Selasa, 14 Agustus 2007

Seandainya Kita Siap


Minggu lalu ada pengumuman lewat pengeras suara dari masjid di kompleks tempat tinggal saya. "Dalam rangka pemeliharaan rutin gardu PLN maka besuk pagi mulai jam 8.00 hingga 16.00 akan diadakan pemadaman aliran listrik. Harap menjadi maklum dan maaf atas ketidak nyamanan ini."

Kontan saja pengumuman ini membikin ribut semua penghuni di RW 9 tempat kami tinggal. Meski banyak yang protes dan nggrundel tapi seluruh penghuni mengadakan persiapan untuk "menyambut" kondisi tidak enak yang akan datang esok pagi. Semua benda yang tidak bocor dan bisa menampung air kami maksimalkan untuk menyimpan kebutuhan pokok setiap makhluk hidup ini. Tidak hanya penampungan air yang kami penuhi tapi juga semua ember baik plastik maupun berbahan seng semua diisi. Beberapa ember bekas yang sudah lama tidak terpakai, kotor, sobek bagian atasnya tidak disia-siakan. Pokoknya semua bejana dipenuhi air.

Anak-anak saya pun diminta untuk tidur lebih awal supaya besuk bisa lebih mudah dibangunkan. "Besuk ada apa sih Bu?" tanya anak saya ketika kami suruh mereka untuk tidur tidak seperti biasanya. "Besuk kita mau jalan-jalan ya?" tanya yang lain. "Asyik, besuk kita jalan-jalan," adiknya langsung menyimpulkan tanpa konfirmasi dulu. Tentu saja jawabannya adalah besuk pagi listrik mati, kita harus cepat mandi, semua baju cepat dicuci, dst. Kalau semua sudah selesai kita bisa langsung penuhi lagi bak air supaya kita siap kalau sewaktu-waktu memerlukannya.

Upaya kami dalam rangka menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan ini membuahkan hasil. Semua anak-anak dengan mudah bisa dibangunkan subuh. Semua keperluan rutin kami bisa diselesaikan labih pagi dari biasanya. Alhasil ketika jarum jam mulai merambat ke angka delapan kami pun tidak khawatir. Dengan persiapan yang sudah dilakukan kami pun siap dengan kondisi "buruk". "Silahkan kalau sekarang listrik mau padam," gumam kami.

Ketika waktunya tiba ternyata listrik tetap menyala. "Ah biasa, ngaret," kata tetangga mengomentari mengapa televisi masih bisa dinyalakan. Ketika jarum jam menunjukkan angka 10 ternyata kulkas masih juga menyala. Kami pun heran dan mulai menyalahkan pengumuman kemarin. "Kalau meyangkut hajat hidup orang banyak jangan main-main dong," gumam saya kepada istri. "Gimana sih, listrik tidak mati kok malah sewot," jawab istri saya. Betul juga istri saya ya...

Ketika Matahari pelan-pelan mulai codong ke barat ternyata apa yang kami tunggu tidak juga tiba. Listrik tetap saja berfungsi normal. Tidak ada kejadian apa-apa. Meski kami senang tapi ada kekhawatiran jangan-jangan matinya besuk, bukan sekarang, atau aliran dimatikan esok lusa. Terserah saja ah, kami pun pasrah.

Ketika kejadian ini saya ceritakan kepada teman dia malah bertutur. Kita harusnya sangat bersyukur kalau kita tahu kapan akan mengalami kejadian yang tidak diharapkan. Bahwasanya kejadian itu batal terjadi itu adalah anugerah. Kita bisa bayangkan apa yang dirasakan saudara-saudara kita ketika tiba-tiba rumah mereka hilang terkena banjir. Kita juga bisa membayangkan perasaan mereka tatkala melihat anggota keluarganya tiba-tiba "dipanggil" Sang Khalik. Semuanya mendadak, tanpa persiapan sama sekali...

Tiba-tiba saya teringat oleh penggalan syair Masih Ada Waktu-nya Ediet G Ade yang dibuat pada 1988
.......
Yang terbaik hanyalah
Segera lah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar