Kamis, 05 Juli 2007

Prestise atau Praktis?


"Pak Haji, saya ikut mobil Bapak ya?" pinta saya kepada pak Haji Alay ketika kami, peserta talkshow TDA, bersiap ke ITC Mangga Dua. "Boleh saja, tapi bisa muat nggak mobilnya?" jawab Pak Haji agak ragu. Saya sedikit heran mengapa pak Haji tidak bisa menjawab pasti. Saat itu saya memang sangat ingin dekat dengan Sang Narasumber dan menyerap ilmunya selepas acara talkshow.

Keheranan saya akhirnya terjawab ketika kami meninggalkan tempat acara. Ternyata Pak Haji Alay, seorang pedagang besar Tanah Abang, cuma nunut mobilnya pak Joe (pak Joseph Hartanto). Mobil pak Joe akhirnya sesak karena saya memaksakan diri ikut di dalamnya padahal mobil lain banyak yang masih kosong.

Sepanjang perjalanan memang saya banyak belajar dari Beliau. Bagaimana cara memilih produk yang bagus, di mana mencarinya, kisaran harganya, cara menjualnya, dan sebagainya. Meski akhirnya saya "memilih" jalan sendiri ilmu dari Beliau sangat inspiratif.

Di perjalanan itu juga saya mendapatkan jawaban terhadap hal yang mengherankan saya. Mengapa Pak Haji memilih menumpang pak Joe, dan bukan memakai mobil sendiri. "Saya ingin yang praktis saja. Saya kemana-mana lebih senang pakai taksi. Kalau macet lebih senang pakai ojek," Kami semua kaget dengan jawaban pak Haji. "Coba kalau pakai mobil sendiri, kan tegang kita. Jangan-jangan disrempet bajaj. Pakai taksi bisa membantu pengemudinya," Pak Haji melanjutkan jawabannya. Pak Haji, pemilik ratusan kios di berbagai pusat perbelanjaan ini, di setiap tindakannya selalu memikirkan membantu orang lain.

Saya tiba-tiba ingat dengan apa yang pernah saya lakukan pada tahun 1995. Saat itu saya membeli televisi yang punya fitur sangat banyak. Ketika televisi lain masih biasa-biasa saja saya pilih bilingual, subwoofer, 3D stereo. Untuk saat itu fitur tsb masih langka. Ternyata apa yang terjadi? Hampir semua fitur tidak bisa optimal. Bilingual-nya mirip dengan HP 3G sekarang. Ada fasilitasnya tetapi jaringannya tidak mendukung. Ya tetap saja tidak bisa dipakai. Akhirnya saya harus membayar mahal untuk sesuatu yang tidak bisa dinikmati. Mubazir kan...

Pada suatu ketika saya dan seorang teman sedang menunggu di lobi sebuah gedung perkantoran di kawasan elit. Kami melihat banyak sekali para profesional memakai peralatan pendukung mutakhir. Ada satu orang yang membawa sampai tiga hp. "Orang kok nggak praktis, bawa hp sampai tiga," gumam saya. "Ya wajar kamu ngomong seperti itu. Hpmu kan cuma satu," jawab teman saya. Benar juga, pikir saya. "Yang bawa banyak hp dan nggak praktis biasanya kan cuma karyawan. Mana ada bos repot gitu," saya tidak mau kalah. "Kalau kamu beda, hpmu cuma satu karena tidak kuat beli lagi," sambar teman saya. Jangan-jangan dia benar, kata saya dalam hati.

Lama kami terdiam lagi. "Kamu tahu nggak pak Budi Rachmat (salah satu founder TDA). Dia dulu kan profesional Unilever. Kemana-mana bawa mobil plus baju yg selalu necis dan wangi. Sekarang kemana-mana cukup pakai motor padahal duitnya jauuuhhh lebih banyak dibanding dulu. Semakin kaya semakin praktis," Saya merasa di atas angin.

"Kalau kamu beda. Kamu praktis karena memang miskin," teman saya menjawab tanpa ekspresi. Saya kembali diam. "Oke, bagaimana dengan Rusdi Kirana (pemilik Lion Air). Kalau berjalan bareng dengan manajer humasnya, Pak Rusdi lebih mirip sebagai sopirnya karena yang punya potongan orang kaya adalah manajer humasnya," Saya kembali membuka diskusi. Kali ini teman saya yang diam. Mungkin tidak bisa membalas saya. Atau jangan-jangan lebih parah lagi, dia sudah males menjawab karena ucapan saya tidak bermutu.

"Eh tahu nggak, semakin orang itu kaya dia makin praktis lho. Tapi kalau masih miskin malah lebih suka tidak praktis. Mereka lebih senang tidak praktis karena biar dikira sebagai orang kaya. Kalau sudah kaya mereka tidak butuh pengakuan lagi. Jadi lebih memilih praktis," Saya mencoba kembali membuka pembicaraan. Ternyata teman saya lebih memilih tertidur di sofa wisma GKBI...

2 komentar:

  1. Orang yang telah mencapai puncak kesuksesan adalah orang yang tidak tertarik lagi pada uang, pujian atau publitas.

    Kalau kita masih memikirkan fasilitas, berarti kita masih jauh dari sukses.

    BalasHapus
  2. Salam Kenal Pak Abduh...
    Setuju pak!orang sukses memang lebih praktis dan low profile, saya jadi ketawa sendiri membaca cerita pak Abduh. saya juga punya pengalaman pribadi, saya sering sekali dikira karyawan oleh konsumen karena saya lebih senang memakai t-shirt dan jeans sobek, sedangkan sebaliknya karyawan saya dikira yang punya toko karena berpakaian rapih dan bagus. :)
    Sukses pak Abduh...

    BalasHapus