arswendo dan istrinya aman di bawah naungan... mobil yang berteduh di emperan warung.

Ada yang aneh nggak dengan cerita di atas? Cerita ini adalah kisah nyata yang pernah dialami Arswendo Atmowiloto bersama sang istri.

"Kami berdua akhirnya tertawa terbahak-bahak begitu sadar," kata Wendo, panggilan Arswendo.

"Bagaimana tidak lucu. Saat itu kami kan pakai mobil tapi mengapa masih ketakutan dengan mendung dan hujan yang sebentar lagi turun," tambahnya. "Maklum, kami kan baru saja punya mobil butut. Biasanya paling banter pakai motor. Jadi meski kondisi sudah berubah tapi otak kami masih ndeso," Wendo menambahkan.

"Saya salut dengan penampilan Timnas PSSI ketika melawan Arab Saudi. Mereka berjuang dengan keras dan sportif. Tapi sayang, wasitnya ternyata masih katro," komentar salah seorang pemirsa yang menumpahkan unek-uneknya di acara Opeh House Metro TV Jumat malam.

Dua cerita di atas mungkin bisa mewakili pola pikir lama yang diterapkan untuk kondisi yang sama sekali berbeda. Pada kasus Wendo, meski sudah pakai mobil tapi karena belum terbiasa, pola pikirnya masih motor yang biasa ketakutan kalau hujan sebentar lagi turun. Sedangkan pada kasus kedua, mentang-mentang punya bahasa yang sama dengan salah satu tim, maka wasit dengan ringan mengganjar lima kartu kuning buat pemain PSSI. Sedangkan pelanggaran berat yang dilakukan pemain Saudi cukup disemprit saja.

Pola pikir memang sangat mempengaruhi apa yang kita lakukan. Coba kita masuk ke kantor pemerintahan, setelah itu kita masuk ke perusahaan yang mempunyai kompetisi tinggi. Sangat berbeda ketika kita masuk ke kantor pemda dengan kalau kita memasuki Bank Niaga, misalnya (ini bukan iklan lho karena saya bukan nasabah mereka).

Perbedaan pola pikir juga langsung terasa ketika kita menghadap bagian keuangan dengan kalau kita berdiskusi dengan bagian marketing. Perbedaan yang sangat mencolok juga langsung terasa kalau kita ngobrol dengan seorang karyawan dibanding dengan seorang pengusaha. Untuk kasus ini tentu saja tidak berlaku buat karyawan yang member TDA hehe :).

Teman saya langsung kapok ketika usaha yang dia rintis tidak langsung menghasilkan untung ketika pertama kali dimulai. "Mau usaha kok malah rugi," jawabnya ketika ditanya mengapa berhenti. Teman yang lain juga finished, menghentikan usahanya mengekspor mebel hanya karena pernah sekali hitungannya meleset. "Ya kalau tidak meleset, kalau meleset lagi emangnya kamu mau mengganti?" alasan dia.

Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, mengatakan, yang paling susah adalah mengubah mindset aparat. "Tiga tahun pertama masa jabatan saya dihabiskan hanya untuk mengubah mindset aparat saya. Mengubah mindset dari minta dilayani menjadi melayani orang lain. Mengubah pola pikir dari lu butuh gua menjadi kami perlu Anda adalah sangat-sangat susah," kata Fadel di acara Beyond Marketing di JakTV Senin malam lalu.

Upaya Fadel ini tidak sia-sia. Ketika sisa jabatannya tinggal dua tahun masyarakat dan dunia usaha mulai merasakan perubahan pola pikir aparat Gorontalo. Tingkat kemakmuran masyarakat melonjak drastis. Investasi yang datang bertambah signifikan karena dilayani dengan senyum. Bukan dipalak di depan sebagaimana biasa terjadi di negeri ini.

Perubahan ini menunjukkan buktinya ketika pada pilkada November 2006 Fadel memenangkan kursi Gubernur untuk kedua kalinya dengan perolehan suara 81%, tertinggi di Indonesia. Dia pun mendapat sertifikat MURI sebagai rekor pemilihan suara tertinggi di Indonesia untuk pemilihan gubernur.