Kamis, 16 Agustus 2007

Rumput Tetangga


"Wah enak ya jadi guru di Jakarta. Gubernurnya peduli pendidikan, sehingga tiap guru di DKI diberi tunjangan di luar gaji Rp 2 juta per bulan," kata tetangga saya, seorang guru di Bekasi yang gajinya hanya standar guru.

"Enak gimana? Memang sih pemerintah sudah baik hati. Tapi kami jadi dituntut harus serius jadi guru. Coba hitung, rumah di Bekasi, ayam belum berkokok kami sudah harus berkemas. Transport, makan, beli buku-buku, dan lain-lain. Malam hari baru sampai rumah lagi. Di rumah mesti periksa pekerjaan murid-murid dan baca buku guna meningkatkan ilmu. Lalu kapan kami bisa istirahat? Kalau sekolahan di Bekasi sih enak..."

"Kalau gitu enak jadi karyawan. Pagi berangkat malam sampai rumah lagi. Di rumah bisa langsung istirahat, nggak perlu periksa pekerjaan murid-murid dan belajar buat materi esok pagi. Akhir bulan tingga terima gaji."

"Kelihatannya sih enak tapi masa depan perusahaan kan tidak pasti. Tiap saat bisa di golden shake hand kan. Yang parah kalau golden-nya tidak ada seperti yang sering terlihat di televisi, ada ribuan karyawan yang harus demo menuntut hak-haknya. Kalau jadi PNS kan enak. Tidak ada pengurangan pegawai. Apalagi saat ini dunia perekonomian sedang guncang, IHSG merosot tajam karena kena pengaruh The Fed dan bursa di Amerika sana." kata seseorang di sebuah kantin yang kelihatannya fasih bicara The Fed segala. Padahal lebih banyak yang bingung apa sih pengaruh Fed terhadap harga minyak goreng di sini yang terus meroket.

"Lebih enak jadi rekanan. Kalau sudah "akrab" dengan orang dalam orderan tidak pernah berhenti. Keuntungan sudah kelihatan di depan mata. Tidak perlu capek-capek cari pekerjaan. Yang dilakukan cuma jalan-jalan, makan-makan di cafe, lobby sana-sini. Menemani clubbing, meng-entertain orang kunci. Pokoknya kerjaannya cuma senang-senang, dapat uang."

"Apanya yang enak? Bertahun-tahun saya pernah jadi rekanan, stres. Bayangkan saja sendiri, kita harus rutin menyediakan "oli" (maksudnya pelicin lho) supaya selalu dapat info terbaru proyek-proyek apa saja yang bakal "ditawarkan". Meski kita sudah rutin mengirim "pelumas" tidak ada jaminan kita mendapat rezeki karena yang mengirim "upeti" itu buanyak. Jadi ya ada unsur untung-untungan. memang sih kalau kita sudah lebih akrab, kans buat menang lebih besar," kata tetangga saya yang sudah lama jadi rekanan sebuah kantor gubernuran.

"Kalau akhirnya kita yang memenangi sebuah proyek, kita harus memberi "hadiah" di depan. Jadi kita mesti keluar dulu "fee". Nilai "fee" itu bisa sangat signifikan dengan nilai pekerjaannya. Kalau pekerjaan sudah klar pembayarannya bisa makan waktu bulanan. Nah ketika pembayaran mau cair kita diminta datang sambil jangan lupa memberi ucapan "terima kasih". Ini kalau lancar. Tapi kalau tiba-tiba pemegang wewenangnya diganti mendadak... wah capek deh. "Hadiah" yang sudah keluar di depan, proyek bisa tiba-tiba beralih kepada orang yang lebih akrab dengan pejabat baru. Hilang semuanya. Saya pernah mengalami itu." tambah tetangga saya.

Paling enak jadi pengusaha. Dia bisa masuk kantor sesuka hati. Seharian baca koran juga nggak ada yang melarang. Tinggal perintah sana-sini. Tidak ada yang memerintah dia. Ke luar kota kapan saja tidak perlu izin. Seharian main tenis juga oke. Meski cuma ongkang-ongkang, pendapatannya paling banyak. Fasilitasnya paling wah. Pokoknya pede banget deh.

"Kalau jadi pengusaha paling enak mengapa rasio pengusaha dibanding penduduk sangaaattt sedikit. Mengapa lebih banyak yang enggan jadi pengusaha?" kata... temannya teman saya

Dari tadi yang dibicarakan kok tidak ada rasa sukurnya...

Bicara rasa sukur saya kok jadi ingat dengan kecantikan perempuan. Di televisi, alam bawah sadar kita selalu digempur dengan pernyataan bahwa perempuan yang paling cantik adalah kulitnya paling putih. Semakin putih semakin cantik.

Yang kemudian terjadi adalah banyak yang berusaha membuat seputih mungkin wajahnya. Banyak produk pemutih digelontorkan ke pasar. Aneka trik pemasaran jadi menarik untuk disimak dan dikaji. Bahkan sebuah produk sengaja memajang perempuan Jepang sebagai tolok ukur putih yang cantik. "Memangnya yang putih cuma Jepang," kata produk sabun pemutih.

Ternyata di Jepang sendiri ukuran kecantikan perempuan adalah semakin sawo matang semakin cantik. Perempuan Jepang paling bangga kalau kulitnya sawo matang. Mereka beramai-ramai berjemur demi mendapatkan warna sawo matang.

Lho.............???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar